Homo Sapiens (manusia cerdas) telah menjejakkan kaki di Kepulauan Nusantara sejak 2500 tahun Sebelum Masehi (SM). Mereka kemudian hidup, berkembang biak, mengeksplorasi, dan beradaptasi dengan lingkungan alam di antara 17.000 pulau. Ketika pada perkembangan selanjutnya, terbentuk kerajaan-kerajaan lalu kesultanan-kesultanan, sampai kemudian berubah menjadi embrio Bangsa Indonesia pada awal abad ke-20 sampai merdeka tahun 1945. Pertanyaan yang cukup penting adalah, sejauh mana Bangsa Indonesia telah belajar untuk hidup berdampingan dengan alam, dengan mengantisipasi resiko bencana yang ada di dalamnya ?
Dekat dengan ‘Sumber Bencana’
Penggunaan tanda kutip dalam ‘sumber bencana’ memberikan penekanan dan penegasan makna bahwa yang istilah ‘sumber bencana’ bukan berada pada alam semata, namun justru ‘sumber bencana’ lebih sering berasal dari cara hidup manusia cerdas yang modern (baca: manusia). Ketidakpedulian kelompok manusia – dalam bentuk kelompok formal maupun informal – terhadap keseimbangan ekosistem telah membawa bencana alam tertimpakan kepada diri manusia sendiri.
Ada contohnya. Kita sudah sekian lama mendengar masalah seperti limbah sampah yang mengotori perairan sungai sampai ke laut. Limbah sampah itu sampai ke area penangkapan dan pembudidayaan ikan serta tempat wisata. Kondisi itu mengancam perekonomian warga yang bergantung pada kelestarian lingkungan kawasan.
Pada contoh lainnya, terdapat kegiatan pertambangan yang mengelupas permukaan tanah yang kemudian menghancurkan mikro-ekosistem yang ada. Pada usaha semacam tambang, jarang sekali pihak-pihak pelaksana kegiatan penambangan menghiraukan kondisi lingkungan dengan kekayaan atau keanekaragaman hayati. Konsesi yang diberikanpun baru sebatas menanami kembali, bukan mengembalikan mikro-ekosistem yang ada seperti sebelumnya.
Beranjak dari bencana yang disebabkan oleh manusia, Bangsa Indonesia juga menghadapi kondisi alam yang dekat dengan sumber bencana. Pertama, Kepulauan Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Hal itu membuat Kepulauan Indonesia menjadi wilayah yang menghasilkan lebih dari 70 sesar aktif dan belasan zona subduksi. Hasil konkritnya: rawan gempa; yang mana sebagian gempa juga berpotensi menimbulkan tsunami. Kedua, Kepulauan Indonesia berada di dalam ring of fire. Suatu rentetan gunung berapi yang ada di bumi. Seluruh Kepualauan Indonesia termasuk ke dalam ring of fire, yang kemudian menghasilkan 127 gunung berapi aktif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Apabila kita menengok sekaligus belajar ke masa lalu, maka kita akan menemukan peristiwa-peristiwa gempa bumi, letusan gunung berapi, maupun tsunami yang memakan korban sampai ribuan jiwa manusia. Kita mengetahui bahwa Gunung Tambora tahun 1815 pernah menghasilkan letusan yang mengguncang dunia. Letusan Tambora menewaskan lebih dari 79.000 jiwa dan menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa. Apabila diukur dari aspek vulkanologi, volume material vulkanik mencapai 150 Km³ dan deposit jatuhan abu yang terekam hingga sejauh 1.300 Km dari sumbernya (Kompas, 17 September 2011). Lalu ada letusan Gunung Krakatau pada 1883 menelan korban lebih dari 36.000 jiwa dan menghancurkan pesisir Lampung dan barat Jawa. Kengerian itu terutama ditimbulkan oleh tsunami yang terjadi menyusul letusan ini. Tinggi tsunami di pesisir barat Jawa seperti di Merak, menurut kesaksian, mencapai lebih dari 25 meter, di Teluk Betung gelombang mencapai 15 meter, bahkan di beberapa tempat mencapai 35 meter.
Gunung Agung di Bali juga pernah mengalami erupsi hebat pada tahun 1963, membawa serta lava pijar dan kolom api berbentuk cendawan yang mencapai ketinggian 10 Km di atas kawah. Abu letusan bahkan tersebar ke arah barat hingga menutupi bandara Surabaya di Jawa Timur, sementara hujan abu halus mencapai Jakarta yang berjarak 1.000 Km (Kompas, 16-12-2011; mengutip dari Jurnal Geologi Indonesia, 2006). Tidak kurang dari 1.148 jiwa menjadi korban tewas.
