Korupsi mengandung arti perbuatan korup (penipuan), penyuapan. Korupsi merupakan kasus yang paling banyak menjadi perhatian dalam kehidupan masyarakat maupun bernegara.
Dewantara.id, Jakarta – Korupsi menjadikan citra dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat mengakibatkan berbagai macam ketimpangan seperti kemiskinan, krisis keteladanan, krisis kepemimpinan, maupun krisis kepanutan. Kasus korupsi sering terjadi atau ramai diberitakan baik itu di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik itu pejabat di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, pejabat maupun mantan pejabat, pemerintah dan swasta.
Sebagaimana mengutip pernyataan dari Lord Acton, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” yang bermakna bahwa kekuasaan cenderung korup, tetapi kekuasaan mutlak benar-benar korup.
Meski secara yuridis sudah ada aturan hukum yang mengatur mengenai larangan terhadap tindak pidana korupsi, namun masih banyak peristiwa tersebut terjadi. Tindak pidana korupsi memiliki mata rantai yang panjang, dilakukan secara terorganisir, dan bahkan menggunakan sarana informasi teknologi. Sehingga jika dilihat melalui optik kebijakan hukum pidana, negara harus merespon atas dinamika perkembangan kejahatan korupsi tersebut, salah satunya melalui regulasi yang baik.
Sudah ada berbagai macam Peraturan Perundang-Undangan Korupsi saat ini seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau lebih dikenal sebagai KPK yang bertugas untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
tulisan ini sendiri lebih menitikberatkan pada budaya koruptor atau kebiasaan korupsi yang baik secara sadar ataupun tidak disadari dilakukan dalam dunia pendidikan baik itu oleh guru, dosen, pelajar maupun orang tua sehingga menyebabkan kelumrahan saja. Untuk kepentingan tulisan ini saya pun menggunakan istilah pendidikan yang dipadupadankan dengan koruptor, yang memang tidak diajarkan, apalagi masuk kurikulum di negeri manapun. Lantas “pendidikan koruptor” apa yang di maksud? Selanjutnya penulis akan mencoba menjawab melalui tiga argumentasi.
Pertama, mengenai penerimaan siswa baru di sekolah favorit. Menjadi suatu hal yang wajar bagi orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya salah satunya menempatkan ke sekolah yang bergengsi atau favorit. Namun, terkadang orang tua tidak mengetahui batas atau kemampuan dari anaknya sendiri.
Ada beberapa orang tua yang menekan/memaksa anaknya untuk masuk di sekolah favorit namun dengan cara yang salah, seperti memberikan suap berupa sumbangan kepada dinas pendidikan ataupun kepala sekolah agar anak tersebut bisa diterima ke sekolah favorit.
Hal tersebut pernah terjadi di salah satu SMP Negeri di Tulungagung pada Tahun Ajaran 2017/2018. Sekolah favorit tersebut menerima siswa baru melebihi kuota, yang seharusnya hanya 360 siswa menjadi 406 siswa. Wakil kepala sekolah telah menambah 46 orang untuk menjadi kuota bagi orang tua yang rela memberikan sumbangan khusus demi anaknya masuk sekolah favorit.
Kemudian yang kedua, menghargai waktu. Hal tersebut merupakan hal sepele namun bisa berdampak besar dalam keberlangsungan hidup. Budaya terlambat masih menjadi kebiasaan dalam masyarakat terutama dalam dunia pendidikan. Ketika sekolah masuk pertama kali, seorang guru memberikan kontrak belajar terhadap siswa salah satunya adalah batas keterlambatan.
Tujuannya ialah agar setiap manusia menggunakan atau memanfaatkan waktunya sebaik mungkin dan inti dari arah tujuan tersebut ialah kedisiplinan. Jika siswa terlambat masuk sekolah, ini bisa berdampak bahwa siswa tersebut tidak memiliki sikap disiplin untuk mengatur waktunya dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu, siswa jika terlambat sekolah dianggap tidak menghargai waktu yang dimiliki oleh guru dalam penyampaian materi.
Ketiga, kebiasaan titip absen oleh mahasiswa. Titip absen merupakan salah satu bentuk terkecil dari perilaku koruptif. Dikatakan sebagai perilaku koruptif, bisa dilihat dalam kondisi dimana mahasiswa lain sedang masuk perkuliahan atau mengikuti perkuliahan tetapi ada mahasiswa yang hanya sekedar titip absen kepada temannya tanpa mengikuti perkuliahan baik itu secara lisan maupun lewat pesan. Sehingga mahasiswa tersebut tidak mau untuk berproses bersama dalam hal memperoleh ilmu dan orientasinya tetap pada hasil akhir atau lebih dikenal dengan “tidak ingin susah”.
Berkaca pada contoh di atas tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa “pendidikan koruptor” telah menjadi budaya, yang bisa jadi berpotensi menjadi penerus estafet koruptor di masa depan. Untuk mengatasi masalah tersebut terdapat beberapa solusi seperti salah satunya pendidikan karakter pada usia dini untuk memperkuat karakter dan kemudian pendidikan spiritual, agar bisa bersikap menentukan perbuatan yang baik dan yang buruk. Namun, yang paling dominan adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua karena sikap, perilaku yang melekat pada orang tua disini sebagai bentuk cerminan bagi si anak.
Mengutip pernyataan dari Moh. Hatta yang merupakan mantan Wakil Presiden RI-1, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”. Jika seorang anak terbiasa dididik jujur maka anak tersebut akan susah untuk berbohong, begitu juga sebaliknya jika seorang anak terbiasa tidak jujur maka susah untuk berperilaku jujur dalam kesehariannya
Wildan Arif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang