Jumat (15/11) siang kemarin, dipertemukan dua pegiat pendidikan yang gagasannya sering berseliweran di media cetak. Pertama, ada Matematikawan, Iwan Pranoto (IP) dan kedua, ada Haidar Bagir (HB) doktor Filsafat dan Mistisisme.
Diskusi menjadi semakin kaya karena latar pendidikan serta pijakan perspektif keduanya dalam melihat pendidikan berbeda, dari yang rasionalistik-empirik hingga yang spiritualistik.
Diskusi dimulai dari IP yang merasa dunia pendidikan kita masih bernuansa Drill and Kill. Suasana yang masih sangat amat membosankan bagi peserta didik. Baginya kasmaran belajar mesti dibangun melalui suasana and Will. Anak-anak harus bisa selalu mencoba, eksperimentasi, gagal, gagal, gagal dan berhasil (Trial), serta kemauan dari dalam diri anak (Will).
Lebih lanjut IP melihat tantangan dunia yang semakin termesinkan. Ia menilai, harusnya hal ini bisa dilihat dengan cepat bagaimana pola-pola dari perubahan ini terjadi dan mesti dibaca secara keseluruhan pula. Kita tidak bisa hanya membaca perubahan pada level 4.0 dan menyiapkan kurikulum yang bersinergi dengannya.
Jika itu dilakukan, kita hanya sedang buang-buang waktu karena pada saat perencanaan, implementasi, evaluasi dan melahirkan perubahan pada kurikulum itu, ternyata dunia lagi-lagi sudah berganti-rupa.
Untuk itu IP memberikan insight bahwa paling tidak yang harus kita baca itu adalah pola gerak peradaban ini. Dimulai dari pertama kali peradaban mengenal mesin cetak, dimana peran ingatan manusia menyimpan pengetahuan sudah tidak begitu diperlukan. Kemudian era tempat penyimpanan pengetahuan bernama katalog dan seterusnya hingga sekarang.
Hal ini diperlukan agar pendidikan tidak salah membaca kecenderungan perubahan kedepan. Era 4.0 akan tergantikan menjadi 5.0 kemudian 6.0 dan jika kita tidak bisa memahami pola gerak perubahan itu, kita lagi-lagi hanya orang yang sekedar ikut dalam trend perubahan tanpa bisa mengambil peran dalam perubahan itu sendiri.
Kecenderungan teknologi yang banyak orang menyebut sebagai Artificial Intellegence (AI) sebenarnya menawarkan harapan tentang kedetailan, akurasi serta efisiensi.
Misalnya GTO (gerbang tol otomatis) dengan uang virtualnya. Mempercepat kinerja dan mengurai antrian panjang yang sering kali terjadi karena prosedur atau urusan sepele seperti; nyari kembalian atau apapun itu.
Yang paling nyata dan begitu dekat dengan kita adalah penggunaan teknologi dalam layanan kesehatan, bukankah teknologi pendeteksi penyakit dan lain-lain itu telah banyak membantu para dokter dan pasien dalam urusan kesehatan?
Sementara tugas yang tidak bisa dikerjakan AI, yang justru sudah banyak hilang dari manusia, harus dikembalikan lagi kepada manusia, seperti supporting; “bapak/ibu pasti sembuh, ayo kita berdoa dan berjuang bersama”. Disanalah makna kemanusian manusia dipulihkan kembali, ketika AI bisa dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sedikit berbeda dengan IP, Haidar Bagir justru sangat berhati-hati dengan AI yang belakangan ini mendominasi kehidupan peserta didik. Pertama-tama dalam diskusi itu ia menyebut bahwa Sekolah adalah ‘ban serep yang buruk’.
Jadi bisa dibayangkan, institusi sekolah yang beredar sekarang, sudah lapisan kedua atau cadangan ditambah kualitasnya yang buruk. Kritik ini bukan tanpa alasan, fenomena pendidikan kita hari ini nampaknya sangat tidak berdampak apa-apa terhadap kualitas dan kesejahteraan hidup para pesertanya. Tentu saja karena kualitas pendidikan yang buruk.
