Agustus bulan kemerdekaan. Sang Merah Putih berkibar di tiap pelosok negeri. Sayang di bulan ini masih terjadi tindakan barbar nan keji.
Terdapat kabar mengerikan. Sekelompok manusia melabeli dirinya Barisan Muslim Indonesia melakukan tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan kesalehannya, melakukan perampasan buku yang dianggap berbahaya.
Sentimen sejarah yang dibuat Orde Baru ditengarai menjadi penyebab. Tanpa membaca terlebih dahulu isi buku mereka merangsek ke toko buku kemudian mengambil paksa buku-buku dengan cover wajah Karl Marx dan ada bertuliskan Komunisme dan Sosialisme, serta buku dengan wajah Aidit. Aksi mereka pun viral. Entah mungkin viralitas itu meningkatkan vitalitas keimanan mereka atau tidak. Bisa jadi ada desain lain.
Di zaman serba canggih seperti sekarang ini ternyata masih ada kelompok yang berperilaku barbar. Semangat Revolusi Teknologi 4.0 sirna sudah seketika jika hal seperti ini masih terjadi. Betapa tidak bangsa yang sebentar lagi merayakan kemerdekaannya yang ke 74 tahun ini masih saja dibayang-bayangi hantu yang absurd ‘PKI’.
Setelah tumbang selama 20 tahun lebih. Ternyata kampanye Orde Baru soal bahaya laten Komunis masih terpelihara di sebagian besar rakyat Indonesia. Sudah banyak penelitian dan studi baru dilakukan. Hasilnya pun disajikan dalam bentuk beragam. Mulai dari film dokumenter sampai dengan buku ilmiah. Dalam seminar-seminar pun sudah banyak disampaikan.
Sebagai contoh tengoklah Shadow Play hasil penelitian Indonesianis asal Australia Lisa Hunt ini beredar luas di media sosial. Kemudian Seratus Tahun Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam. Sayangnya kedua literatur ini pun tidak dilirik Ormas pelaku razia. Alergi aksara dan bertindak diatas pranata hukum tentunya bukan bagian dari semangat Islam, apalagi kemerdekaan.
Ikhwal pelarangan dan razia buku memang bukan menjadi peristiwa baru di Indonesia. Sejak zaman orde lama, Orde Baru dan sampai zaman sekarang ini yang disebut orde paling baru pelarangan buku masih kerap terjadi. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia sebagai bagsa belum merdeka. Merdeka secara gagasan, cita-cita dan perbuatan nyata.
Tendensi Ideologi
Hampir genap 74 tahun bangsa Indonesia ini akan merdeka. Kendati demikian pola berpikir dan tindakan manusianya masih saja mirip zaman kolonial. Sebagai contoh para pelajar di sekolah, hanya mau belajar ketika disuruh belaka. Sebagian mereka asik dengan medsos dan game online, meski beberapa ada yang menjadi profesional. Sebagian besar dari mereka hanya terlena. Bahkan ada saja yang beranggapan bahwa apa yang diterima di medsos merupakan fakta di dunia nyata.
Hoax bertebaran dan mudah diterima. Hal tersebut menjadi bukti kurang independent nya manusia Indonesia dalam hal berpikir dan berperilaku. Merdeka bila dianalogikan dalam filosofi liberalisme ialah tidak mengganggu hak orang lain. Kemerdekaan yang ditafsirkan generasi pelajar dan orang muda era abad 21 di Indonesia ialah berbuat sekehendak dan sebebas mungkin.
Razia buku, konsumsi miras dan napza, serta insiden kendaraan maut menjadi tolok ukurnya. Kejadian kejadian unik (motor naik ke trotoar, lampu merah yang dilanggar, dan banyak pelanggaran aturan lainnya) menjadi tolok ukur berikutnya. Lalu dimana merdeka yang 74 tahun?
Secara harafiah merdeka berarti menjadi tuan di negeri sendiri. Berkomitmen terhadap aturan dan konstitusi yang hakiki. Konstitusi yang dibuat para pendiri bangsa. Konstitusi yang dibuat oleh para pendahulu yang heroik memperjuangkan sebuah negara. Upaya merazia buku di Makassar, pelarangan terbit beberapa judul buku di zaman SBY merupakan wujud ketidak merdekaan. Hal-hal tersebut melanggar undang-undang dasar 45 tentang kebebasan berpikir, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Razia buku tidak dapat dipungkiri menjadi tradisi yang harus ditumpas. Alergi terhadap beberapa jenis ideologi harus disingkirkan. Karena pada dasarnya setiap ideologi yang lahir, besar dan berkembang di dunia dan Indonesia khususnya didasarkan pada semangat untuk memperbaiki setiap sendi kehidupan. Bukan untuk merusak dan menghancurkan yang lama dengan yang baru.
Syahrir, Tan Malaka, Suwardi Suryaningrat, Suryo Pranoto, Kartini dan masih bannyak lagi adalah para pejuang kemerdekaan. Hari-hari dalam hidupnya dihabiskan untuk membaca, berkontemplasi dan melakukan aksi nyata untuk perubahan. Kemerdekaan sanak famili, tetangga, handai taulan dan semua manusia yang berdiam dalam penindasan kolonialisme dan imperialisme bangsa asing.
Sejarah membuktikan dialektika dari kenyataan yang direfleksiakan dengan gagasan ideal serta tindakan maju menghasilkan Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang sudah berumur 74 tahun, Indonesia yang masih ada sebagian kelompok manusianya yang gemar membaca. Bertindak dan berpikir merdeka. Kendati demikiankemerdekaan Indonesia yang 100% seperti dicita citakan Soedirman dan Tan Malaka masih haruslah menjadi pekerjaan rumah bersama. Setiap individu, dari generasi ke generasi.
Merdeka 100% pada hari ini mesti mewujud nyata di usia Republik yang lebih dari tujuh dekade, salah satunya melalui membaca. Membaca apa saja buku yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan lingkungan sekitar. Membaca dan kemudian merefleksikan selanjutnya melakukan banyak perbuatan. Meski pada titik perbuatan mungkin akan banyak benturan. Pada benturan itu akan mebentuk suatu formula perjuangan. Mengutip Tan Malaka, “Terbentur, Terbentur Terbentuk.”
* Penulis adalah guru di SMA Sumbangsih Jakarta