Di India sebelum merdeka ada Penguruan “Santi Niketan” yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Tujuan esensialnya adalah menyempurnakan kemanusiaan dari makhluk manusia. Dalam periode yang sama di Indonesia ada “perguruan Nasional Taman Siswa” yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara.
Dewantara – Tujuannya esensialnya adalah menyiapkan manusia Indonesia untuk mampu memerdekakan bangsanya dari penjajahan, melalui pembinaan sikap lewat filosofi “Tetep Mantep Antep” serta “Neng Ning Nung Nang..”
“Neng” yang berasal dari kata “meneng“, artinya diam.
“Ning” yang berasal dari kata “wening”, yang berarti jernih atau bening.
“Nung” yang berasal dari kata “hanung” yang berarti unggul.
Lalu “Nang” yang berasal dari kata “menang”, yang mempunyai arti sukses atau tercapai tujuan usaha. Maka makna tersirat dari keseluruhan kata-kata tersebut adalah;
Dalam berbicara, orang diniscayakan tetap berpikiran jernih, hingga dapat mencetuskan ide-ide unggul dan berakhir dengan kemenangan.
Tokoh kita ketika itu yang punya sense of mission dari pendidikan seperti ini juga ada di Sumatera. Moh. Sjafei dengan sekolahnya “Indonesische Nijverheid School” di Kayutanam Semua pendidikan adalah pendidikan moral karena Semua pembelajaran didaktis menuntun semua orang yang terlibat — anak didik, guru, orangtua, dan staf sekolah — sedemikian rupa hingga mengkondisikan perbuatan dan pemikiran mereka tentang apa salah yang diniscayakan, di halaman sekolah, di rumah, di masyarakat luas.
Maksud pendidikan adalah mengajar anak didik “bagaimana dan mengapa berpikir” (how and why to think), bukan “memikirkan apa” (what to think). Kita tidak boleh membiarkan para guru yang menggunakan posisi mereka berpropaganda. Namun kita seharusnya juga tidak membiarkan mereka yang tidak peduli (bersikap indifferent ) terhadap cara anak didiknya membuat kesimpulan atau menyimpulkan judgement.
Selaku pendidik kita tahu bahwa anak didik, sesuai dengan usia dan/atau tingkat kedewasaannya, bisa tidak atau belum mengetahui cara atau jalan lagi guna membuat kesimpulan atau judgements. Untuk ini kerja pendidikan memerlukan pegangan mutlak dalam berkarya sehari-hari.
Pertama dan utama adalah “kebudayaan” di mana pendidikan merupakan bagian konstitusional dari kebudayaan dan bukan sebaliknya. Melalui pembelajarannya pendidikan mentransmisikan nilai-nilai; sedangkan kebudayaan adalah sistim nilai dan ide vital dalam yang kita hayati.
Istilah nilai mengandung dua pengertian pokok.
Pertama, ia berhubungan dengan standar nilai atau judgement. Di sini nilai diartikan azas atau ukuran yang dipegang bilamana manusia ” menilai” atau “Judging” apakah sesuatu penting atau tidak penting, berguna atau tidak berguna, dikehendaki atau tidak dikehendaki, pantas atau tidak pantas dikembangkan. Bila demikian nilai dalam konteks ini bersifat preskriptif dan normatif.
Kedua, istilah nilai berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap memang layak dijunjung tinggi karena ia bernilai secara intrinsik. Segala sesuatu yang bernilai sendiri ini dapat berupa benda material yang berwujud, mempunyai bentuk dan karenanya tangible. Di samping ini ada yang tidak berbentuk (Intangble). Manusia, baik sebagai perorangan maupun selaku kelompok menunjukkan pritoritas yang tinggi pada sesuatu yang bernilai ini sebagaimana terbukti dan preferensi repetitif terhadapnya, termasuk yang intangible.
Dunia pendidikan pada umumnya berurusan dengan nilai nilai yang intangible itu. Di dunia ini “nilai” diperlakukan sebagai “genus”, yang diajarkan berupa spesies-spesiesnya, yaitu aneka ilmu pengetahuan (matematika, sejarah, biologi, dl), serta etika, sopan-santun, aturan legalisitik, dll.
Moralitas tugas dan aspirasi
Kebudayaan meliputi pula ide vital yang kita hayati. Sejarah perkembangan manusia di mana pun hidup menurut beberapa gagasan ideal dan/atau pasti yang dalam dirinya merupakan dasar penting dari cara hidupnya (way of life), misalnya “Pancasila.” Gagasan ini dapat dikatakan “vital” karena ia adalah persepsi dengan mana kita, manusia Indonesia, menjalankan dan mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jadi ia banyak sedikitnya merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian aktif kita tentang natur dunia beserta sesama makhluk yang mendiaminya, keyakinan mengenal hierarki dari nilai segala sesuatu, sesuai dengan tuntutan waktu dan kondisi hidup keseharian.
