Fakta yang mungkin belum mampu dicerna oleh Charles Darwin pada 1832 ketika ia berlayar ke Kepulauan Galapagos sampai 1859 ketika ia menerbitkan The Origin of Species , adalah bahwa pada ranah ilmu genetika telah dikaji suatu kajian luar biasa tentang gen, DNA, dan hereditas. Menurut De Vries, penyesuaian atau variasi dimulai dengan suatu permulaan yang tiba-tiba. Permulaan itu dinamai mutasi.
Kromosom, Gen, dan DNA
Sir Ronald Fisher membuktikan bahwa kekayaan variabilitas genetik berbanding langsung dengan kesesuainya untuk bertahan hidup. Selanjutnya, Mendel menjelaskan bahwa setiap species mewarisi hereditas (diambil dari bahasa Inggris heredity) yang khusus dan unik. Heredity dalam bahasa Inggris diartikan “the transmissions of genetic physical or mental characteristics from parents to offsprings “ (The World Book Dictionary, hal.982). Mendel kemudian meneliti hereditas. Dengan menggunakan mikroskop, ia menemukan bahwa letak hereditas ada di dalam sel. Pada 1902 para ahli menemukan bahwa kromosom merupakan satuan-satuan hereditas Medel. Dan lebih spesifik lagi, unsur lebih kecil dari sel itu, yang berupa seperangkat benang berjumlah 46 (23 pasang) serat, yang disebut kromosom.
Thomas Hunt Morgan memulai penelitian menggunakan jutaan drosophila malanogaster(lalat buah), dan memakan waktu 17 tahun untuk menemukan jawaban melalui peta kromosom yang sebenarnya berhasil dibuat, bahwa: ciri-ciri fisik suatu species memiliki faktor penentu yang berada dalam tempat-tempat khusus di dalam kromosomnya. Satuan-satuan penentu itu disebut gen.
Para ahli lalu bergerak untuk meneliti gen. Aspek penelitian menekankan kemungkinan mutasi yang terjadi pada gen. Bila mutasi-mutasi dapat ditimbulkan dan perubahannya diteliti, maka dalam struktur “butir-butir yang membiakkan diri” tersebut terkandung sesuatu yang dapat dipelajari. “Butir-butir yang membakkan diri” tersebut masih tersembunyi di kedalaman gen. Morgan berpikir ia dapat melakukan mutasi buatan dengan menyinari sinar-X kepada gen dengan ukuran ultramikroskopik. Hal itulah yang kemudian dilanjutkan oleh H.J.Muller yang menemukan apabila struktur-struktur gen hewan (dalam percobaan kembali digunakan lalat buah) yang sudah terkena mutasi (melalui percobaan manusia) maka gen yang telah berubah akan menghasilkan species-species yang berbeda ciri-ciri fisik. Dan ketika Morgan dan Muller relatif “mentok” pada mutasi gen, Friedrich Miescher yang seorang ahli kimia menemukan “rahasia” lain dari kromosom. Yaitu bahwa gen memiliki komposisi kimia berupa asam tertentu, dan hanya terdapat dalam kromosom. Asam pertama diberi nama deoxyribonukleat acid (DNA) dan asam kedua diberi nama ribonucleic acid (RNA).
Penelitian tentang DNA tahun 1940 menemukan rahasia dari keanekaragaman DNA bukan dalam komposisinya, melainkan dalam strukturnya. “Sesuatu” dalam cara pembentukan DNA pasti penting artinya bagi bermiliyar-miliyar bentuk yang dapat dihasilkannya. Penulis penasaran sekali dengan “sesuatu” itu. Karena sejauh ini penulis menganggap “sesuatu” yang membentuk struktur DNA tersebut merupakan suatu tindakan “penciptaan”.
Manusia Purba dan Manusia Modern
Apabila ilmu biologi mengedepankan pendekatan bantuan ilmu genetika (mempelajari hereditas diwariskan pada keturunannya) dalam membahas evolusi mahluk hidup, maka sejarah mengedepankan pendekatan bantuan ilmu paleanthropologi (mempelajari fosil-fosil manusia purba).
