Dewantara, Serang – Sejumlah fakta-fakta yang mengandung unsur ‘kebaruan’ mencuat dalam Seminar Internasional : Pitung, Banten, and The Dutch yang digelar di Aula Gedung Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Serang. Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis (17/1/2019) menghadirkan Prof. Dr. Roelof Jakob Van Der Veen dari University of Amsterdam dan Dr. Margreet Van Till dari University of Leiden.
Bantenologi Sebagai Komunitas Moral
Ketua penyelenggara seminar – sekaligus ketua Bantenologi – Dr. Helmy Faizi Bahrul Ulumi mengawali sambutan. “Kami cukup kaget karena jumlah pendaftar lebih dari 250 orang, walaupun batas peserta hanya150 orang.” Lalu, “Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak kampus, UIN SMH yang sudah mendukung kegiatan-kegiatan seminar seperti ini.”
Helmy lalu bercerita singkat tentang Bantenologi, “Bantenologi sebagai penyelenggara seminar ini merupakan lembaga non-struktural di UIN SMH yang telah berdiri sejak tahun 2000. Pendirinya antara lain Dr.Mufti Ali dan Ruby Ach Baedhawy. Saya sendiri masuk pada tahun 2007. Lalu saya melihat bahwa pada awalnya Bantenologi berangkat dari komunitas moral, yang kegiatannya untuk membangun kajian-kajian tentang Banten.” Ia melanjutkan, “Pada perkembangan selanjutnya, Bantenologi membantu menerobos kekurangan-kekurangan sumber penelitian sejarah maupun budaya Banten.”

Turut hadir dalam pembukaan seminar, Rektor UIN SMH Prof Dr H Fauzul Iman, Wakil Rektor II Prof Encep Syarifudin, Dekan Fakultas Dakwah Dr. H. Suadi Saad, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Provinsi Banten, dosen-dosen, guru-guru, serta beberapa perwakilan dari komunitas budaya, seperti Sanggar Embun Serang. Rektor UIN SMH Fauzul Iman kemudian membuka seminar.
Fauzul Iman dalam pidato pembukaannya menyampaikan, “Saya mengajak kita untuk mengingat dan bersyukur, bahwa keragaman yang ada tetap dapat digerakkan. Semua perbedaan kita hari ini dapat kemudian dipertemukan, tentu itu merupakan sunnatullah.” Fauzul Iman sempat menyinggung pemikiran Tom Nichols, “Dalam buku Dead of Expertise, ada dua hal yang menyebabkan seorang pakar kehilangan ‘kepakarannya’. Yang pertama adalah karena banyak orang atau pemangku kepentingan merasa sama. Sama kapasitasnya, lalu sama pentingnya. Yang kedua internet telah membuat kecenderungan anti-intelektual menguat di kalangan awam. Yang kemudian mendorong pemahaman bahwa pengetahuan dapat diakses siapa saja tanpa harus memahami dan mendalami suatu subjek.”

Melalui seminar, workshop atau lokakarya maka perbedaan perspektif dalam memandang suatu fenomena dapat saling dipertemukan. Secara umum ketika membahas sejarah Indonesia, maupun secara khusus membahas kolonialisme Belanda maka seminar Internasional yang melibatkan pakar lintas perguruan tinggi diharapkan mampu merayakan perbedaan dalam persatuan.
Hubungan Indonesia dan Belanda Masa Lalu
Roelof dan Margreet menyampaikan pemaparannya mayoritas dalam bahasa Inggris. Roelof mengawali dengan bertanya, “Anda tahu kenapa mayoritas bangsa Indonesia tidak mampu berbahasa Belanda walaupun kekuasaan Belanda sangat lama meliputi kepulauan Indonesia? Jawabannya karena Dutch don’t want Indonesia become the Dutch. Belanda hanya peduli untuk trade, untuk money.”
