Kalau Presiden Amerika Serikat, Donald Trump punya semboyan ‘Make America Great Again’, sebenarnya Presiden Joko Widodo juga punya semboyan ‘Kerja Kerja Kerja’. Apalagi ketika debat – waktu itu masih calon presiden – bilang dengan sangat yakin, “uangnya ada, tinggal kita mau kerja atau tidak!”. Dengan demikian harus benar-benar terbukti bahwa lapangan pekerjaannya ada, sehingga kita bisa “kerja kerja kerja”.
Ketimpangan Ekonomi
Indonesia sebagai negara kepulauan, lengkap dengan 280 juta populasi manusianya yang juga multikultural. Taraf hidup dan tingkat pendidikan rakyat Indonesia belum merata. Lebih lanjut, bahkan masih terasa ketimpangan di sana-sini. Merombak sistem industri dan sistem pelayanan masyarakat yang serba manual menjadi serba otomatis, serta yang analog menjadi serba digital, akan menjadi pilihan yang beresiko tinggi. Terutama apabila pilihan untuk go digital tersebut “hanya” atas nama kepentingan efektivitas dan efisiensi dalam kaidah ekonomi.
Para pekerja pada hari ini berpotensi untuk digantikan oleh mesin. Para pekerja juga dituntut memiliki keahlian tinggi. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017 menunjukkan 62% angkatan kerja di Indonesia berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau lebih rendah, sehingga berpotensi tersingkir.
Bahwasannya perkembangan teknologi merupakan suatu keniscayaan, memang tidak terbantahkan. Kita menerima dan terbantu dengan SMS-banking, ojek-online, serta belajar masak dan memperbaiki mesin cuci melalui video di youtube. Kita juga merasa nyaman dengan penggunaan e-toll, belanja online (e-commerce). Mungkin hanya e-KTP saja yang jadi kasus mengganjal kan?
Namun demikian, yang juga menjadi suatu keniscayaan adalah ‘benturan kepentingan’ yang muncul karena kepentingan pengusaha besar (baca: kapitalis) yang mengutamakan untung-rugi melalui kerangka pendekatan efektivitas dan efisiensi, melawan – atau minimal berhadap-hadapan dengan – kaum pekerja yang memiliki kepentingan untuk menuju kesejahteraan hidup. Level-level ‘benturan’ dapat dilihat dari urusan upah buruh, pesangon maupun pensiun, maupun penggunaan tenaga buruh/pekerja secara keseluruhan apabila dikaitkan dengan digitalisasi industri dalam revolusi industri keempat.
Pemerintah dan kita sebagai rakyat perlu memikirkan, apakah dengan mayoritas penduduk yang berpendidikan dasar-menengah pertama tersebut akan mampu mengikuti dan mengimbangi perkembangan industri teknologi informasi? Dan sejauh mana mayoritas penduduk berpendidikan dasar-menengah pertama tersebut memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang akan meningkatkan kemampuan mereka? Dapatkah akses-akses tersebut mampu menjangkau sampai ke tiap kecamatan di Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur?
Antara Mesin dan Manusia
Terdapat satu hal pasti yang dibawa oleh revolusi, yaitu inovasi. Inovasi yang lahir dari setiap revolusi dapat menimbulkan dua efek yang berlawanan, yaitu antara Capitalisation Effect (kapitalisasi) atau Destruction Effect (destruksi). Kapitalisasi terjadi jika teknologi yang dihasilkan mampu meningkatkan produktivitas para pekerja dan memungkinkan terbukanya pekerjaan baru. Sedangkan, Destruction Effect terjadi jika terobosan teknologi justru menggantikan pekerjaan manusia, menyebabkan ledakan pengangguran dan menghancurkan sistem pekerjaan yang ada.
Perubahan kemakmuran memenangkan industri padat modal. Berdasarkan laporan Credit Suisse, jika 1% penduduk terkaya menguasai 45,6% total kekayaan pada tahun 2012, maka jumlahnya meningkat jadi 49,3% pada tahun 2016. Sementara kekayaan 40% penduduk termiskin justru turun dari 2,1% pada 2012 menjadi 1,3% pada 2016 (Kompas, 10/11/2017).
Bangsa Indonesia perlu mencari keseimbangan antara kebutuhan efektivitas-efisiensi dengan kesejahteraan kaum pekerja. Keseimbangan mendorong adanya keadilan, sebagaimana Pancasila menyebut kata ‘adil’ dalam sila kedua dan ‘keadilan’ dalam sila kelima. Sehingga otomatisasi dan digitalisasi yang hadir adalah otomatisasi dan digitalisasi yang menyejahterakan rakyat.
Ahmad Muttaqin, M.Pd