Pengertian yang mendasar dari kata “kehidupan” bukanlah “Biologis” tetapi “biografis”. Artinya kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa-apa yang kita lakukan yaitu sikap, usaha dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan satu pendirian dalam tatanan segala sesuatu dan dalam skema segala hal serta menetapkan satu arah di dalam perputaran dunia ini.
Tadi saya katakan bahwa pendidikan, secara esensial adalah pendidikan moral, karena ia memandu, mengondisikan bagaimana orang (sepantasnya) berperilaku, termasuk berpikir yang menentukan bentuk dan cara berperilaku tersebut. Bila hal ini dikaitkan langsung pada diri anak didik berarti proses pendidikan terpanggil untuk menumbuhkan “a sense of mission” di kalangan mereka, melalui pembiasaan moralitas.
Pertama adalah moralitas aspirasi. la adalah moralitas dari kehidupan yang baik, yang terpuji, excellent, unggul, dan mencerminkan realisasi sepenuhnya dari kemampuan-kemampuan human. Bila seseorang tidak sanggup meraih semua yang dia inginkan, dia memang diakui tidak berhasil, tetapi bukan berarti gagal bertugas. Dia “bersalah” karena berkekurangan, bukan karena berbuat jahat.
Moralitas aspirasi selaku standar keunggulan, morality of excellence, mengelola aspirasi-aspirasi dengan mempertanyakan apakah setiap kegiatan merupakan suatu “kegiatan yang bernilai”? Kalau dia (anak didik) tidak mampu meraih yang dia inginkan, apakah tidak sebaiknya ia banting setir saja, menginginkan apa-apa yang dia mampu?!
Kedua moralitas tugas. la mengatur orang selaku warganegara, sementara moralitas aspirasi mengatur orang ketika dia berusaha mengangan sebaik-baiknya “tanggung lawab yang lebih luas daripada peran manusia”, yaitu tanggung jawab yang terkait dengan kemungkinan besar dari kehidupan yang melampaul perimeter sfer politik. Dengan kata lain, moralitas aspirasi mengatur kegiatan-kegiatan orang melampaui tugas-tugas sosial yang dia tanggung bersama dengan lain-lain warganegara. Moralitas tugas memang kurang menuntut namun lebih strength dalam pertimbangannya (its judgement).
Bila moralitas aspirasi berawal di puncak kinerja human, moralitas tugas dimulai di bawah. la menyiapkan aturan-aturan dasar, sebab tanpa aturan-aturan tersebut tidak mungkin ada suatu masyarakat yang tertata (well ordered ) dan bila diarahkan ke suatu tujuan tertentu pasti gagal. Ia adalah moralitas dari “Perjanjian Lama” dan dari “The Ten Commandments“. la lebih sering berujar dalam term “thou shall not” ketimbang “Thou shalt.”
la tidak mengutuk manusia karena gagal memanfaatkan kesempatan demi realisasi yang sempurna dari kekuatan-kekuatannya. la mengutuk manusia berhubung gagal memenuhi tuntutan-tuntutan dasar dari kehidupan manusia yang beradab.
Perbedaan antara moralitas tugas dan moralitas aspirasi menyatakan ketidakmungkinan (Impossibility) atau ketidakarifan (unwisdom) dari usaha mewujudkan suatu fusi, secara teoritis atau faktual, antara “penduduk yang baik” dan “warganegara yang baik”. Hukum sekalipun kelihatan tidak berdaya untuk memaksa seseorang meraih keunggulan (excellence), yang dia sebenarnya berkemampuan melakukannya. Maka demi adanya workable standard of judgement hukum berpaling ke moralitas tugas. Apa yang raib di moralitas aspirasi dalam relevansinya yang langsung dengan hukum, ditemukannya dalam pandangan yang mendalam dari implikasinya.
What the morality of aspiration loses in direct relevance for the law, it gains in the pervasiveness of its limplication.
Tubuh, pikiran dan jiwa
Dari pertarungan berabad-abad untuk mengurangi peran irrasional dalam urusan human, dapat kiranya disimpulkan bahwa tidak ada jalan yang tersedia bagi kita untuk memaksa manusia hidup sesuai dengan kehidupan bernalar. Kita hanya bisa berusaha memisah kehidupan manusia dari manisfestasi besar-besaran dari faktor kebetulan, irrasionalitas, dan takhyul.
Di antara paksaan dan ketidakpedulian terbentang suatu area luas dari himbauan, insentif dan lain-lain dorongan halus ke kehidupan yang lebih baik. Kita dapat menciptakan kondisi yang esensial bagi suatu eksistensi human yang serba rasional. Pendidikan, misalnya, dapat berbuat demikian melalui pematangan berpikir. Sebab, if everything begins in the maind of men, it in the maind of men that we have to build the capacity to build the capacity to judge properly.
