Reformasi Luther
Luther yang dilahirkan pada 1483, dianggap sebagai peletak dasar reformasi gereja. Mendapat pendidikan hukum (meski tak selesai) dan teologi di Wittenbegh, membuat Luther cukup memiliki modal untuk memiliki pemikiran kritis terhadap hukum-hukum gereja. Kunjunganya ke Roma pada 1510 membuat Ia memprotes keras terhadap penyalahgunaan surat pengakuan dosa untuk kepentingan duniawi.
Selain itu, latar kebangsaan Jerman Luther yang resah dengan ketidakmampuan bangsa Jerman melawan dominasi Roma yang telah manjadikan tanah mereka sebagai objek pajak juga dianggap memiliki andil atas lahirnya protestanisme dari pemikiran Luther. Beberapa sejarawan, menganggap reformasi gereja yang dilakukan oleh Luther adalah perlawanan Bangsa Teutonic melawan Bangsa Latin.[1]
Pada 31 Oktober 1517, sehari sebelum hari orang suci di mana Gereja Guttenberg secara rutin memajang relik – relik suci. Luther memaku tulisanya yang terdiri dari 95 artikel, berisikan protesnya terhadap gereja di Roma. Diantaranya Ia menolak surat pengakuan dosa, orang kristen harus diajarkan untuk menyisihkan uang bagi orang miskin daripada untuk membeli surat pengakuan dosa, dan mengkritsi pembangunan gereja St.Peter dengan menjual surat pengakuan dosa ketimbang menggunakan pemasukan gereja yang berlimpah.
Seteleh menyerang surat pengakuan dosa yang dibisniskan gereja katolik, Luther juga mengkritik pengklasifikasian orang kristen mejadi golongan imam dan awam. Golongan Imam lebih tinggi dari orang awam. Menurut Luther, semua orang beriman adalah imam, bahkan semua pekerjaan itu suci, mulai dari pandai besi peleburan hingga pengrajin tembikar.
Pada tahun 1520, Paus Leo memerintahkan publik untuk membakar tulisan-tulisan Luther dan meminta Luther untuk datang ke Roma agar melakukan pengakuan dosa di depan publik dalam waktu enam puluh hari atau dikucilkan. Luther membalas perintah Paus Leo dengan surat yang berjudul Open Letter To The Christian Nobility Of The German Nation Concerning The Reform Of The Christian Estate, akibatnya Luther dikucilkan. Di tahun yang sama, Ia menulis surat The Babylonian Captivity of The Curch dan On the Freedom of Christian Man.
Upaya paus untuk memberikan sanksi pengucilan terhadap Luther dan pendukungnya melalui kuasa Karel V yang pada Juni 1520 menggantikan Kaisar Maximilian, belum memuasakan otoritas GerejaKatolik Roma. Pada Maret 1521, melalui sidang dewan gereja dan sidang pangeran, Luther diminta untuk mempertanggungjawabkan tulisan-tulisanya yang dianggap menghina gereja di pengadila Roma. Awalnya ia acuh, namun dengan nasihat bangsawan Frederick sang Bijaksana, Luther akhirnya mau menjalani persidangan. Ia dijatuhi hukuman sebagai orang murtad oleh gereja karena dia bersikeras untuk mempertahankan sikapnya dan menganggap Gereja Roma sebagai gereja yang banyak melakukan penyimpangan. Sepulangnya dari Roma, Luther diamankan oleh Federick di menara Watburg, di pinggiran Kota Eisenach untuk menghindari serangan orang-orang fanatik.
Selama Luther berada di Watburg, Ia meminta kesediaan kawanya, Melanchton untuk memimpin jemaatnya. Selagi ia mengasingkan diri, Ia melakukan penerjemahan Injil ke dalam Bahasa Jerman. Karyanya tersebut, membantu umat kristen memahami injil tanpa perantara gereja. Hal ini adalah perwujudan dari protesnya terhadap monopoli penfasiran injil oleh gereja.
Pengaruh politik
Tulisan-tulisan Luther yang tersebar luas, khususnya di Eropa Barat dan Eropa Utara (Skandinavia), tidak hanya membuat sebagian orang katolik berpindah ke protestan. Secara perlahan orang-orang Eropa Barat yang merasa ditindas oleh bangsawan yang memiliki kaitan erat dengan gereja melakukan pemberontakan dengan semangat reformisnya, meskipun Luther menentang kekerasan dan meminta jemaatnya untuk mengutamakan kasih, toleransi dan kesabaran. Luther sempat mengkoreksi radikalisme dalam benak jemaatnya. Pada tahun 1524 hingga 1525 terjadi pemberontakan petani akibat ketidakadilan para bangsawan.
