Puasa artinya kurang lebih adalah menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa. Apa saja perbuatan tersebut? antara lain berhubungan badan dengan suami dan istri, apalagi bukan suami istri. Bercanda pembaca.
Banyak mungkin silakan dibaca saja di buku-buku agama atau istilah zaman now digoogling dengan kata kunci apa-apa saja yang membatalkan puasa. Pasti akan keluar berderet panjang ke bawah dan berhalaman-halaman. Tuntas sudah.
Tapi satu lagi yang menarik mungkin menurut saya, yang perlu digarisbawahi yaitu puasa dari kebisingan informasi. Setiap hari, jutaan informasi mungkin masuk melalui panca indra kita. Baik itu mata, telinga, hidung, kulit dan lidah.
Dari mana saja sumber informasi yang masuk ke lima indra kita? Tentu beragam sekali sumber informasi tersebut sehingga kalau ditotal jumlahnya bisa jutaan seperti yang saya sebutkan di atas. Bisa dari pasangan kita, keluarga terdekat, tetangga, pak RT dan pak lurah dan bisa juga dari media massa.
Sumber yang saya sebutkan terakhir itu yakni media massa, variasinya lumayan banyak. Bisa media cetak, media online, televisi, dan bisa juga radio. Ada lagi media sosial.
Nah ini yang mau saya bahas saudara-saudari. Media sosial. Harap dibedakan dengan media massa tadi saudara-saudari, meski sama-sama diawali dengan nama media, kedua jenis medium ini sangat berbeda sekali. Dan celakanya orang-orang bisa menghabiskan berjam-jam dalam sehari, bahkan sekitar 8 jam hanya untuk melihat-lihat media sosial ketimbang media massa. Entah itu facebook, twitter, instagram dan lain-lain. Termasuk youtube juga mungkin karena sudah dapat dijadikan ajang sosialisasi antar pengguna youtube.
Jika merujuk pada lamanya orang bermedia sosial, maka bisa jadi jutaan informasi yang masuk ke panca indra mereka sebagian besar bersumber dari media sosial. Padahal sebagai sumber informasi, media sosial ini patut sekali diragukan kebenaran informasinya. Bahkan orang sekelas menteri saja bisa menjadi korban kebohongan informasi, dan turut menyebarkan disinformasi di media sosial.
Karena apa? karena verifikasi yang dilakukan penulis-penulis di media sosial sangat minim sekali. Sehingga kemungkinan untuk terjadinya misinformasi dan disinformasi sangat besar sekali. Sudah tahu kan bedanya misinformasi dan disinformasi. Kalau misinformasi itu penyebar berita bohong tidak tahu kalau itu berita bohong kemudian disebarkan. Nah kalau disinformasi itu dia tahu itu berita bohong tapi tetap saja disebar.
Kedua yang tak kalah penting, kenapa media sosial tidak layak jadi sumber informasi. Karena media sosial sebagai perusahaan tidak memiliki tanggungjawab atas konten yang diupload di media mereka masing-masing. Meski berbagai langkah sudah dilakukan, tetap saja konten bohong, tidak mendidik terus bermunculan di media mereka.
Santai juga karena tidak ada hukuman. Berbeda dengan media sosial di Jerman yang tertangkap tangan ada konten berita bohong dan yang melanggar hukum, habis sudah dia didenda dalam jumlah besar. Nah sementara di Indonesia belum ada aturan seperti ini.
Kembali ke judul di atas saudara-saudari, jadi perlu juga menurut saya kita puasa dari kebisingan informasi utamanya dari media sosial yang terus menjejalin berbagai informasi. Baik itu informasi benar, bohong, saling menghujat, melecehkan dan lain sebagainya yang bisa jadi akan membatalkan puasa kita selama Ramadan.
Jadi mari berpuasa, tidak hanya menjaga makan dan minum hingga terbenam matahari. Tapi menjaga diri juga dari media sosial 🙂