Pekan lalu kita kembali disajikan berita yang sangat memprihatinkan. Seorang anak SD asal Cirebon meninggal dunia karena menjadi korban perundungan teman sebayanya. Cerita itu viral di media sosial, meski saat ini masih dalam proses penyelidikan polisi.
Dewantara.id, Jakarta – Sepanjang 2018 kasus ini bukanlah yang pertama. Februari lalu cerita serupa juga terjadi di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara saat seorang anak SD nekat bunuh diri karena kerap kali diejek teman sekolahnya.
Pernahkah terpikirkan oleh kita, bagaimana mungkin anak seusia itu bisa melakukan tindakan brutal hingga menyebabkan kematian. Perundungan di sekolah memang kerap kali dianggap sebagai biang kerok tingginya kasus kekerasan dalam ruang lingkup pendidikan. Meski pada kenyataannya, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan jumlah itu lebih sedikit dibandingkan kekerasan yang terjadi dari rumah atau lingkungan keluarga tempat si anak tinggal.
Akhir tahun 2017 lalu, dalam laporan Global Report 2017: Ending Violance in Childhood tertulis 73,7 persen anak Indonesia usia 1-14 tahun mengalami kekerasan di rumahnya baik dalam bentuk hukuman fisik maupun psikologis. Kenyataan ini kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang meminta adanya pelibatan keluarga dalam mencegah kekerasan di sekolah.
Dalam Pasal 6 Permendikbud No.30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan, salah satu bentuk pelibatan yang dimaksud adalah menjadi anggota tim pencegahan di Satuan Pendidikan. Nah, bagaimana mungkin keluarga atau orangtua bisa terlibat dalam mengurangi kekerasan di sekolah namun di saat yang bersamaan mereka menjadi pelaku kekerasan tersebut.
Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak mendapatkan kekerasan dari keluarganya. Salah satunya adalah tekanan ekonomi. Hidup dalam kemiskinan membuat pola pengasuhan terhadap anak jadi terganggu karena orangtua seringkali merasa stres atas pekerjaan dan kondisi keuangan rumah tangga. Namun dalam berbagai riset mengenai kasus kekerasan terhadap anak, faktor ini justru bukan yang utama. Buktinya, banyak kasus kekerasan terjadi di keluarga yang cenderung mapan.
Dalam berbagai literatur mengenai perkembangan anak, faktor yang paling sering mendapat perhatian adalah persepsi orangtua dalam mengasuh anak. Kebanyakan orangtua merasa tidak masalah menghukum anaknya baik secara fisik maupun mental. Mereka menganggap hal itu sebagai bagian dari proses pendidikan agar si anak lebih disiplin.
Persepsi keliru ini tidak muncul begitu saja. Para orangtua atau pengasuh yang masih memaklumi praktik kekerasan di rumah kebanyakan juga mengalami hal yang sama ketika mereka masih kanak-kanak. Pola pengasuhan ini lalu terjadi secara masif dalam lingkungan masyarakat yang lebih besar dan akhirnya menjadi tindakan normatif.
Inilah yang membuat kekerasan pada anak dalam keluarga seakan menjadi hal yang lumrah. Padahal, hak anak untuk mendapatkan perlindungan sudah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 dan Konvensi Hak Anak (KHA), yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Orangtua dan keluarga wajib memberikan perlindungan itu.
Memutus rantai kekerasan dari rumah
Sekolah adalah tempat di mana anak mulai mengintrepretasikan apa yang ia lihat dan pelajari dari rumahnya. Celakanya, anak-anak yang diasuh dengan kekerasan atau menyaksikan tindak kekerasan akan berinteraksi dengan temannya di sekolah dengan pendekatan yang tidak jauh berbeda. Tak heran bila kasus kekerasan dan perundungan sudah terjadi di tingkat satuan pendidikan dasar.