Ketika ekspedisi-ekspedisi Belanda datang pertama kali ke kawasan Asia Tenggara, mereka menemui dua kota pelabuhan terbesar. Yaitu Malaka dan Banten. Sejarah mencatat bahwa ekspedisi pertama Belanda pada tahun 1596 sampai ke Banten, lalu diulang pada ekspedisi kedua tahun 1599.
Sultan-sultan Banten memerangi Belanda – saat itu dalam konteks Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)– yang sangat ingin menguasai perdagangan rempah-rempah Banten. Sampai kemudian Sultan Ageng Tirtayasa – sultan terakhir dari Kesultanan Banten yang merdeka – berhasil dikalahkan oleh VOC pada 1683.
Roelof lalu menjelaskan, “Kebangkrutan VOC karena sekelompok kecil saudagar menjadi kaya raya sedangkan kongsi dagang semakin merugi.” Lalu, “Saat itulah, Kerajaan Belanda hampir runtuh, karena pada saat yang sama Kerajaan Belanda harus menghadapi serangan Perancis di Eropa.”
Setelah kekalahan Perancis, dimulailah era baru di Hindia-Belanda. Pada tahun 1830-1870 merupakan “age of plantation”. Lebih banyak orang Eropa yang datang. Lalu orang-orang Eropa tersebut juga membawa istri mereka. Hal itu sangat dipengaruhi oleh dibukanya Terusan Suez. Dimana apabila sebelumnya perjalanan dari Eropa menuju Hindia-Belanda membutuhkan waktu beberapa bulan, namun kemudian dapat ditempuh hanya dalam tiga pekan.
Setelah tahun 1870 sudah mulai banyak keluarga-keluarga Belanda yang datang ke Hindia Belanda. “Ada yang kita sebut sebagai porch (serambi-pen.) culture dalam setiap rumah-rumah keluarga Belanda atau Eropa pada saat itu. Yaitu front porch (serambi rumah bagian depan-pen.) menerapkan tradisi Eropa. Sedangkan back porch (serambi rumah bagian belakang-pen.) menerapkan tradisi masyarakat lokal. Hal itu dikarenakan pada serambi belakang rumah, urusan rumah tangga dibantu oleh pelayan-pelayan lokal.” jelas Roelof.
Buku-buku sejarah di Indonesia pada umumnya mendeskripsikan “age of plantation” sebagai era Tanam Paksa atau dalam istilah Belanda, cultuurestelsel. Era dimana para petani dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, teh, tembakau, dan tebu.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam kepentingan praktisnya, kemudian memikirkan bahwa hanya ada beberapa ribu orang Eropa ditengah-tengah jutaan rakyat pribumi Hindia Belanda. Tentu pengelolaan perkebunan-perkebunan yang sedemikian luas dan –terutama – menguntungkan itu membutuhkan tenaga pekerja-pekerja terdidik tambahan. Lalu pada saat yang sama muncul ke permukaan seorang Belanda bernama Eduard Douwes Dekker yang mengusulkan sekaligus mendesak Resident di Banten untuk memperbaiki kehidupan rakyat pribumi di Lebak. Dalam usahanya, ia bahkan sampai menghadap ke Gubernur Jendral. Untuk supaya pemerintah kolonial mengubah kebijakannya yang berdampak tidak manusiawi bagi petani-petani yang Douwes Dekker temui di Lebak, Banten.
Roelof mengambil posisi pada sudut pandang Douwes Dekker, “Bahwa sistem Tanam Paksa berjalan hebat di tataran atas, tapi berjalan sangat buruk bagi orang-orang di tataran bawah.”. Roelof juga menambahkan cerita, “Douwes Dekker frustasi karena protesnya tidak didengar, lalu di saat yang sama juga dia kehabisan uang dan terpaksa harus pulang kembali ke Eropa. Lalu dalam mengisi saat-saat frustasi dan kebingungannya di Eropa, Douwes Dekker menghabiskan tiga pekan waktunya di Kota Brussel untuk menuliskan pengalamannya, yang kemudian diterbitkan sebagai buku “Max Havelaar”. Suatu buku yang kemudian akan mengubah cara pandang pemerintah kolonial.”
Ahmad Muttaqin