Dewantara, Serang – Perkumpulan Urang Banten (PUB) bekerja sama dengan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menyelenggarakan Seminar Research on Islam in Indonesia: Hubungan Banten & Belanda Sejak Era Kesultanan sampai dengan Era Politik Etis pada Selasa (2/7/2019) di Auditorium Gedung B Untirta Kampus Pakupatan. Ketua PUB Taufiqurrahman Ruki, Rektor Untirta Sholeh Hidayat, serta Rektor Untirta Terpilih periode 2019-2023 Fatah Sulaiman. Lalu pembicara menghadirkan Nico J.G. Kaptein dari Universitas Leiden.
Catatan Hubungan Belanda dan Banten
Sholeh Hidayat menjadi pemberi sambutan pertama. Ia menyampaikan, “Pengalaman pertama Banten dengan Belanda merupakan pengalaman yang diwarnai sikap pelaut Belanda yang diketahui ‘tidak ramah’.” Lalu lebih spesifik tentang sejarah Banten, Sholeh menambahkan, “Penulisan sejarah Banten memiliki banyak perspektif. Yang paling kita kenal buku oleh Sartono Kartodirjo, Pemberontakkan Petani Banten 1888. Itu pun oleh Nina Lubis dikritik, bahwa ‘Itu bukan pemberontakkan tetapi perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakadilan’.” Lebih lanjut, “Bahwa kaitan antara perlawanan rakyat Banten dengan implementasi ajaran Islam itu erat hubungannya. Karena perlawanan rakyat Banten mengandung dua aspek perlawanan, yaitu perlawanan terhadap ketidakadilan, dan perlawanan terhadap kebijakan penguasa kolonial yang melarang salah satu praktik agama, yaitu shalawat.”
Ruki dalam sambutannya mengawali, “Perkumpulan Urang Banten merupakan perkumpulan orang Banten dari semua strata. Dengan latar belakang kepedulian terhadap Banten. Dan itu tidak harus orang Banten saja. Misalnya hari ini kita kedatangan tamu, Nico J.G.Kaptein dari Belanda, kalau ia memiliki kepedulian yang begitu besar maka ia bisa juga masuk Perkumpulan Urang Banten.” Ruki melanjutkan, “kepedulian kami adalah terhadap orang Banten-nya sendiri, maupun kulturnya. Karena di Banten terdapat tigas etnis, di utara masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh kedatangan kekuasaan Demak, di timur masyarakat yang banyak dipengaruhi budaya Melayu, dan di selatan dihuni oleh masyarakat yang mempertahankan tradisi Sunda. Ketiganya memiliki heritage kebudayaan serta keunggulan manusia.”
Catatan Para Orientalis Terhadap Islam di Hindia-Belanda
Nico J.G. Kaptein yang didampingi oleh moderator – sekaligus translator – Mufti Ali, mengawali pemaparannya dengan menjelaskan publikasi terbarunya, “Dalam Ensiklopedi Islam, saya menulis artikel yang singkat tentang peran penting dari pemahaman-pemahaman dalam Islam dan pemikir-pemikir Islam,” lalu “selama ini research on Islam in Indonesia kebanyakan mengambil cara pandang kultural, politik, dan melayani kepentingan kolonial.” Ia melanjutkan, “Pada abad ke-19, kajian-kajian tentang diskursus kolonial masih terbatas. Kajian-kajian diskursus kolonial tersebut, beberapa diantaranya tersimpan di Royal Militer Academy Breda dan Office for Native Affairs di Batavia.”
“Bagi saya sendiri, saya memulai dari kajian B.J. Boland and I. Farjon, berjudul Islam in Indonesia, dimana bibliografi tentang Islam di Indonesia tersebut memliki batasan waktu 1600 sampai 1942.” kata Nico. “Lebih lanjut ketika menggali lebih tentang Office for Native Affairs di Batavia, saya menemukan sederet ahli yang menulis penelitian tentang Hindia-Belanda. Beberapa, atau mungkin satu nama dari daftar tersebut kemungkinan besar anda semua sudah kenal, C. Snouck Hurgronje.”

“Snouck merupakan representasi yang baik dari seorang pintar dan mengkaji diskursus kolonial, yang pada masanya, kajian dengan topik tersebut masih langka. Ia masuk agama Islam, memiliki nama Arab Abdul Ghofar, dan masuk ke Kota Mekkah pada 1885.” Lanjutnya, “di Mekkah Snouck kemudian berteman dengan Abu Bakar Djajadiningrat, yang kemudian membantu Snouck untuk mengenal tokoh-tokoh penting, termasuk ulama-ulama Islam dari Hindia-Belanda.”
Dari bukunya Snouck, berjudul Mekka in the Latter Part of the 19th Century, yang awalnya dibuat dalam bahasa Jerman lalu kemudian segera diterjemahkan dalam bahasa Inggris, masyarakat Barat kemudian mampu mengetahui apa yang ada dan terjadi di Kota Mekkah, suatu kota yang haram bagi kehadiran non-muslim. Lalu Abu Bakar Djajadiningrat sendiri menghasilkan karya Torojin Ulama Djawa (Biografi Ulama-ulama Jawa) yang merekam silsilah para ulama dan cendekiawan Islam dari Nusantara yang hidup maupun memiliki jamaah di Arab.
Manfaat Seminar Sejarah Internasional
Ketua Asosisasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Banten Abdul Somad yang hadir dan sempat diwawancara dewantara.co.id memberikan pendapatnya tentang seminar. “Meski secara umum menggambarkan penelitian tentang Islam di Indonesia, disinggung pula perihal orang Banten. Terutama dari keluarga Djajadiningrat, yaitu Abu Bakar, Achmad, dan Husein. Tokoh yang terakhir merupakan pribumi pertama alumnus Universitas Leiden sebagai Doktor. Tokoh ini perlu dikenalkan oleh guru sejarah karena punya prestasi yang membanggakan bagi orang Banten.” Lanjutnya, “Kita perlu memaknai secara positif bahwa bangsa Indonesia punya kemampuan edukasi yang sejajar dengan bangsa Barat.”

Berbicara tentang kompetensi guru sejarah, Abdul Somad menyampaikan, “Melalui seminar-seminar guru dapat memenuhi pengembangan dirinya yang dituntut oleh Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Melalui seminar guru sejarah dapat mendengar dan berdialog secara aktif dengan para akademisi dan ahli sejarah yang seringkali mengungkap fakta-fakta baru.” Ia menutup, “Kami juga beberapa kali berinisiatif mengadakan kegiatan serupa melalui wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah maupun AGSI Banten.”
(AM)