Inisiatif yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat Banten terkait proklamasi mencerminkan posisi mereka yang dapat merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat Banten. Mayoritas rakyat Banten memandang kemerdekaan sebagai suatu proses pembebasan dari belenggu keterjajahan dan keterbelakangan.
Konsolidasi Ulama dan Jawara
Kedudukan ulama dan jawara di mata masyarakat Banten mencerminkan bagaimana masyarakat Banten mengacu pada kebijaksanaan para tokoh atau pemimpinnya untuk memainkan peran dalam mengambil keputusan. Pos-pos penting seperti rsiden ditetapkan paling awal, dan terpilihlah KH Tb.Ahmad Khatib.
Dalam rapat-rapat besar para ulama dan jawara selalu menyampaikan wejangan-wejangan yang berisi tentang motivasi untuk turut berjuang dalam mempertahankan keerdekaan Indonesia. Dalam salah satu rapat besar pada 18 November 1945 di Tangerang hdir Residen KH Tb.Ahmad Khatib, Kepala Tentara Keamanan Rakyat (TKR) KH Syam’un, Buati Tangerang KH Abdul Hadi, dan Ketua Dewan Revolusioner Tje Mamat. Dalam rapat memperingati tuga bulan berdirinya RI, mereka menyerukan kepada rakyat Banten untuk bersatu menentang segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bangsa manapun (artikel “Rapat Besar di Tangerang”, di koran Merdeka, 21 November 1945).
Dalam upaya menentang upaya Belanda menjajah kembali Indonesia, maka para tokoh masyarakat Banten – terutama ulama – menanamkan pemahaman-pemahaman pokok terkait keculasan kolonialisme, yang meliputi : 1) identifikasi terhadap pihak penjajah sebagai golongan yang dalam konsep ajaran Islam dikategorikan sebagai “kafir”, 2) pengungkapan dampak negatif penjajahan dalam kehidupan sosial, 3) pengungkapan eksploitasi ekonomi yang telah dilakukan oleh pihak penjajah.
Radikalisasi Rakyat Banten
Radikalisasi massa rakyat mewujud dalam resistensi terhadap segala hal yang berbau kolonial. Amukan-amukan rakyat kerap menimpa orang-orang yang dianggap sebagai kolaborator Belanda.
Bentuk radikalisasi selanjutnya dikembangkan dalam bentuk agitasi dan pembentukkan badan-badan perjuangan. Kedua hal itu penting dalam menjaga situasi agar terus terkendali dan mampu untuk diarahkan. Langkah-langkah persiapan harus dilakukan dengan memperhitungkan kemungkinan terburuk setelah kedatangan Netherland Indische Civil Administration (NICA).
Ketika Agresi Militer Belanda II berlangsung pada 19 Desember 1948, maka Yogyakarta dan Banten (dua daerah yang mampu bertahan dari Agresi Militer Belanda I) pun pada akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Jendral Sudirman memerintahkan perang gerilya melawan Belanda. Massa rakyat Banten melanjutkan perlawanan dengan membentuk basis-basis gerilya. Kaum ulama beserta kelompok jawara mengundurkan diri ke dalam hutan dan pegunungan yang memiliki medan berat untuk menyiapkan diri menghdapi perang gerilya. Pusat pemerintahan sipil Banten di Serang tidak berjalan dikarenakan Residen Banten KH Tb.Ahmad Khatib beserta Bupati Serang KH Syam’un ikut bergabung serta memimpin gerilya bersama massa rakyat Banten.
Gerilya sendiri berlangsung selama satu tahun penuh dan baru berhenti ketika terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RI melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949. Setelah penyerahan kedaulatan peperangan gerilya dihentikan. Mayoritas ulama kembali ke pesantren dan membangun pesantren. Kelompok jawara sebagian menuju pesantren untuk menjadi murid para ulama, sebagian membangun perguruan silat.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMAN 3 Cilegon