DEWANTARA, Jakarta – Grup Tempo menggelar Tempo Media Week selama 24-26 November 2017. Bertempat di Perpustakaan Nasional , Jalan Medan Merdeka Selatan no.11 Jakarta Pusat, rangkaian Tempo Media Week mengambil tema “Hand in Hand for A Better Digital Soceity”.
Beberapa kegiatan mewarnai Tempo Media Week 2017, seperti pameran, diskusi panel, workshop, masterclass, seminar, hingga ngobrol ringan. Grup Tempo mengajak publik untuk berkontribusi membuat wajah Indonesia yang lebih baik, di tengah revolusi digital yang membawa “tsunami informasi”.
Salah satu seminar yang digelar pada Sabtu (25/11) , mengambil judul Inovasil dan Kompetisi di Zaman Digital. Pembicara yang terlibat ada Walikota Makassar Danny Pomanto, aktivis dan pendidik dari Semua Murid Semua Guru Najelaa Shihab, dan pelopor Gerakan 1000 Start-Up sekaligus CEO Kibar Yansen Kamto. Walikota Surabaya Tri Rismaharini sebenarnya terjadwal sebagai salah satu pembicara namun berhalangan hadr. Seminar di-moderatori oleh Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso.
Percaya Diri Membangun Smart-City
Walikota Makassar berbagi cerita tentang konsep smart-city yang dimiliki oleh Makassar. “Upaya kami di Makassar dalam merespons perubahan adalah dengan membuat smart-city” ia memulai. Lalu, “smart-city kita punya konsep sombere dalam bahasa Makassar, itu sebagai heartware (perangkat hati) jadi bukan sekedar hardware (perangkat keras).” Sombere sendiri secara harfiah berarti ramah atau cerewet.
Danny Pomanto memberikan contoh pendekatakan smart-city dalam layanan kesehatan, yaitu Makassar Home Care. “Karena dari pengalaman saya, bisa dibilang orang yang paling susah itu adalah orang miskin yang sakit. Susahnya itu banyak, dari susah berangkat menuju rumah sakit, lalu susah menunggu pelayanan dokter rumah sakit, susah mendapatkan kamar perawatan, juga susahnya mendapatkan obat. Dan masih ada banyak lagi susahnya itu. Maka kita punya Makassar Home Care, jadi orang miskin yang sakit bisa kami layani, kami jemput dan kami prioritaskan penanganannya di rumah sakit.”

Ketika ditanya oleh peserta seminar tentang kondisi bangsa Indonesia yang tertinggal, Danny Pomanto berujar, “Kebingungan di Indonesia ini karena kita sebagai bangsa tidak mempunyai titik pandang yang sama.” Ia berpesan bahwa generasi milenial jangan sampai mewarisi pandangan sejarah yang terputus-putus. “Di Cina, kalau ada pertanyaan ‘siapa yang paling berjasa di Cina?’ maka jawabannya: ‘Deng Xiao Ping lah yang membuat Cina dapat menjadi modern seperti sekarang. Tapi Deng tidak akan lahir tanpa Mao Zhe Dong yang telah melaksanakan Revolusi Kebudayaan. Dan takkan lahir Mao tanpa Sun Yat Sen yang telah merubah Cina menjadi Republik dari sebelumnya kekaisaran’”.
Danny Pomanto juga berbagi dan membanggakan video yang menayangkan unit mobil atau bis pare-pare yang telah melayani masyarakat Kota Makassar. Makassar telah memiliki 10 unit bis pare-pare tersebut. Diharapkan keberadaan bis pare-pare dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor.

