Pendidikan nasional saat ini berhadapan dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia “dipaksa” untuk mengejar ketertinggalan dalam penguasaan teknologi yang semakin canggih. Pembangunan nasional mengarah pada proses tumbuhnya sumber daya bangsa yang menguasai pengetahuan-pengetahuan praktis serta penguasaan teknologi. Pendidikan difungsikan hanya untuk melayani kepentingan-kepentingan tersebut.
Kalau kecenderungan itu semakin menguat dikhawatirkan pendidikan hanya memproduksi “robor-robot” yang bekerja seperti layaknya mesin. Pendidikan akan memainkan fungsi manifest untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan fungsi latennya untuk menciptakan dan menguatkan batas-batas sosial (bahkan menjadi menara gading) dengan kehidupan rakyat. Pada sisi lain hal itu dapat berakibat mengabaikan faktor-faktor kemanusiaan.
Tahun 1987, seorang penulis bernama Russel Yacoby dalam buku “The Last Intellectual” telah mewanti-wanti tentang fenomena kaum pemikir yang tidak memikirkan peri kehidupan rakyat. Kemudian kegetiran itu terjawab setelah fenomena lahirnya generasi pemikir yang disebut sebagai “public intellectual”. Pemikir-pemikir generasi ini memikirkan dan mengembangkan dialog antara ilmu pengetahauan (science), sastra, filsafat, moral, dan agama. Perkembangan itu tentu saja mempengaruhi dunia pendidikan yang tidak hanya berorientasi keilmuan semata, tetapi memperhitungkan pentingnya filsafat, moral, bahkan agama sebagai sumber untuk membangun kehidupan manusia. Tetapi kemudian dunia pendidikan kembali berbalik dengan menguatkan diri pada hegemoni pengembangan ilmu dan teknologi bahkan sistem komputasi.
Secara konseptual Ki Hajar Dewantoro telah memotret fenomena seperti diatas. Menurunya fenomena di atas sejatinya bukanlah pendidikan, tetapi itu adalah proses pengajaran. Pengajaran pada dasarnya berorientasi untuk memerdekakan manusia terhadap kehidupan lahir (jasmaniah/fisik), termasuk barangkali dalam hal ini memerdekakan manusia Indonesia dari “keterbelakangan” penguasaan teknologi. Proses pengajaran itu diarahkan untuk membebaskan manusia-manusia Indonesia dari keterbelakangan ekonomi, dan teknologi untuk mencapai kesejahteraan lahiriah.
Sebaliknya pendidikan menurut beliu sejatinya adalah untuk memerdekakan batin (jiwa) dari penjajahan mental dan spiritual. Tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan batin manusia dari setiap bentuk tekanan batin, spiritual, mental, dan kejiwaan manusia. Oleh karena pendidikan dan pengajaran secara esensi bertujuan untuk memerdekakan (membebaskan) manusia-manusia sebagai anggota persatuan rakyat.
Pendidikan dengan demikian bukanlah sistem “pabrikasi” untuk menciptakan manusia-manusia untuk memenuhi pabrik-pabrik (industri-industri) sebagai mesin untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Pendidikan adalah proses yang terus-menuerus secara berkelanjutan untuk membangun manusia-manusia berjiwa merdeka, yaitu manusia-manusia berkarakter kemanusiaan. Pengajaraan memang penting untuk memberikan kepemampuan praktis manusia agar supaya dapat mencari kehidupan material bagi pemenuhuhan kebutuhan fisik/jasmaninya agar dapat memebebaskan diri dari kemiskinan ekonomi. Tetapi pendidikan pun sangat penting untuk membentuk batin, jiwa, rasa, mental, dan spiritual manusia. Pembentukan faktor-faktor ini berguna untuk mempersiapkan manusia secara batin dan kejiwaan dalam menghadapi setiap perubahan-perubahan zaman. Sehingga pendidikan dan pengajaran ditujukan untuk membentuk manusia utuh, karena manusia itu bukan hanya terdiri dari jasmani (fisik) tetapi juga terdiri dari batin, rasa, mental, dan jiwa. Untuk itu pendidikan berjalan sesuai dengan kondrat keadaan yang tersimpan dalam adat-istiadat (tradisi-tradisi) rakyat itu sendiri. Oleh karena itu seluruh perangkat berkaitan dengan proses pendidikan, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan, guru (dosen), murid/siswa (mahasiswa) tidak dapat memisahkan dan mengasingkan diri diri dari kehidupan rakyat.
Pendidikan nasional tidaklah perlu membangun dikotomi antara ilmu pengetahuan-teknologi yang selalu dimaknai sebagai ilmu pasti (ilmu alam) dengan ilmu-kemanusiaan (humaniora dan sosial), filsafat, moral, etika, adat-istiadat, dan agama. Pendidikan perlu membangun satu kesadaran dalam dirinya bahwa semuanya itu saling berkaitan dan saling mempengaruhi, dan tidak dikotomis. Hal itu sebagai usaha untuk menempatkan manusia sebagai mahluk yang utuh, yaitu memiliki kemampuan rasional, spiritual, mental, batin, jiwa, dan fisik (jasmani). Sehingga makna “mencerdaskan kehidupan bangsa” itu mesti dimaknai mencerdaskan intektual (rasional), juga mencerdaskan spiritual, jiwa, batin, mental, rohaninya.
Dengan demikian tujuan pendidikan nasional seharunya diorientasikan pada proses menumbuhkan manusia secara utuh. Proses pendidikan sebagai proses menumbuhkan dan mengembangkan kemampaun-kemapuan yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu potensi akal (rasio), potensi, spiritual, potensi batin (rohani), potensi fisikal (jasmani). Sehingga manusia yang lahir dari dunia pendidikan tidak hanya manusia-manusia yang memiliki kemampuan menguasai ilmu pengatuan dan teknologi tetapi juga memiliki kesadaran kemanusian, moral, dan kesadaran spiritual sebagai bangsa Indonesia dan bagian dari masyarakat internasional.
Pendidikan sebagai proses menumbuhkan manusia tidak memisahkan diri dari kehidupan rakyatnya. Karena pendidikan nasional pada dasarnya adalah menumbuhkan dalam diri manusia jiwa merdeka, kerakyatan, dan jiwa ksatria (manusia jujur dan bertanggung jawab pada perkembangan kehidupan rakyat).
Yana Priyatna
Tenaga Pengajar di Universitas Bung Karno Jakarta