Bangsa Indonesia tidak dapat menghindar dari hidup di atas pulau-pulau yang terdapat gunung-gunung berapi dalam rangkaian ring of fire, serta tempat pertemuan tiga lempeng tektonik. Sebagaimana Bangsa Indonesia tidak dapat menghindari potensi Sumber Daya Alam (SDA) berupa minyak bumi, batu bara, emas, timah, dan energi panas bumi yang terkandung di dalam Bumi Indonesia. Dimana dengan sebaran 127 gunung berapi aktif, maka Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi negara super-power dalam energi panas bumi (geothermal) di dunia.
Mitigasi Bencana
Pada permulaan abad 21 sampai hari ini, kita masih teringat gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 yang telah menewaskan 230.000-280.000 jiwa; gempa Yogyakarta-Bantul tahun 2006 yang telah menewaskan sekitar 9.900 jiwa; gempa Lombok tahun 2018 yang telah menewaskan 555 jiwa, dan gempa Palu-Donggala tahun 2018 yang telah menewaskan sekitar 2100 jiwa. Dan terakhir, pada tsunami Selat Sunda pada akhir tahun 2018 telah tewas 429 jiwa.
Peristiwa-peristiwa bencana alam tersebut menelan korban jiwa dari ratusan hingga ribuan. Membuat kita bertanya-tanya, bagaimana sistem penanggulangan atau penanganan bencana di Republik Indonesia (RI). Lalu muncul pertanyaan, sudahkah negara – yang diwakili oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah – dan masyarakat umum melakukan hal yang benar dan sesuai prosedur dalam menangani bencana?
Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dapat membuat kita sedikit benafas lega. UU itu merupakan perbaikan dari Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001, Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001, dan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005. UU Nomor 24 Tahun 2007 antara lain menyebutkan pemerintah (yang dimaksud adalah pemerintah pusat,pen.) dan pemerintah daerah adalah penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana (pasal 5) dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Benana (BNPB) (pasal 10, ayat 1) dengan dua perangkat utama organisasi, yakni unsur pengarah dan unsur pelaksana penanggulangan benana (pasal 11). Keanggotaan unsur pengarah terdiri atas pejabat pemerrintah terkait dan anggota masyarakat profesional (pasal 14, ayat 2) dengan sederet tugas penting, termasuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dalam penanggulangan bencana (pasal 14, ayat 1).
UU Nomor 24 Tahun 2007 dengan segala kekurangannya – terutama terkait persyaratan birokratis yang membatasi pemimpin BNPB di tingkat provinsi yang harus dijabat oleh pejabat eselon Ib maupun kabupaten/kota yang harus dijabat oleh pejabat IIa– telah menjadi landasan hukum bagi tindakan penanggulangan bencana bagi pemerintah pusat serta pemerintah daerah. Namun persoalannya tidak selesai hanya pada pembentukkan lembaga BNPB semata, namun juga bagaimana membuat manajemen bencana yang efektif. Termasuk di dalamnya mitigasi bencana.
Upaya mitigasi atau pengurangan dampak bencana penulis menjabarkannya dari dua sudut pandang. Pertama, ilmu pengetahuan atau wawasan yang mengkaji tentang bencana dan penanganannya. Kedua, upaya aksi terhadap bencana, yang meliputi pra-bencana dan pasca-bencana. Untuk sudut pandang pertama, ilmu pengetahhan maupun wawasan tentang mitigasi bencana telah diajarkan dan masuk dalam Kompetensi Dasar (KD) yang cukup spesifik pada mata pelajaran geografi jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dibahas pada kelas XI semester genap, dengan judul KD: Mitigasi dan Adaptasi Bencana Alam. Lebih lanjut, tentunya pada berbagai universitas dengan jurusan ilmu bumi telah menghasilkan penilitian maupun literatur, serta ditunjang juga dengan jurnal-jurnal geologi. Ilmu pengetahuan maupun wawasan tersebut sangat berguna untuk memahami; 1) potensi-potensi bencana yang akan dihadapi pada masa yang akan datang; 2) wilayah-wilayah yang dikategorikan rawan bencana, dikaitkan dengan zona subduksi dan lokasi gunung-gunung berapi; 3) cara-cara penanggulangan atau penyelamatan diri selama bencana.
Pada sudut pandang yang kedua, upaya aksi tanggap bencana merupakan hal krusial. Pemerintah pusat maupun daerah perlu menjadi perumus yang cakap dalam rangkaian mitigasi bencana, termasuk rangkaian sistem peringatan diri apabila terjadi bencana. Selain itu pemerintah juga menyediakan sarana dan pra-sarana dalam proses evakuasi apabila terjadi bencana. Lalu BNPB juga perlu proaktif dan efektif dalam rantai penyaluran bantuan.
