Bulan Dzulhijjah tahun 1439 Hijriah sudah datang. Ummat muslim di dunia sebentar lagi akan merayakan Idul Adha. Sebagai suatu hari raya, Idul Adha menghantarkan suka cita kepada seluruh lapisan masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik orang berpunya maupun orang yang kurang mampu. Karena melalui Idul Adha, sebagian ummat muslim yang memiliki kelebihan rezeki akan berbagi dengan tetangganya, saudaranya, maupun sanak famili. Lebih jauh, kta dapat belajar bahwa pengorbanan manusia membentuk peradaban.
Manusia-manusia Pilihan Pun Berkorban
Melalui kisah para rasul – sebagaimana Allah telah mengabarkan kepada kita melalui Al-Quran – kita dapat menyelami pemahaman bahwa para rasul tersebut telah berkorban dalam jalan dakwah yang mereka tempuh. Bahwa para rasul sebagai manusia-manusia pilihan telah menempuh jalan kenabian. Jalan kenabian yang sunyi.
Untaian sejarah mencatat, Yusuf a.s. dilempar ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya sendiri lalu ketika ditemukan oleh kafilah maka Yusuf a.s. berkorban dijual sebagai budak sampai ke Mesir. Lalu ada Yunus a.s. yang mau berkorban dilempar keluar kapal untuk kemudian tenggelam, ditelan paus, sampai kemudian Yunus a.s. berdoa terus-menerus di dalam perut paus sampai Allah menyelamatkannya. Sebelumnya ada Nuh a.s. yang mengorbankan waktu dan tenaganya , kemudian menghabiskan mayoritas umurnya yang 950 tahun untuk berdakwah namun hanya untuk menemukan ‘hanya’ 12 pasangan orang yang beriman kepada Allah. Sebagaimana ibunda Musa a.s. berkorban dengan menghanyutkan anaknya itu, untuk kemudian diambil dan dididik oleh salah seorang istri Firaun, yang kemudian ketika dewasa Musa a.s. bersama dengan Harun a.s. menumbangkan kekuasaan Firaun.
Pengorbanan yang selalu kita ingat ketika momen Idul Adha tentu saja adalah pengorbanan Ibrahim a.s. yang pada akhirnya merelakan putranya Ismail a.s. untuk ‘disembelih’. Itupun setelah Ibrahim bertanya kepada Ismail a.s. , “ya bunayya (wahai anakku) sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Kalimat ‘ya bunayya’ sedemikian menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Sampai Ibrahim pun sedemikian lembut sehingga meminta pendapat anaknya sendiri, untuk suatu perkara dahsyat yang sudah dibebankan kepada diri Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. Lalu mereka bertiga – Ibrahim a.s., Siti Hajar, Ismail a.s. – telah rela untuk berkorban demi menaati perintah Tuhan.
Kemajuan Peradaban Yang Membutuhkan Pengorbanan
Perkembangan peradaban manusia membawa manusia menghadapi tantangan-tantangan yang jauh lebih beragam dan kompleks. Pada saat manusia sudah hampir sepenuhnya mampu mengeksploitasi alam, manusia juga menghadapi kecenderungan untuk mengeksploitasi sesamanya. Seperti ketika ilmu astronomi dan geografi berkembang pada peradaban Barat, lalu mereka menjelajah samudera untuk kemudian menemukan keuntungan luar biasa melalui monopoli lalu kemudian menjajah wilayah-wilayah di benua Asia, Afrika, maupun Amerika.
Suku-suku bangsa di Indonesia – dulu disebut Nusantara – telah mengalami penderitaan yang luar biasa selama masa penjajahan Portugis di Maluku pada abad ke-15 sampai abad ke-16, lalu penjajahan Belanda sejak awal abad ke-17 sampai abad ke-20 di sebagian besar kepulauan Indonesia, sampai masa penjajahan 2,5 tahun Jepang. Lalu setelah perlawanan yang begitu panjang di berbagai wilayah, pada perkembangan selanjutnya mulai ada titik terang perjuangan setelah lahir kaum terpelajar yang mempelopori Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20.
Pada era Kebangkitan Nasional, model perlawanan bangsa Indonesia berubah. Dari tadinya mengandalkan perlawanan bersenjata yang sifatnya lokal, menjadi perlawanan menggunakan organisasi dan pers serta cakupan perjuangan yang memperjuangkan seluruh bumiputera, yang setelah Sumpah Pemuda 1928 disebut sebagai ‘bangsa Indonesia’. Sampai titik Kebangkitan Nasional, para pendiri bangsa (founding fathers) telah melakukan pengorbanan mereka.
Para pendiri bangsa seperti Tan Malaka yang menulis buku Naar Republik Indonesia (menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925, harus hidup dari penjara ke penjara dan diburu polisi rahasia dari 11 negara. Soekarno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 harus disidang dengan tuduhan subversif dan mulai menjalani masa pembuangan ke Boven Digul, Flores, sampai ke Bengkulu. Begitu pun Hatta, Sutan Sjahrir, dan banyak lagi yang lainnya. Pada akhirnya pengorbanan mereka, beserta jutaan nyawa rakyat pejuang yang tidak dikenal namanya telah membawa hasil kemerdekaan Republik Indonesia.
Globalisasi Rahmatanil Alamin
Kemerdekaan yang kata Soekarno merupakan ‘jembatan emas’, bukan merupakan titik akhir perjuangan. Bangsa Indonesia memiliki tujuan untuk memenuhi cita-cita kemerdekaan, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, “memajukan kesejahteraan umum”, dan “ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Memasuki abad ke-21 hadir tantangan dalam suatu istilah yang ‘baru’, globalisasi.
Globalisasi merupakan suatu proses menghilangnya batas-batas negara, dimana ummat manusia menuju suatu kesatuan masyarakat dunia. Indikasi utama globalisasi yaitu ketika kita dan warga dunia lainnya menggunakan bahasa (internasional) yang sama, menggunakan sistem komputerisasi yang sama, konsep demokrasi yang (di)sama(kan) dengan standar Barat, bahkan sampai menggunakan model pakaian yang sama, lengkap dengan musik dan film yang sama.
Bangsa Indonesia dapat mengambil globalisasi sebagai tantangan, namun juga sebagai kesempatan. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, maka Indonesia dapat menjadi ‘duta besar’ ajaran Islam yang rahmatanil alamin.
Melalui momentum Idul Adha kita belajar bahwa melalui berbagi daging hewan kurban, syiar Islam dikumandangkan, silaturrahmi dipanjangkan. Dan bahwa ketika nilai-nilai Islam tentang kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan mampu diimplementasikan, maka akan lahir masyarakat yang adil dan makmur.
Dimana tiap-tiap muslim Indonesia menjadi pribadi yang mengamalkan hadits : tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Muslim itulah yang akan mengorbankan ego-nya, kesenangan pribadinya lalu menghadirkan rasa aman kepada lingkungan, dan amanah memanggul tanggungjawab dalam membangun peradaban.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMAN 3 Cilegon