Bukan Sekedar Membuat Start-Up
Yansen Kamto hadir untuk memberikan pencerahan dan memotivasi generasi milenial yang hadir, untuk supaya generasi milenial menghadirkan inovasi dan kompetensi baru. Inovasi yang bukan sekedar berani beda. “Kalau mau berubah, dimulai dari diri kita sendiri saja. Jadi kalau mau buat start-up harus mulai dari masalah apa yang ada.” kata Yansen. Masalah yang dimaksud oleh Yansen bukan masalah yang dibuat-buat dan harus dimatangkan konsep maupun idenya. “Masalah yang kemudian dicarikan solusi dari suatu start-up itu, tentunya bukan masalah yang berasal dari kira-kira. Atau istilahnya pake ‘kiralogi’. Tapi masalah yang kita carikan solusinya itu harus ada validasinya. Istilahnya harus ada riset yang benerannya.”
“Jangan bikin start-up kalau tidak punya tujuan.” Yansen menegaskan. Ia melanjutkan, “kalau cuma bikin start-up untuk dijadiin proyek, atau untuk ngemis-ngemis duit sama instansi atau korporasi, apa bagusnya apa hebatnya.”
Ketika ditanya oleh salah satu peserta seminar, tentang kondisi Indonesia yang banyak orang kreatif namun kondisinya masing ‘begini-begini saja’, maka Yansen menjawab, “Manusia Indonesia saat ini tidak memiliki tujuan. Dan kita dikutuk dengan kekayaan alam yang berlimpah.” Lanjutnya, “kalau orang yang disebut pengusaha, ya harus berusaha. Jadi bisa ngga mind-set pengemis dirubah? Jadi jangan bangga kalau jadi pengusaha tapi usahanya itu isinya duit orang lain semua.”
Penjelasan Yansen menekankan pada solusi-solusi yang perlu didukung maupun berkolaborasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Selanjutnya solusi-solusi itu perlu diliput oleh media untuk meningkatkan awareness masyarakat, dan pada akhirnya pemerintah dapat memfasilitasi.
Tantangan Mengelola Pendidikan
Masalah pendidikan di Indonesia sedemikian banyak, sedemikian ruwet saling terikat dan terkait. Saking sudah parah dan menumpuknya masalah pendidikan di Indonesia, maka aktivis dan pendidik dari gerakan Semua Murid Semua Guru Najelaa Shihab, sampai menggunakan diksi ‘gawat darurat pendidikan’.
Najelaa mengatakan, “Pendidikan ini tanggungjawab semua pihak. Tidak bisa begitu saja mengandalkan pemerintah saja. Dan kondisinya memang sudah gawat darurat.” Najelaa mencontohkan saat tren kekerasan di seluruh dunia, di Indonesia malah tren kekerasan meningkat. Dan itu semua juga terkait dengan pendidikan. “Kita mau perbaikan sekarang pun, hasilnya baru dapat kita rasakan 50 tahun lagi. Tetapi ya apa kita mau berdiam diri saja.”
Najelaa memberi contoh tentang peran orang tua, “Bagi setiap anak yang kurang diajak berbicara pada umur 0-3 tahun, maka anak itu berpeluang tertinggal 30 juta kata dibandingkan anak yang diajaka berbicara secara aktif. Melihat dari situ, peluang ketertinggalan bangsa kita saja sudah jauh, itu baru berbicara pendidikan anak usia 0-3 tahun,”. Ia melanjutkan, “saat ini terdapat 50.000 sekolah yang belum teraliri listrik. Lalu 48.000 sekolah belum memiliki jaringan internet. Ada juga sih sekolah yang sudah teraliri listrik dan memiliki fasilitas komputer, tetapi tingkat ketergunaan perangkat komputer untuk mendukung pembelajaran juga sangat rendah. Penggunaan sarana komputer bagi pembelajaran baru sekitar 5%, berarti 95% lagi tidak terpakai.”
Lalu bagaimana dengan upaya dari pemerintah? Upaya pemerintah belum serius. “Berapa banyak aturan yang dikeluarkan Kemendikbud untuk mendorong perbaikan pendidikan atau pembelajaran. 100? 200? 500? Bukan hadiri sekalian, Kemendikbud dalam periode 2015-2017 sudah mengeluarkan total aturan sampai 1126 regulasi atau peraturan.”
Najelaa menyayangkan miss-konsepsi yang selama ini telah mengakar. “Teknologi bisa membantu pendidikan. Jadi tidak perlu orangnya atau gurunya yang dikirim ke pelosok, namun kompetensi guru yang baik dan berkualitas itulah yang perlu disebarkan ke berbagai wilayah di Indonesia.” Najelaa sendiri bersama dengan Semua Murid Semua Guru telah mengembangkan video pembelajaran dari guru-guru yang inspiratif dalam situs inibudi.org sehingga dapat menjadi media belajar digital untuk anak didik. Selain itu Semua Murid Semua Guru juga mengembangkan SINedu.id yang memfasilitasi para sineas Indonesia untuk mengirimkan film-film mereka untuk ditonton dan menjadi media pembelajaran bagi anak didik.
Ketika menjawab pertanyaan dari peserta seminar, tentang orientasi institusi sekolah maupun orang tua yang masih berorientasi pada hasil nilai di raport, Najelaa menjawab, “dalam mengajar dan mendidik peserta didik, jangan diburu waktu. Kekurangan waktu dalam mengajar dan berinteraksi di dalam kelas bisa dimantapkan lagi di luar kelas. Mungkin waktu berharga kita sebagai guru dapat digunakan untuk berkomunikasi dan memberikan pemahaman kepada orang tua siswa.”

Menghadapi kondisi gawat darurat pendidikan, Najelaa memberikan istilah ‘akselerasi perbaikan pendidikan’. Kata ‘akselerasi’ digunakan untuk lebih cepat mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia. Ada dua langkah dalam akselerasi perbaikan pendidikan di Indonesia, yaitu 1) praktik baik yang disebarluaskan dalam skala besar, 2)kolaborasi berbagai pemangku pendidikan.
(AM)