Persinggungan itu semakin intens ketika para ahli biologi berusaha “mengklasifikasikan” manusia kedalam perkembangan dari “animal kingdom”. Usaha pengklasifikasian itu pada akhirnya menempatkan manusia pada ciri-ciri tertentu yang juga ditemukan pada hewan. Seperti manusia yang menyusui keturunannya, maka ketika akan dimasukkan dalam suatu golongan manusia dimasukkan dalam golongan mamalia. Selanjutnya dicari kemiripan ciri-ciri fisik, maka manusia dianggap memiliki kemiripan dengan primata.
Eugene Dubois juga memiliki nafsu menemukan missing-link antara kera dan manusia. Ia menemukan fosil tengkorak manusia wajak (ia beri nama homo wajakensis) pada 1890 di Pulau Jawa. Dan ia menganggap ‘manusia wajak’ berhubungan langsung dengan manusia modern (Richard E. Leakey; 1995). Namun, Dubois lebih terkenal dengan tiga fosil penemuan tahun 1892, yang dianggapnya sebagai suatu kesatuan utuh dari satu tubuh manusia purba, yang kemudian ia namakan pithecantrropus. Ia mendeklarasikan bahwa pithecanthropus merupakan missing-link yang selama ini disebutkan Darwin.
Lalu, dimanakah posisi kita? Apakah menerima atau menyangkal keterkaitan antara manusia dan kera melalui jembatan missing-link tersebut? Jawaban menerima atau menyangkal, akan berimbas pada pertanyaan pentig berikutnya, apakah kita menerima bahwa jenis manusia hadir di bumi sebagai proses evolusi dari kera, atau manusia (terlepas dari beberapa ciri-ciri fisik yang juga dianggap menyerupai kera) merupakan jenis yang sepenuhnya berbeda dengan berbagai kemampuannya?
Kita juga perlu tahu bahwa ada beberapa perdebatan seputar penemuan dan teori dari Dubois, termasuk kririk dari para ahli paleontologi maupun paleoanthropologi Barat. Secara sederhana Teuku Jacob (paleoanthropolog dari Indonesia) meragukan bahwa pithecanthropus sudah mempunyai kebudayaan. Hal itu didukung dengan tidak ditemukannya alat perkakas, volume otak yang kecil, dan rongga mulut yang kecil sehingga tidak memungkinkan menggunakan bahasa (Koentjaraningrat; 1990).
Masih banyak perdebatan teknis yang dapat dibicarakan. Penulis pada akhirnya – setelah melalui rangkaian diskusi dan pembacaan literatur – mencoba mengambil kesimpulan tentang kaitan manusia purba dan manusia modern. Penulis percaya bahwa segala sesuatu yang sebelum homo sapiens merupakan manusia purba. Dari australopithecus, meganthropous paleojavanicus, sampa kepada pithecanthropus merupakan manusia purba. Dan mulai homo sapiens itulah, sampai hari ini, yang merupakan manusia modern. Sejalan dengan tafsir penulisa terhadap surat Al-Baqarah ayat 30, yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Penulis percaya bahwa malaikat tidak mengetahui apapun kecuali Tuhan telah memberitahu mereka. Maka penulis yakin bahwa mahluk sebelum manusia Adam a.s. tersebut adalah suatu bentuk “manusia” yang belum sesempurna Adam a.s. Sehingga dengan demikian, manusia purba memang benar telah ada sebelum manusia modern. Dan manusia modern keturunan Adam a.s. merupakan jenis yang oleh para paleoanthropologis disebut homo sapiens. Dengan demikan homo sapiens, dengan empat ras-nya, austroloid-mongoloid-kaukasoid-negroid – yang telah menghuni bumi dari 40.000 tahun yang lalu itu adalah kita yang sekarang.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMK Al-Ishlah Cilegon, Ketua IGMP Sejarah-Kota Cilegon