Ovidius, penyair dari Romawi Kuno pernah berkata, “cinta adalah sebuah kancah peperangan.”
Dewantara, Jakarta – Sang penyair mungkin benar, tapi juga salah. Bahwa cinta seperti juga halnya belati bisa mematikan namun bisa berguna sebagai sarana hidup. Demikian pula perang yang betapapun dihindari, selalu saja muncul secuil cerita mengesankan yang boleh jadi bertolak belakang dari kengerian perang yang mengumbar kematian.
Syahdan, pernahkah membayangkan saat sedang berperang, anda berada di wilayah musuh yang sangat berbahaya. lalu teman Anda tiba-tiba saja tertembak dan membutuhkan bantuan medis sesegera mungkin.
Tubuh yang terluka dan denyut yang perlahan mulai melambat serta hati yang mungkin mulai berfirasat, “sudah saatnya aku mengucapkan selamat tinggal.”
Mungkin itu yang dirasakan oleh puluhan ribu prajurit Amerika Serikat (AS) saat terjadinya perang Bulge pada bulan Desember 1944.
Perang yang terjadi di Ardennes, wilayah pegunungan Belgia bagian tenggara yang setidaknya memakan puluhan ribu korban dari kedua kubu, perang yang menentukan kekuatan antara Sekutu (Amerika cs) dan Jerman adalah perang yang paling banyak memakan korban.
Hal ini terjadi karena jika Jerman gagal menembus pertahanan dari Sekutu, kekuatan Jerman akan hancur dan Sekutu bisa melakukan strategi perang yang bersifat penyerangan.. Yang menurut perhitungan akan sangat menguntungkan sekutu jika berhasil mendapatkannya.
Saat itu tidak sedikit tentara Amerika yang gugur dan juga terluka. Bagaimana tidak, Jerman meluncurkan semua armadanya mulai dari pasukan darat maupun udara.
Teknologi Jerman bahkan tergolong lebih canggih dan dengan kuantitas senjata yang lebih banyak. Memang secara matematis, bisa disimpulkan Jerman mempunyai presentase kemenangan lebih tinggi dari Amerika.
Dari sekian banyak prajurit yang gugur dan terluka, ada cerita yang mampu menarik perhatian saya. Yang sangat menyentuh dan bisa saja mengubah persepsi anda tentang apa itu perang.
***
Fritz Vincken, adalah salah satu saksi betapa dahsyatnya perang Bulge. Ia mempunyai kisah yang sangat menarik dan menyentuh, sebuah pengalaman kemanusiaan Fritz dan Ibunya yang bernama Elizabeth, penuh pesan moril dan sudut pandang baru dari perang dengan segala kekacauannya.
Kejadian ini terjadi saat malam hari di Ardennes, saat itu salah satu kavaleri Amerika hampir kehabisan perbekalan dan banyak prajuritnya yang terluka cukup parah.
Mereka akhirnya sepakat untuk mencari tempat yang aman dan bersih untuk bisa mengobati prajurit yang terluka. Salah satu prajurit yang terluka cukup parah terlihat melemah, semua kavaleri yang bergerak pun berhenti. “Bertahanlah kawan, perjuangan kita sedikit lagi usai.”
“Sungguh jikalau ragaku ini masihlah kuat, ku masih ingin berjuang, tapi lihatlah diriku ini, sudah rapuh dan lukaku sudah cukup parah, mungkin cukuplah perjuanganku sampai disini kawan, kuharap bertemu kalian semua disana nanti.”
Kalimat itu adalah kalimat terakhir dari salah satu prajurit yang gugur dalam pertempuran Bulge..
Semua anggota kavaleri tak kuasa menahan sedih melihat kawannya yang gugur dalam rasa sakit menahan luka senjata, tapi mereka tidak mau terlalu berlarut dalam kesedihan, mereka langsung membuat galian tanah di pinggir jalan kecil lalu menandai nya dengan batu dan topi tentara Amerika.
“Sungguh aku tak mau meninggalkan jasadmu di tempat yang dingin ini kawan, tapi aku yakin Tuhan disana telah memberikan selimut yang paling hangat untukmu.” Ujar salah satu prajurit yang mengubur temannya yang gugur.

Sisa prajurit lalu mulai melanjutkan perjalanan. Salah satu prajurit yang terluka harus ditandu karena kaki yang sudah tidak kuat untuk berjalan lagi, sampai sekiranya dua jam berjalan, para prajurit melihat ada rumah kecil dengan api yang cukup terang di dalamnya. Mereka pun bergegas menuju rumah tersebut.
Sampai disana mereka langsung mencoba mendobrak pintu dan menodong senjata ke arah depan, mereka melihat dua warga Belgia yang sedang ketakutan. Adalah Fritz dan Elizabeth. Tentara Amerika tersebut kemudian mulai menurunkan senjata dan mencoba berkomunikasi dengan dua warga tersebut.
Ternyata dua warga tersebut tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Amerika, begitu juga dengan para tentara yang tidak bisa berbahasa Belgia. Setelah mencoba beralih bahasa, akhirnya mereka menggunakan bahasa Perancis untuk berkomunikasi.
Setelah mereka bisa berkomunikasi, dua warga tersebut sepakat untuk membantu mengobati tentara yang terluka. Tidak sampai 20 menit tiba-tiba pintu depan rumah terdengar ketukan yang sangat keras.
