Dewantara, Jakarta – Semakin maraknya pemberitaan kasus kekerasan seksual pada anak di berbagai media selalu membuat orangtua khawatir. Situasi tersebut diperparah dengan fakta bahwa masih banyaknya mitos kekerasan pada anak yang beredar di masyarakat. Tentu saja tak hanya merugikan korban, sejumlah mitos ini juga sering justru meneror dan bikin resah.
Nah, supaya tidak lagi salah kaprah, berikut berbagai mitos kekerasan seksual pada anak yang perlu diluruskan, sebagaimana dilansir hellosehat.com (12/07).
Jenis-jenis kekerasan seksual
Menurut undang-undang nomor 35 tahun 2014, kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan pada anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum.
Namun, kekerasan seksual pada anak terbagi lagi menjadi banyak jenis. Menurut World Health Organzation (WHO), jenis kekerasan seksual terhadap anak meliputi pornografi, perkataan-perkataan porno, tindakan tidak senonoh, pelecehan organ seksual anak, perdagangan seksual, serta ekspolitasi melalui media sosial.
Mitos-mitos kekerasan seksual pada anak yang keliru
Banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak memang membuat setiap orangtua merasa cemas dan takut. Namun, jangan sampai ketakutan yang Anda alami bersumber dari informasi yang tidak valid dan tidak diketahui kebenaran pastinya.
Maka itu, yuk akhiri beragam mitos kekerasan seksual pada anak dengan mengetahui fakta sebenarnya. Ingat, salah satu senjata terbaik untuk menjaga keselamatan anak adalah pengetahuan yang mumpuni.
1. Pelakunya pasti orang asing
Banyak orang mengira bahwa pelaku pelecehan seksual pada anak sudah pasti orang asing, yang belum pernah ditemui atau dikenal anak sebelumnya. Faktanya, pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk kerabat terdekat anak.
Data di lapangan menunjukkan bahwa hampir kebanyakan kasus kekerasan seksual pada anak justru dilakukan oleh anggota keluarga terdekat. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Maria Amiruddin, yang dikutip dari laman BBC Indonesia. Maria mengatakan bahwa lebih dari 60 persen kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan rumah dengan pelaku ayah, paman, atau kakak.
Maka dari itu, para ahli meminta para orangtua untuk mengenalkan pendidikan seksual pada anak sedini mungkin. Ajari anak Anda mengenali anatomi tubuhnya sendiri dan beri tahu mereka bahwa ada area-area tertentu yang tidak boleh dilihat atau disentuh sama sekali oleh orang lain. Kecuali jika kondisi tubuh anak mengharuskan untuk diperiksa oleh tenaga medis.
Selain itu, ajari anak juga untuk berani bersuara melaporkan kejahatan dan perilaku mencurigakan yang terjadi di sekitarnya ke pihak yang berwajib.
2. Pelaku adalah laki-laki
Kekerasan seksual memang lebih banyak terjadi pada perempuan dan dilakukan oleh pria. Itu sebabnya, stigma pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki memang sangat kuat dan mengakar di benak masyarakat. Namun, tahukah Anda bahwa kepercayaan ini salah kaprah?
Lagi-lagi, penting untuk dipahami bahwa pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja. Tidak mengenal gender atau jenis kelamin. Tak melulu laki-laki, kekerasan seksual pada anak juga bisa dilakukan oleh wanita. Begitu juga sebaliknya, anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak selalu perempuan. Pada kenyataanya banyak juga anak laki-laki di luar sana yang jadi korban.
Faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat jahat tidak didasari oleh gender alias jenis kelamin. Jadi, wanita mungkin saja jadi pelaku kekerasan seksual yang menargetkan anak laki-laki.
3. Kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang dewasa
Mitos kekerasan seksual pada anak satu ini penting untuk diluruskan. Seperti yang sudah disinggung di atas, kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja. Sangat mungkin kekerasan seksual terjadi dalam lingkup pertemanan anak-anak. Entah itu dilakukan oleh teman yang sesama jenis atau lawan jenis.
Pelecehan seksual adalah jenis kekerasan seksual yang paling sering terjadi dengan korban dan pelaku sama-sama anak. Pelecehan yang biasanya dilakukan meliputi tindakan senonoh/pelecehan organ seksual anak, komentar “kotor” tentang tubuh anak, perkataan-perkataan porno, menampilkan gambar, cerita, atau benda seksual, dan masih banyak sekali jenisnya.
4. Anak-anak terlalu kecil untuk tahu kekerasan seksual
Mitos kekerasan seksual pada anak satu ini sangat keliru dan tak boleh dipercaya lagi. Justru akan jauh lebih berbahaya jika anak-anak tidak diberi tahu tentang apa itu kekerasan seksual sejak dini.
Penting bagi para orangtua untuk menjelaskan apa saja perilaku yang mengarah pada pelecehan seksual. Sampaikan pada anak bahwa jika ada seseorang menyentuh mereka dan kemudian meminta mereka untuk menjaga rahasia tentang sentuhan tersebut, maka itu adalah pelecehan seksual. Terlepas dari siapa orang itu dan berapa umurnya. Anak adalah orang yang paling berhak atas tubuhnya sendiri.
Anak yang tidak memiliki cukup pengetahuan soal kekerasan seksual mungkin tidak akan pernah tahu apa yang harus dilakukan jika seseorang mencoba memanipulasi atau memaksanya melakukan kontak seksual.
Maka apabila mereka mengalami pelecehan, mereka jadi malu bahkan takut untuk melaporkan kekerasan seksual tersebut ke orangtua atau pihak yang berwajib. Tak hanya itu, anak-anak yang tidak pernah diberi tahu tentang kekerasan seksual mungkin ragu untuk mencari pertolongan medis.
Jadi, penting bagi anak-anak untuk mendapatkan informasi tentang kekerasan seksual maupun pelecehan seksual demi keselamatan mereka sendiri. Membongkar mitos kekerasan seksual pada anak sama pentingnya dengan mengajari anak menghadapi penculikan.
(MZ/Editor)