Tidak matangnya pembicaraan tentang filsafat pendidikan yang berujung pada ketidak jelasan tujuan pendidikan serta serta format pendidikan kita menjadi salah satu alasan keterpurukan pendidikan kita. Setidaknya itu diungkap HB dalam bukunya ini.
Lebih lanjut ia menegaskan terbatasnya ruang imajinasi dalam kurikulum kita, yang justru membentuk manusia-manusia kita hidup dalam kerangka terobotkan, sangat mekanik.
Dengan mengutip Bernard Shaw ia ingin bilang jika sekarang bukan anak-anak yang mengejar pengetahuan tapi anak anak kelelahan dikejar-kejar pengetahuan.
Melihat beberapa peristiwa besar dunia bahwa hampir beberapa penemu besar melahirkan penemuanya melalui imajinasi yang sangat tak berlandaskan kerangka ilmiah (meragukan sesuatu), bahkan menurutnya ada penemu besar India yang menemukan rumus-rumusnya melalui mimpi.
Mengenai teknologi, HB melihatnya dengan cara yang berbeda. Dengan mengambil inspirasi dari Waldorf School, yang diinisiasi oleh Joseph Steiner dan disponsori oleh keluarga Waldorf—antara lain memiliki Waldorf Astoria Hotel— belakangan bukan hanya populer di Finlandia, melainkan juga mulai menjamur di China. Waldorf melarang penggunaan gadget dalam proses pembelajaran dan menggantinya dengan hands-on learning.
Pendekatan seperti di atas dipilih oleh HB bukan tanpa alasan. HB menilai sudah banyak generasi sekarang kehilangan spiritualitas, khususnya dengan alam dan juga bukan berarti anak-anak tidak boleh mengunakan smartphone/gadget.
Baginya sudah terlalu banyak durasi anak-anak mengunakan gadget di rumah, sementara di sekolah sudah waktunya anak-anak di dekatkan kepada proses belajar yang lebih banyak melibatkan tenaga fisik dan berorientasi kepada alam.
Manusia kita belakangan terbiasa disajikan, misalnya, makan siap saji seperti KFC atau MCD. Setelah itu mereka lahap memakan tanpa tahu dan bisa membayangkan bagaimana proses menjadi ayam crispy di depan matanya tersaji.
Mereka tidak bisa membayangkan peternakan, pur ayam, petani ayam, kendang ayam, bau kotoran ayam dan sebagainya. inilah yang kemudian disebut HB sebagai miskinnya nilai spiritualitas dalam dunia pendidikan kita.
Mereka akan sulit merasa prihatin, atau istilah lain yang disebut HB sebagai “perihatin”, sebagai sebuah sikap atas rasa solidaritas terhadap para petani-buruh-nelayan-kelompok miskin kota lainya yang produknya justru dinikmati dengan harga mahal.
Berbanding terbalik dengan pernyataan Stephen Hawking yang menyebut kiamat umat manusia justru datang karena dominasi Artificial Intellegence (AI), HB malah melihat kehadiran AI justru bisa membuka ruang bagi lahirnya manusia-manusia yang lebih luhur, yang mengunakan daya-daya imajinatifnya, intuitifnya dan moralnya.
Antara IP dan HB pada akhirnya hanya menyisakan perbedaan yang tidak signifikan antara dunia dan peradaban yang termesinkan ini. Seperti yang diakui HB bahwa “Kita berangkat dari pijakan yang berbeda. Pak Iwan berangkat dari rasionalistik sementara saya berangkat dari sisi berlawanannya”. Berbeda pijakan bukan berarti keduanya bertentangan satu sama lain. Pada suatu level keduanya bertemu di titik tertentu. Keseimbangan.

Pegiat pedagogik di Kelompok Belajar Rawamangun dan Periset di Publik Baru