Dijadikanya protestanisme sebagai agama nasional oleh sebagian negara eropa barat dan Skandinavia, membuat munculnya disintegrasi kekuasaan dari Gereja Roma. Maka timbulah konsep hak ketuhanan raja. Dimana mereka memiliki hak untuk memerintah untuk ditaati. Mereka tidak lagi memerlukan otoritas Gereja untuk memberkati kekuasaan mereka, sebab dalam diri pemimpin sudah terdapat kuasa Tuhan. Luther menyebutkan bahwa ada sifat tersebut adalah sakral dan merupakan lembaga politik yang suci. Luther menganjurkan, kepemimpinan kristen dalam kerajaan kristen (christendom) harus diampu oleh mereka yang memiliki iman dan taat sepenuhnya kepada Tuhan. Pemimpin kristen haruslah mampu menahan diri dari nikmat duniawi meski bergelimang kekuasaan dan tidak memperkaya diri sediri. Sebab manusia akan menghadapi pengadilan di hari akhir dan mempertanggungjawabkan perbuatanya.
Konsep lembaga negara sakral dalam kacamata protestanisme akan melahirkan bentuk absolutisme baru, sebab pemimpin merasa memiliki otoritas langsung dari Tuhan dan tanpa perantara meski mereka ada di ranah sekularisme. Dalam konsep potestanisme, pendeta tak lagi memiliki kekuasaan politik, ia hanya berfungsi sebagai pengurus keagamaan saja. Namun dalam praktek protestanisme di Inggris (anglikan), raja adalah pendeta.
Selain melahirkan bentuk absolutisme baru, protestanisme juga dianggap memiliki andil dalam perkembangan demokrasi di era modern. Sebab tradisi keagamaan yang tak lagi terikat dalam aturan liturgi, membuat umat terlatih untuk mengungkapkan pikiranya dengan bebas. Umat di dalam kehidupan sehari-harinya dapat berpikir lebih kritis kepada penguasa, apabila penguasa dianggap menyalahi aturan kekristenan.
Karena tidak terikat aturan yang ketat, kelak protestanisme akan berkembang menjadi banyak aliran seperti calvinisme yang menganjurkan dikembalikanya lagi pengaruh gereja dalam negara, zwingli yang memurnikan ajaran kristen dan merombak ibadah dan kaum anabaptisme yang menolak keberadaan militer dan pemerintahan yang tidak dijalankan oleh orang kristen yang benar.
Kesimpulan
Gerakan reformasi gereja, sudah menemukan bentuknya sebelum abad ke 16 ketika gereja katolik memperlihatkan beberapa keganjilan. Seperti kehidupan para imam yang bermewah-mewahan, upacara yang memakan biaya bayak dan monopoli tafsir oleh gereja roma. Tokoh-tokoh yang memulai gagasan reformasi gereja adalah Peter Waldo, John Huss, Desiderius Erasmus, dan Thomas More
Reformasi gereja juga timbul oleh beberapa faktor, diantaranya munculnya rasa nasionalisme di kalangan Banga Eropa yang menentang dominasi gereja dan bangsawan, perkembangan pemikiran humanisme, gerakan pencerahan, perubahan masyarakat feodal ke masyarakat perdagangan, perkembangan teknologi percetakan dan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Roma.
Reformasi gereja yang digagas oleh Martin Luther melali tulisan-tulisanya, tidak saja hanya mempengaruhi organisasi gereja dan menimbulkan ajaran baru yaitu protestan disamping penentang roma sebelumnya yaitu Gereja Kristen yunani dan Kristen Rusia. Namun, gerakan reformasi Luther, juga memberikan dampak politis bagi perkembangan negara-negara baru di Eropa. Sebab reformasi membuka jalan bagi penguasa yang pada abad pertengahan dikungkung oleh kekuasaan gereja. Negara negara yang awalanya menjalankan kekuasaan absolutisme bersama gereja, berubah menjadi negara yang absolut tunggal tanpa campur tangan gereja. Meskipun pada perkembanganya Calvin mengembalikan lagi campurtangan gereja pada negara.
Dalam tataran sosial, gerakan protestanisme membuat golongan masyarakat yang awalnya hanya menjadi subjek kekuasaan feodal bangsawan dan gereja, berani melakukan gerakan perlawanan. Hal ini menimbulkan adanya bibit-bibit perjuangan kelas.
Reformasi gereja tidak hanya bergaung dalam lorong-lorong mewah gereja namun, gerakan ini juga menusuk jantung feodalisme eropa dan menyebabkan munculnya kekuasaan politik nasionalis sekuler yang sama absolutismenya dengan kuasa gabungan gereja dengan bangsawan.
Daftar Bacaan
Mc Donald, Lee Cameron. Western Political Theory: From its Origin to the Present. New York: Hartcout, Brace and World Inc. 1968
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Gunung Mulia. Jakarta: 2006
Roland, Bainton. The Age of the Reformation. Van Nostrad. Toronto: 1956
[1] Op.cit, 24
Mega Trianasari
Magister Ilmu Sejarah – Universitas Indonesia