Bandung, siapa yang tak kenal dengan ibukota provinsi Jawa Barat ini, kota dengan berbagai macam magnet wisata ada didalamnya, mulai dari wisata kuliner, wisata belanja, wisata sejarah, wisata budaya, hingga wisata alamnya yang mempesona.
Karena letaknya yang berada di daerah dataran tinggi, kota Bandung menyimpan potensi wisata alam yang cukup variatif seperti gunung, danau, curug (air terjun) serta landskap perkebunan teh dan hutan yang masih cukup terjaga keasriannya. Sehingga, banyak alternatif pilihan bagi para penggiat alam yang berkunjung ke kota ini.
Berangkat dari sebuah keinginan untuk mencoba mendaki gunung di daerah Bandung, yang menurut informasi seorang kawan, gunungnya masih asri dan belum banyak orang kesana. Hal ini cukup menarik bagi saya, karena ditengah antusias dan hiruk-pikuk para pendaki saat ini, saya akan lebih memilih gunung yang pendek namun masih asri dan sepi dibanding dengan gunung tinggi dan ramai dengan kondisi sampah yang memprihatinkan.
Sekitar akhir bulan Juli kemarin, dengan hanya berdua dari Jakarta, kami berkesempatan untuk menjejakan kaki di kota ini, dengan target mendaki beberapa gunungnya. Gunung Burangrang, Gunung Manglayang dan Danau Ciharus kami pilih sebagai destinasinya, dengan lama waktu 4 hari. Namun untuk kesempatan kali ini pembahasan akan bercerita seputar pendakian ke Gunung Burangrang saja. Tidak seperti kawasan pegunungan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, gunung-gunung di Bandung memiliki ketinggian rata-rata 2000 mdpl. Namun jangan berpikir bahwa dengan ketinggian tersebut akan menjadi suatu hal yang mudah untuk didaki. Karena faktanya rute pendakian cukup sulit dan menantang.
Setibanya di Bandung tepatnya di daerah Ciwastra, kami berkunjung ke salah seorang kawan yang sebelumnya bersedia untuk memberi informasi seputar akses menuju lokasi gunung yang kami maksud. Ditambah, dia juga menawarkan tempat singgah dan sepeda motornya untuk kami pinjam. Sekitar tengah malam itu kami tiba dirumahnya dan menginap disini hingga keesokan hari nya.
Setelah mendapatkan cukup informasi seputar akses, rute lokasi dan waktu tempuh dari kawan kami, perjalanan di hari pertama pun dimulai. Sekitar pukul sepuluh pagi itu, kami berdua berangkat dengan mengunakan sepeda motor menuju lokasi pertama, yaitu Gunung Burangrang. Gunung ini terletak di sebelah utara kota Bandung tepatnya di Desa Kertamanah, Kecamatan Cisarua. Rutenya terbilang cukup mudah, namun karena kami masih awam tentang jalur berkendara di kota ini, mapping dengan google adalah salah satu kewajiban untuk mengatasi kebingungan. Karena menggunakan sepeda motor, perjalanan yang kami tempuh cukup singkat yaitu sekitar dua jam. Dengan rute Jl. Soekarno Hatta-Jl. Kolonel Masturi (Cimahi)- Sekolah Polisi Negara (Cisarua) hingga masuk ke daerah Parongpong.
Setelah melengkapi perbekalan air dan logistik di salah satu toko pinggir jalan, kami meneruskan perjalanan hingga ke tempat penitipan kendaraan, yang merupakan sebuah pesantren. Karena lokasinya yang terletak persis dikaki Gunung Burangrang, maka para pendaki biasa menitipkan kendaraannya disini. Siang itu cuaca cukup cerah walaupun sedikit berawan. Selepas dzuhur, kami memulai pendakian dengan melewati area perkemahan dan tak lama mulai memasuki kawasan hutan pinus. Disini kami bertemu dua orang warga setempat yang meminta iuran kebersihan sebesar Rp. 30.000. Obrolan singkat pun terjadi hingga saya meminta pengurangan untuk retribusi yang terbilang tidak resmi tersebut, akhirnya kami sepakat dengan harga Rp. 20.000 untuk dua orang.
Perjalanan kami berlanjut hingga memasuki trek perbukitan yang cukup melelahkan. Tak kurang dari tiga pungggungan kami lewati, hingga menjelang pukul tiga sore kabut mulai datang perlahan. Dan hujan pun mulai turun, kami membuat tempat berteduh sementara menggunakan flysheet. Namun karena intensitas hujan yang kian meningkat, akhirnya kami memutuskan untuk memasang tenda saat itu juga dengan lahan seadanya. Betul saja karena hingga malam hujan pun masih berlangsung. Setelah makan malam diselingi kopi dan obrolan ringan, kami beristirahat malam itu ditengah hujan dan suara pendaki lain yang melintas melewati tenda kami.
Matahari sudah tampak pagi itu, karena memang kami bangun agak telat dan kehilangan momen sunrise di puncak. Namun hal tersebut tak mengecilkan niat dan langkah kami untuk terus menapaki gunung dengan ketinggian 2050 meter diatas permukaan laut ini. Pagi itu kami meneruskan pendakian setelah sarapan dan packing. Kembali kami dihadapkan dengan trek naik turun bukit, selang beberapa saat, panorama alam mulai terbuka. Perlahan langkah kami mulai melambat ketika disuguhi pemandangan alam sekitar Burangrang yang mulai menampakkan pesonanya. Barisan hutan pinus dan pegunungan yang pagi itu masih diselimuti kabut halus menyegarkan mata kami yang berjalan di sisi puncak Burangrang. Tampak juga Situ Lembang yang melengkapi panorama indah tersebut.
Perlahan kami mendaki jalur menuju puncak yang semakin terjal dan harus ekstra hati-hati saat melewatinya, karena sisi kiri dan kanan merupakan jurang yang terjal. Sekitar pukul tujuh lewat, kami akhirnya tiba di puncak Gunung Burangrang yang ditandai dengan tugu setinggi kurang lebih dua meter bertuliskan “ selamat datang di puncak Burangrang 2050 mdpl“. Perasaan syukur dan senang berada di puncak, kami lengkapi dengan menyapu seluruh pandangan ke sekitar Gunung Burangrang yang saat itu juga membayar rasa lelah kami.
Terdapat beberapa tenda yang berkemah disini, karena lahannya pun terbatas, kurang lebih hanya sekitar sepuluh tenda ukuran empat orang saja. Kami sempatkan untuk berbincang dengan pendaki lain yang kebetulan berasal dari daerah sekitar Burangrang. Dia pun bercerita sedikit tentang jalur pendakiannya yang menggunakan jalur berbeda dengan jalur kami kemarin. Dan tentang Situ Lembang yang sekarang sudah menjadi area latihan militer.
Beberapa jam kemudian, setelah bersantai dan mengisi kembali tenaga kami dengan roti dan susu hangat, kami pun turun sambil menikmati panorama Burangrang yang masih menyajikan pesona keindahannya. Sekitar tiga jam perjalanan turun, hingga tak lama adzan dzuhur berkumandang dan saat itu kami sudah tiba ditempat penitipan motor.
M. Zainal Qubra