Aksi-aksi pendidikan visioner meliputi usaha usaha melokalisir bidang-bidang yang memungkinkan sukses dalam menggiring warga negara, melalui hukum, ke kehidupan yang layak. Sudah tentu peran serta pemerintah dalam kegiatan ini sangat diperlukan karena bisa sangat menentukan sekali dalam sukses atau tidak usaha tadi. Bila kita amati keseluruhan deretan isu moral, kita mungkin dapat membayangkan sejenis skala atau ukuran yang berawal dari bawah, bersamaan dengan keinginan kehidupan sosial dan meluas ke atas, ke tercapaian tertinggi dari aspirasi manusia.
Di salah satu titik skala itu ada petunjuk tersembunyi yang menandakan garis pemisah di mana tekanan tugas berakhir dan tantangan dari keunggulan (excellence) berawal. Keseluruhan medan dari argumen moral didominasi oleh pertarungan besar mengenai lokasi petunjuk tersebut.
Dan di medan pertarungan itulah anak-anak manusia lahir dan dibesarkan. Bayi manusia tergolong makhluk yang terlemah diantara bayi-bayi mamalia lainnya, seperti anak harimau, anak gajah dan lain lain, yang tak lama sesudah lahir bisa berjalan, paling sedikit tegak lurus. Namun bayi manusia bisa tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang terkuat, menguasai “dunia”, karena menurut naturnya dia bisa disempurnakan secara ekstra genetik dan ekstra somatik.
Penyempurnaan itu perlu karena anak manusia ini dalam proses hidup dan kehidupan selanjutnya dihadang oleh tantangan-tantangan yang tak terelakkan, yang karena itu perlu direspons dengan tepat, yaitu
(1) pilihan hidup,
(2) pengetahuan, dan
(3) praktek komunikasi.
Hidup ini tidaklah berupa sesuatu yang serba jadi, siap untuk dipakai. Pada setiap saat manusia harus menilai, menetapkan pendirian, mengambil keputusan mengenai langkah selanjutnya yang harus diambil.
Supaya dapat memutuskan pada satu saat tentang apa yang harus dilakukannya pada saat berikutnya manusia memerlukan aneka pengetahuan baik yang berdasarkan pengalaman pribadi, maupun, bahkan lebih-lebih bersendikan pikiran yang telah dilatih oleh proses pendidikan. Manusla perlu berkomunikasi karena dia tidak hidup sendirian seperti Robinson Crusoe yang terdampar di pulau terpencil.
Untuk ke-efektifitas-an berkomunikasi itulah dia memerlukan ilmu komunikasi dengan aneka peralatan (Gadgets) yang semakin canggih. Akhirnya mengenai Kollese Kanisius. Kollese Ini bukanlah lembaga pendidikan umum biasa.
Ia dibangun dan berkarya pedagogis berdasarkan nilai nilai religius tertentu di samping nilai. keintelektualan umum dan nilai-nilai kebangsaan. Maka menurut hemat saya kollese ini punya tugas khas yang terkait dengan natur pedagogisnya, yaitu membiasakan anak didiknya untuk selalu menjaga keseimbangan antara kesehatan badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (soul). Demi kesehatannya masing-masing unsur itu memerlukan asupan (feeding) yang khas.
Badan cenderung dilayani lebih dahulu, diutamakan. la memang sangat menuntut. Ia tidak membiarkan kita melupakannya. Kalau kita lupa, la menyebabkan kita lemah physically dan merasa tidak enak secara mentally.
Pikiran juga menuntut asupan karena la menjadi gelisah bila la dibiarkan tidak aktif. Manusia bisa haus pengetahuan, literatur, buku, dan fine arts terutama bila dia pernah menempuh pendidikan formal yang memadai.
Jiwa yang sering diabaikan. Ia memang pendiam, sabar, dan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lstimewa. Jika diabaikan, jiwa Ini menangis lembut dalam hati. Kalau sudah begitu manusia menjadi gelisah tanpa mengetahui mengapa.
Ada rasa kekurangan dan kehilangan. Jika jiwa tidak pernah diberi feeding khas yang ia perlukan, ia akan menjauh dan rontok menjadi serbuk halus yang sulit diamati. Pantas disesalkan bila jiwa yang seharusnya hidup, bergairah, dan cemerlang, lambat laun pudar, lenyap into nothingness. Padahal himne nasional kita, Indonesia Raya, sudah menegaskan bahwa kita perlu membangun jiwa lebih dahulu, baru membangun badan, demi Indonesia Raya.
***) Ditulis oleh Daoed Joesoef, Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III 1973 – 1983. Disampaikan di Kanisius Kolese, Jumat 24 April 2015. Tulisan ini juga diterbitkan pada salah satu bab dari buku “Taman Siswa Badan Perjuangan”. Penerbit UST-Press, 2 Mei 2015. Dimuat kembali untuk tujuan pendidikan.