Untuk menyelesaikan masalah perundungan di sekolah, kita mungkin bisa mengadopsi metode yang dilakukan para guru dan orangtua di Finlandia. Mereka menyebutnya KiVa, akronim dari kiusaamista vastaan yang berarti melawan perundungan. Jika terjadi konflik di antara para murid, guru dan orangtua akan meminta pertemuan KiVa. Kedua murid yang berkonflik lalu mulai menceritakan sudut pandang mereka masing-masing untuk menemukan akar masalah mengapa perkelahian bisa terjadi.
Setelah akar masalah ditemukan, anak murid lalu diminta untuk mencari jalan agar konflik tak lagi terjadi. Ide dasarnya ialah membiarkan anak belajar untuk mengidentifikasi solusi apa yang bisa disepakati bersama. Mereka tidak perlu meminta maaf jika tidak ingin melakukannya karena biasanya itu tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Metode sederhana ini sebenarnya merupakan bentuk praktik nyata dari pengasuhan yang dialogis. Konsep pengasuhan seperti inilah yang harus diterapkan keluarga di rumah. Paulo Friere dan Myles Horton dalam bukunya berjudul We Make the Road By Walking menyinggung mengenai cara mereka mengasuh anak dengan dialog dibandingkan dengan gaya otoriter.
Menurut mereka membuka ruang dialog dengan anak bisa dimulai dengan memberikan penjelasan dan argumen mengapa kita mengatakan “tidak” atau “ya” pada sebuah perbuatan yang anak lakukan. Dengan cara itu kita mengajari anak untuk mencari alasan logis bukan sekedar memberi larangan tanpa penjelasan.
Tantangan pola pengasuhan dialogis ini juga berguna bagi orangtua yang anaknya masuk dalam kategori generasi Z. Generasi Z merupakan anak-anak yang lahir di kisaran tahun 1995-2010. Itu artinya sebagian besar murid sekolah dasar saat ini adalah bagian dari generasi Z. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi Z sangat fasih dengan kemajuan teknologi informasi. Mereka lahir di saat intenet mudah dijangkau hampir semua lapisan masyarakat.
Dengan internet anak-anak mudah mendapat informasi secara cepat melalui perangkat lunak yang mereka miliki. Bisa jadi informasi dan konten yang mereka dapatkan bermuatan kekerasan hingga ikut memicu perilaku mereka di sekolah. Namun melarang atau menjauhi anak dari internet juga bukan solusi yang dicari.
Teknologi ini secara tidak langsung membuat pola belajar anak-anak generasi Z berbeda. Para peneliti dari Universitas Hawaii dalam jurnal mereka berjudul Teaching in Generation Z mengungkapkan, penggunaan perangkat multimedia ternyata membuat perkembangan kemampuan visual dan kognitif anak jadi meningkat.
Selain itu hasil riset itu juga menunjukkan pengaruh teknologi membuat generasi ini lebih mudah menerima keberagaman etnis, agama, dan budaya. Sesuatu hal yang penting untuk masyarakat kita yang plural.
Meski memberikan banyak manfaat positif, teknologi bukan menjadi ujung tombak perkembangan anak. Orangtualah ujung tombak itu. Teknologi hanya instrumen pelengkap yang memudahkan anak mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Keluargalah yang berperan menanamkan nilai-nilai positif sehingga terbentuk karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Langkah ini sudah sejalan dengan apa yang dicanangkan Kementerian Pendidikan mengenai keterlibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan yakni dengan mendorong budaya literasi, memotivasi semangat belajar anak, memfasilitasi kebutuhan belajarnya, hingga penanaman karakter dengan selalu mengedepankan dialog.
Orangtua atau keluarga terdekat memiliki tanggung jawab besar pada masa depan anak. Sebab itu pola pengasuhan akan menentukan seperti apa karakter generasi berikutnya. Pada momentum Hari Anak Nasional ini sudah saatnya kita menegaskan untuk berpihak pada hak anak. Dengan pendekatan yang humanis, keluarga dan orangtua bukan hanya turut berkontribusi dalam mengurangi kekerasan di sekolah namun juga menciptakan generasi penerus yang lebih baik.
*Pegiat pendidikan masyarakat dan literasi media. Aktif dalam gerakan Koalisi Pendidikan