Para prajurit Amerika tidak mengetahui siapa yang datang, mereka sibuk membantu mengobati prajurit yang terluka dan menyiapkan makan malam. Elizabeth, sang Ibu dari Fritz akhirnya membuka pintu. Seketika muka Elizabeth terperangah melihat lima prajurit Jerman yang berdiri dihadapannya.
Sadar akan kondisinya, Elizabeth seketika panik dan gugup. Para prajurit dari Jerman bertanya ke Elizabeth mengapa ia gugup. Elizabeth tidak banyak bertanya dan hanya menjawab, “saya sedang menerima tamu, saya sebenarnya sangat sibuk sekarang ini.”
“Tolonglah kami Bu, kami butuh tempat untuk bermalam, diluar sangat dingin dan kami kehabisan makanan, bolehkah kami menginap di rumah Ibu sampai pagi buta nanti?” Jawab prajurit Jerman yang tampaknya juga sudah kelelahan karena berperang di kondisi yang dingin dan kehabisan perbekalan.
“Huft, oke baiklah, tapi kau harus berjanji untuk tidak membuat keributan di dalam, karena aku dan anakku ingin situasi yang hangat dan damai.” Jawab Elizabeth dengan penuh keyakinan. Ya, Elizabeth tahu risiko yang ia hadapi. Bahwa rumahnya bisa saja jadi lahan pertempuran.
***
Betapa terkejutnya kedua pihak saat mereka bertemu di sebuah rumah sederhana pada malam hari pegunungan Ardennes. Mereka terkejut dan membeku, bahkan senjata pun tak sanggup digenggam kedua pihak.
Suasana kaku pun perlahan mencair saat tim medis dari Jerman memberanikan diri untuk membantu mengobati luka dari salah satu prajurit Amerika, tak hanya itu tim medis dari Jerman juga mencoba untuk berkomunikasi dengan salah satu prajurit yang terluka menggunakan bahasa Inggris. Betapa terkejutnya prajurit Jerman melihat tim medisnya memperlakukan musuh dengan cara yang sangat baik dan penuh kasih sayang.
Selang beberapa lama, Elizabeth dan Fritz keluar dari dapur membawa makanan dan anggur untuk jamuan makan malam. Tapi tak disangka sebuah keajaiban terlihat.
Prajurit dari dua kubu yang berbeda, dua kubu yang berperang keras di pegunungan yang dingin di bulan Desember, disatukan di gubug berukuran sedang, dan sangat bersemangat untuk menikmati hidangan makan malam bersama.
Para prajurit menikmati makanan dengan khusyuk, tidak terlalu banyak bicara. Dan setelah menikmati hidangan, kedua kubu terlihat seperti bukan lagi prajurit yang sedang saling berperang, mereka layaknya sekelompok anak muda yang bertemu di bar. Mereka berbicara, tertawa, dan berbagi cerita untuk dikenang bersama.
Fritz mengatakan ia melihat Ibunya berjalan pelan ke dalam kamar lalu membaca Alkitab. “Tuhan, terimakasih, Kau berikan kedamaian di satu malam yang hangat diantara dinginnya malam Natal di Ardennes,”
Fritz yang saat itu masih kecil tersenyum di pelukan Bundanya sembari bersyukur melihat dua kubu manusia yang tadinya bermusuhan lantas dipertemukan takdir di rumahnya untuk kemudian berteman saat keluar dari rumahnya.
***
Setelah mereka beristirahat cukup dan prajurit yang terluka sudah kembali pulih, mereka saling berpelukan dan mengucapkan selamat tinggal. Para prajurit Jerman juga memberikan Kompas kepada prajurit Amerika agar mereka bisa kembali ke kamp-nya.
Mereka juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Elizabeth, wanita kuat dan pemberani yang berjiwa tulus dan berhati baik, yang mau menerima tamu kavaleri prajurit dari dua kubu yang berbeda dan berhasil membuat suasana harmoni dengan hidangan yang nikmat, anggur yang hangat, dan api dari kayu bakar yang membuat hati gelap pekat menjadi terang bercahaya.
Prajurit Jerman memilih untuk tidak melaporkan Elizabeth. Mungkin hati mereka terketuk oleh kebaikan dan kemuliaan hati Elizabeth yang mengizinkan prajurit Amerika untuk masuk ke rumahnya. Fritz berpendapat semua hal ini bisa terjadi karena….
“Kehendak Tuhan bisa melampaui kehendak dan logika manusia.”
***
Pertempuran Bulge tercatat dalam sejarah berakhir pada 25 Januari 1945, dengan kemenangan mutlak Amerika. Jerman harus kehilangan 68.000 pria yang hilang ataupun tewas. Amerika pun harus kehilangan lebih dari 19.000 prajurit mereka yang tewas, hilang dan cedera fatal.
Dengan usainya perang Bulge, Jerman berhenti melakukan usaha ekspansi. Jerman tidak pernah membuat strategi menyerang lagi. Setelah cukup lama Jerman mencoba bertahan dari gempuran Amerika, pada akhirnya Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat pada tanggal 8 Mei 1945.
***
Perang adalah hal yang paling dihindari oleh suatu negara. Beragam hal diplomatis pasti dilakukan negara saat dihadapkan oleh konflik. Bukan hanya karena perang itu merugikan, perang bisa berdampak sangat buruk pada komitmen kemanusiaan seluruhnya untuk hidup dengan sedamai-damainya dan saling membantu.
“Seni tertinggi perang adalah untuk menundukkan musuh tanpa pertempuran.”
Sun Tzu
Raihan Reinara
Pelajar SMA Diponegoro 1