Tulisan ini mengurai tentang pentingnya sebuah proses, katakanlah, sebuah jalan untuk kembali memaknai, membangun dan menyusun kembali sebuah bangunan berfikir dan bertindak dalam praktek pengajaran pendidikan moral di Indonesia.
Berkaca dengan kondisi bangsa yang saat ini masih berusaha untuk menghapus korupsi yang sudah membudaya, ditambah kohesi bangsa, “Imagined Community” yang semakin terlihat samar, penguatan kembali – revitalisasi – pendidikan moral menjadi penting dengan semakin relevannya sikon saat ini.
Kita pun sudah dapat memastikan bahwa mental korup ataupun moral masyarakat yang rendah akan sulit menghadapi tantangan zaman saat ini, apapun, dan dimanapun itu, tantangan yang lahir dari persoalan yang dihadapi suatu masyarakat atau bangsa dalam waktu tertentu akan selalu menguji batas moralitas kita sebagai manusia yang diberkahi segenap akal pikiran serta daya batin (nurani) untuk bertindak. Misal sekedar membedakan salah dan benar, baik dan buruk.
Lantas apakah yang meski dibenahi, yang layak untuk terus dipupuk dan tumbuh merekah untuk menjawab tantangan zaman? Nilai-nilai seperti apa yang menjadi tujuan revitalisasi pendidikan moral yang dimaksud?
***
Undang-undang menggambarkan tentang karakter manusia Indonesia ideal bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang berakhlak mulia, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dalam kehidupan. Lewat jalan pendidikanlah karakter demikian bisa dimungkinkan.
Kita pun sepakat bahwa keyakinan akan Tuhan yang Esa, sikap manusia yang mulia dan karakter manusia cerdas tentu tidak hanya didapat dari sekedar mengenyam di bangku pranata pendidikam formal seperti sekolah saja. Di lingkungan masyarakat ataupun keluarga juga bisa menjadi tempat strategis untuk menanamkan nilai-nilai moral universal tersebut.
Di lingkup masyarakat luas, dengan menyitir jargon pendidikan ala Freire seperti alamku sekolahku atau model sekolah bebas R.Tagore, maka pendidikan moral juga bisa didapat dari seorang penjaga toko, tukang bangunan, polisi ataupun pedagang asongan.
Pendidikan moral pada dasarnya bukan hanya tanggung jawab seorang guru agama saja atau PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) saja, tetapi juga bisa disampaikan oleh seorang guru Matematika, Fisika ataupun Olahraga.
Apalagi dengan model kurtilas tematik (sekolah dasar) dimana satu pelajaran berkaitan dengan pelajaran lain dengan satu tema besar yang berkaitan dengan morality values, yang dalam rencana aksinya, model web (jaring) memang diusahakan terkait satu sama lain.
Tapi realita bisa sangat berbeda dengan teori bukan? Ini gap yang klasik. itu sebabnya kita mencari. kita diharuskan belajar. Kenyataan memperlihatkan bahwa toh ada dibagian tertentu dalam anatomi masyarakat kita, juga tengah dalam kondisi – menyitir istilah yang disampaikan mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi dalam suatu forum diskusi – “Sakit..”
Tapi disinilah korelasinya. Separah apapun penyakit yang diderita, bukankah ikhtiar untuk sembuh dan sehat memang harus selalu diupayakan.
Moral via Kurikulum
Dalam kurikulum pendidikan saat ini, bahwa setiap mata pelajaran tidak hanya mengandung substansi yang bersifat kognitif, tetapi dibalik hal-hal yang bersifat kognitif tadi, terdapat sejumlah nilai dasar (etika moral) yang harus diketahui oleh peserta didik tepat adanya. Hidden Curriculum tersebut setidaknya ada dalam konsep.
Fisika mengajarkan kecermatan dan kejujuran dalam pengamatan. Anak yang ceroboh dalam pengamatan dan tidak jujur dalam melaporkan pengamatannya, tidak akan dapat memahami Fisika dengan paripurna. Ini merupakan suatu nilai. Matematika juga mengandung suatu nilai. Seperti nilai konsistensi dalam berpikir logis, juga kejujuran. Ya! moral itu universal. Bisa anda temukan dimana saja dan pada siapa saja.
