Setiap gerakan sosial dan politik memerlukan pola kepemimpinan tertentu sebagai motor penggerak. Di tengah masyarakat yang masih menganut budaya paternalistik, tampilnya tokoh yang memiliki kharisma menjadi penting.
Ulama dan jawara merupakan golongan sosial yang telah menjadi bagian dari struktur sosial masyarakat Banten. Dimana ulama dan jawara memainkan fungsinya dalam masyarakat, yaitu dalam status (status) dan peran (role).
Posisi, kedudukan dan peranan ulama dan jawara, merupakan sesuatu yang unik dan khas. Proses interaksi keduanya merupakan proses interaksi antara dua golongan masyarakat yang disegani di Banten. Disegani dalam kaitannya dengan kedudukan dan peranan mereka dalam tatanan sosial-budaya masyarakat Banten.
Kedudukan dan Peran Ulama
Tatanan masyarakat Banten pada permulaannya adalah pemeluk Agama Sunda, lalu berubah diawali dengan kedatangan Syarif Hidayatullah pada abad ke-15 (Yoseph Iskandar; 2001,148). Bersama dengan anak pertamanya, Maulana Hasanudin, Syarif Hidayatullah berusaha menyebarkan ajaran Islam di Banten. Pengaruh Islam terus berkembang sampai kedatangan kekuatan kolonial Belanda.
Ulama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang ahli dalam pengetahuan Agama Islam. Namun dalam pengertian yang lebih menyeluruh, maka ulama tidak hanya dikategorikan sebagai orang yang “hanya” memiliki pengetahuan Agama Islam, melainkan sebagai: orang yang mempunyai pengetahuan yang bersifat kauniyah (ilmu pengetahuan umum) maupun yang bersifat quraniyah (ilmu pengetahuan agama) (IAIN Syarif Hidayatullah; 1992).
Ulama berperan sebagai guru yang mentranfer ilmunya kepada masyarakat secara terbuka. Seiring waktu, berdasarkan kedudukan ulama tersebut maka masyarakat Banten begitu menghormati ulama, selain juga menghormati orangtua dan guru. Wejangan dari ulama lalu mereka pahami serta lakukan, dan merupakan hal yang tabu untuk dibantah.
Pada era kekuasaan pemerintah militer Jepang, terjadi perlakuan yang berbeda kepada ulama apabila dibandingkan dengan pemerintah kolonial Belanda. Perlakuan yang berbeda yaitu melalui pengangkatan ulama – yang merupakah tokoh masyarakat – sebagai kepanjangan tangan pemerintah militer Jepang dalam rangka memobilisasi rakyat demi mempertahankan kepulauan Indonesia dari serangan Sekutu.
Pemerintahan militer Jepang mempercayai tokoh ulama untuk ikut melatih dan bertanggungjawab terhadap pembinaan para pemuda, khususnya Pembela Tanah Air (PETA). Jabatan tertinggi yang diberikan kepada tokoh ulama adalah daidancho yang mengepalai satu batalyon yang berjumlah sekitar seribu orang. Dan daidancho tersebut adalah KH. Syam’un, pemimpin pesantren Al-Khairiyah di Cilegon.
Lebih lanjut, pada masa mempertahankan kemerdekaan RI pemerintahan sipil seluruhnya dipegang oleh kaum ulama yang pada waktu itu turut berjuang merebut kemerdekaan. Sebaimana dituliskan oleh Lukman Hakim (2006, 90), bahwa secara sederhana pemerintahan sipil di Banten meliputi: KH. Tb. Ahmad Khatib, menjabat sebagai Residen Banten periode 1945-1950; KH. Syam’un, menjabat sebagai Bupati Serang periode 1945-1949; KH.Tb. Abdoel Halim sebagai Bupati Pandeglang periode 1945-1947; KH.Tb.Hasan sebagai Bupati Lebak periode 1945-1949; KH.Abdul Hadi sebagai Bupati Tangerang periode 1946-1947.
Kedudukan dan Peran Jawara
Dalam KBBI jawara diartikan sebagai: pendekar atau jagoan. Secara umum kita dapat mengambil pengertian bahwa jawara merupakan sebutan bagi seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mempunyai kekuatan dan keberanian.
Keberadaan jawara dalam konteks masyarakat Banten berhubungan erat dengan kekuatan dan keberanian mereka, yang dipergunakan untuk melawan kekuasaan kolonial dan berlanjut sampai perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Beberapa gerakan yang terdokumentasikan dari kiprah kelompok jawara yaitu memberikan teror dan perasaan tidak aman kepada aparatur pemerintah kolonial. Sebagaimana disampaikan oleh Sartono Kartodirjo (2001), bahwa jawara merupakan kumpulan orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan seringkali melakukan tindakan kriminal, menguatkan anggapan bahwa jawara merupakan sekelompok orang pelanggar hukum.
Pemerintah kolonial Belanda sering kesulitan mengatasi tindakan-tindakan kelompok jawara. Kesulitan itu disebabkan karena kelompok-kelompok jawara tersebut membaur dengan masyarakat. kelompok-kelompok ini dijuluki “barisan teror” yang kerap menggempur, angkat barang, dan selalu mondari-mandir (Ryadi Gunawan; 1981). Belum lagi kegiatan kelompok-kelompok ini berani mengganggu komplek pemukiman atau tangsi-tangsi tempat pegawai-pegawai kolonial tingggal. Keberanian kelompok-kelompok jawara ini – dengan sangat lancang terhadap penguasa kolonial – telah mengganggu ketertiban di tanah jajahan pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu jawara yang menonjol adalah Muhamad Mansur, atau lebih dikenal dengan nama Tje Mamat. Kekuatan jawara yang dipimpin pada awal masa kemerdekaan menjadi salah satu kelompok yang mendorong terjadinya revolusi sosial, yang bertujuan mengganti semua pejabat yang dianggap didikan atau ada kaitan dengan pemerintah kolonial. Selanjutnya Tje Mamat juga mendirikan Dewan Rakyat yang bergerak secara radikal untuk merebut tampuk kekuasaan pemerintah di Banten (Suharto; 1996, 11-12).
Pada era perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, ulama dan jawara mampu berkonsolidasi. Karena keinginan untuk mengusir penjajah merupakan hal yang begitu mendasar dalam pemikiran para ulama dan jawara sebagaimana mayoritas masyarakat Banten.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMAN 3 Cilegon