Sekolah Sadar Bencana Melalui Intrakurikuler, Kokurikuler, dan Ekstrakurikuler
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang berhubungan langsung dengan masyarakat – terutama dengan peserta didik – dapat menjadi institusi yang berperan penting dalam membangun kesadaran bencana. Karena sebagai salah satu media sosialisasi, sekolah menjalankan perannya dalam menanamkan nilai dan norma, juga terutama memberikan pengetahuan dan ketrampilan (Kamanto Sunarto: 2004). Pengetahuan dan ketrampilan tentang mitigasi bencana dapat ditanamkan melalui muatan-muatan yang disampaikan oleh pihak sekolah.
Pada ranah intrakurikuler mata pelajaran (mapel) geografi sudah memunculkan “Mitigasi dan Adaptasi Bencana Alam” sebagai KD yang harus dikuasai oleh peserta. Pada mata pelajaran biologi, pada kelas X ada KD yang membahas “Perubahan Lingkungan Hidup” juga membahas perubahan-perubahan lingkungan yang disebabkan dengan kehadiran manusia. Dan pada mata pelajaran fisika di kelas XII ada KD tentang “Teknologi Digital” dan “Sumber-sumber Energi di Alam”.
Kita dapat melihat bahwa ilmu pengetahuan yang membahas ‘hubungan manusia dan alam’ mendapat porsi pembahasan oleh mapel-mapel. Dan akan lebih baik apabila secara tingkat materi ‘metakognitif’ dapat dikaitkan dengan isu-isu bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia, maka peserta didik diharapkan dapat memiliki kesadaran kritis terhadap lingkungan.
Pada ranah kokurikuler guru sebagai fasilitator pembelajaran, tentu dengan dukungan oleh pihak sekolah, dapat menyelenggarakan kegiatan yang mendukung penguatan terhadap kegiatan pembelajaran intrakurikuler. Dukungan memperkuat pembelajaran yang terkait dengan alam, secara sederhana dapat berupa pembelajaran di luar kelas. Dalam bentuk sederhana, peserta didik ketika mempelajari mitigasi dan adaptasi bencana dapat ke luar sekolah dan melihat sungai yang ada di lingkungan sekitar sekolah. Dalam bentuk lebih lanjut, pembelajaran luar kelas dapat berupa outing class dimana peserta didik dapat mengunjungi tempat-tempat yang mampu membuat mereka lebih paham tentang kedekatan Kepualan Indonesia dengan sumber bencana seperti gunung berapi atau zona subduksi. SMA Negeri 3 Cilegon misalnya, rutin menyelenggarakan outing class ke Gunung Bromo di Jawa Timur. Pada waktu berikutnya dapat ditambah ke Museum Yogya Kembali di Yogyakarta.
Dukungan memperkuat pemahaman mitigasi bencana juga kerap dilakukan dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), Masa Orientasi Pramuka (MOP), Pendidikan Latihan Dasar (Diklatsar) Pramuka, maupun Diklatsar Palang Merah Remaja (PMR). Sehingga peserta didik baru memperoleh bekal pengetahuan dan ketrampilan dasar penanganan bencana, untuk dipergunakan di sekolah maupun di lingkungan rumahnya masing-masing.
Pada ranah ekstrakurikuler (ekskul), beberapa ekskul dapat berperan dalam meningkatkan pemahaman dan ketrampilan seputar mitigasi bencana. Pramuka dan PMR adalah yang paling terdepan dari segi pengetahuan dan ketrampilan, karena mereka memiliki jalur peningkatan kemampuan secara rutin maupun insidental. Di Pramuka misalnya, ada latihan rutin yang meliputi latihan mingguan di sekolah maupun latihan gabungan (latgab) di Kwartir cabang maupun daerah. Sedangkan kegiatan insidental dapat berupa Jambore, perkemahan, maupun Raimuna. Untuk PMR, latihan rutin masih satu tipe dengan Pramuka, dengan penekanan pada pengamalan Tribakti PMR. Sedangkan untuk kegiatan insidental PMR ada Jumpa Bhakti Gembira (Jumbara).
Muara dari ranah intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler tersebut adalah terbangunnya ‘Sekolah Sadar Bencana’. Dimana seluruh warga sekolah memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai tentang bencana, memiliki kesadaran sigap terhadap bencana, serta memiliki rencana aksi apabila terjadi bencana alam. Sehingga kesadaran warga sekolah tentang jalur evakuasi, hal-hal yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan (do and dont) selama bencana menjadi suatu hal yang familiar di sekolah.
Implementasi ‘Sekolah Sadar Bencana’ perlu kebersamaan dari seluruh unsur di sekolah. perlu juga untuk selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten/Kota, BASARNAS maupun BNPB di lingkungan daerah. Namun demikian sebagai salah satu unit pendidikan yang dekat dengan masyarakat, maka ‘Sekolah Sadar Bencana’ merupakan salah satu solusi sederhana perihal mitigasi bencana pada dunia pendidikan.
Ahmad Muttaqin