Dengan menyitir pengertian pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 (pasal 1, ayat 1) bukan berarti pula mengesampingkan sebuah proses belajar yang lingkupnya jauh lebih kompleks ketimbang di lembaga pendidikan formal seperti sekolah yang cenderung kaku dan rigid. Hal tersebutlah yang kiranya patut ditekankan. Yaitu ruang pembelajaran, terlebih pembelajaran moral yang tidak hanya terbatas di “tembok-tembok sekolah.”
Dunia pendidikan kita pun mengenal empat pilar proses pembelajaran (pendidikan) yang digaungkan UNESCO. Revitalisasi pendidikan moral juga nampaknya bisa dilakukan dengan tahapan-tahapan..
(1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, (4) learning to be.
“Learning to know” pada hakekatnya sejalan dengan penerapan paradigma ilmu pengetahuan pada proses pembelajaran di berbagai tingkat pendidikan sejak pendidikan dasar. Melalui penerapan paradigma ini peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya.
“Learning to do” merupakan upaya agar peserta didik menghayati suatu proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna, suatu proses pembelajaran yang sudah sering digaungkan dengan istilah active learning.
Kemudian “Learning to live together” menekankan kepada pendidikan nilai kemanusiaan, moral dan agama, yang melandasi hubungan antar manusia. Dalam konteks Indonesia misal Pendidikan Multikultur melalui pembelajaran yang kooperatif yang setidak-tidaknya mencakup tiga hal penting, yaitu (1) hasil belajar akademik, (2) penerimaan terhadap keragaman, dan (3) pengembangan keterampilan sosial.
Pelaksanaan pilar keempat “learning to be” merupakan suatu prinsip pendidikan yang dirancang bagi terjadinya proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang mandiri. Proses pembelajaran yang mendorong peserta didik tidak tergantung kepada orang lain merupakan bentuk belajar yang menunjang terbentuknya pribadi yang mandiri.
Tentu saja, tidak semua nilai yang kita ketahui selalu berhasil kita amalkan. menurut Buchori (2002) bahwa antara pengetahuan (cognitio) dengan pengamalan (praxis) terdapat suatu jarak yang dapat panjang tetapi dapat pula pendek. Detailnya, antara kognisi dan praksis terdapat empat langkah yang harus dilalui setiap orang. Antara mengetahui dan mengamalkan suatu nilai terdapat empat langkah batin yang harus dilakukan;
1. Kognisi (cognitio), 2. Afeksi (afectio), 3. Volisi (volitio), 4. Konasi (conatio), 5. Motivasi (motivatio), dan 6. Pengamalan (praxsis).
Analisis yang lain mengatakan bahwa suatu nilai akan menjadi tindakan (implementing) atau pengamalan jika peserta didik mampu mengetahui (knowing), lalu memahami (comprehending) untuk kemudian menerima (accepting) dan selanjutnya membulatkan tekad ( internalizing) untuk mengamalkan suatu nilai.
Sebagai catatan, Philip H. Phoenix (1964) mengatakan bahwa pendidikan moral pada hakekatnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values.”
Yang penting di sini ialah bahwa “voluntary commitment to values” atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.
Kedepan, harapan haruslah selalu kita rawat. Tidak seperti ingatan yang dikikis lupa, Generasi muda adalah realisasi semangat dan daya juang. Mau berapa digit pun deret angka dikandung.
Sebagai penutup, Paus Benediktus XVI pernah mengatakan bahwa manusia saat ini, sedang berada pada masa “Kediktatoran Relativisme” Yang berarti sudah tidak ada lagi tatanan nilai yang benar-benar dihormati..
yang tidak menganggap apapun sebagai sesuatu yang definitif dan memiliki nilai tertingginya justru pada ego dan keinginan seseorang.
Sulit menelisik masyarakat dengan nilai etik yang cukup kuat melindungi, dan yang selalu dianggap pantas untuk kita akrabi dari tiap generasi, sebuah nilai yang turun-temurun kita jaga dan patuhi.
Tak ada lagi yang ajeg tanpa perlu mempertanyakan segala, semua serba mungkin. Bahkan, boleh jadi ketika kebengisan menjadi ukuran moral yang baru. Jika demikian adanya, lantas sudah sampai manakah kita berbenah diri?
Muhamad Zulkarnain