Dewantara, Serang – Dr. Margreet Van Till dari University of Leiden melanjutkan pemaparan Prof. Dr. Roelof Jakob Van Der Veen dari University of Amsterdam. Penyampaian Margreet berdasarkan pada disertasinya yang kemudian sudah diterbitkan dalam buku berbahasa Belanda, Inggris, maupun Indonesia. Judul buku dalam bahasa Indonesia berjudul Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018).
Sumber Sejarah Si Pitung
Margreet membuka penyampaiannya dengan mengatakan, “Saya mengucapkan terima kasih kepada panitia yang telah membuat spanduk kegiatan dengan menampilkan animasi Pitung yang bagus. Namun harus saya katakan, Pitung yang anda tampilkan dalam gambar tidak seperti hasil penelitian saya yang menyimpulkan bahwa era dimana Pitung hidup merupakan era dimana senjata revolver sudah digunakan oleh Jesse James dan Billy the Kid dari Amerika maupun Ned Kelly dari Australia.” Ia menegaskan sambil tersenyum, “jadi, Pitung harusnya digambarkan sedang menenteng pistol revolver.”

foto: A.Muttaqin
Margreet menceritakan awal ketertarikannya untuk mengangkat tema pitung yang dikenal sebagai bandit, maupun pahlawan bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah Batavia. “Saya tertarik dengan perspektif Carlo Ginzborg tentang ‘mircohistory’. Bahwa sejarah yang ditulis terfokus pada sosok tertentu, pada sebuah komunitas atau kejadian tertentu. Dan bahwa peristiwa-peristiwa besar sering dimulai dari kejadian kecil, yang ironinya acapkali diabaikan oleh sejarawan.” kata Margreet. “Sehingga kita dapat mengaitkan Pitung ini sebagai representasi small people (orang kecil-pen.) yang menghadapi sistem kolonial.” imbuhnya.
Margreet dalam langkah penelitiannya memulai dari menonton film-film Si Pitung yang dibuat di Indonesia pada tahun 1970-an. Masyarakat Indonesia diketahui menggemari saga film Si Pitung sampai awal tahun 1990-an. Pengamatan Margreet terhadap film-film Si Pitung membawanya pada pertanyaan, ‘dari mana semua cerita atau legenda tentang Si Pitung ini berasal?’.
Pertanyaan tersebut membawa Margreet menemui orang-orang yang terlibat dalam film Si Pitung. Dari cerita pembuat film Si Pitung tahun 1970-an didapatkanlah keterkaitan ide cerita film Si Pitung dengan pertunjukan Rancak Si Pitung. Rancak merupakan suatu nyanyian berupa pantun dan syair yang sudah ada sejak abad ke 19 dan perancak itu sendiri terdiri dari dua orang . Dalam tuturan lisan yang terdapat di syair atau pantun rancak tersebut, terdapat kisah masyarakat Betawi. Dalam Rancak Si Pitung, isinya tentang bagaimana ia mengelabuhi penjajah melalui cara yang cemerlang.

Margreet telah mendapatkan dokumen video orisinal Rancak Si Pitung yang dipentaskan tahun 1980-an. Dari kisah yang disampaikan, terdapat kalimat-kalimat dimana Si Pitung dikisahkan kabur dari penjara, melakukan perampokkan, dan merampok kelompok Tionghoa dan saudagar-saudagar. Karena sepak terjang sosok Pitung lebih merujuk kepada sosok kriminal, maka pencarian Margreet selanjutnya adalah arsip-arsip pemerintah kolonial dan arsip-arsip koran.
Batasan waktu yang digunakan Margreet adalah abad ke-19. Dimana dalam riset awalnya ia menemukan nama ‘pitoeng’ pada koran Malay di Perpustakaan Kerajaan di Den Haag. Lebih lanjut, batasan tahun juga dipersempit menjadi 1893. Dalam rangka membandingkan, Margreet juga menemukan arsip kolonial di Arsip Nasional di Jakarta yang berisi catatan Salihoen alias Pitoeng telah menandatangani surat penahanannya.

Pitung dan Anggapan Orang Tentangnya
Pada sesi Tanya jawab, Margreet menjawab pertanyaan ‘apakah Pitung bergerak sendiri atau bersama suatu komplotan?’. Ia menjawab, “Memang betul, tercatat juga dalam koran-koran Hindia Olanda bahwa ada nama-nama rekan Pitung, seperti Ji’ih dan Abdul Rahman. So, Pitung is part of a gang.” Sekaligus ia menjawab alasan mengapa orang-orang masyarakat Betawi pada umumnya lebih meng-glorifikasi Pitung. “Dapat dicatat kesimpulan kenapa kemudian Pitung menarik simpati, pertama ia berhasil kabur dari penjara, kedua ia melakukan perampokan, ketiga ia merampok kelompok-kelompok Tionghoa dan saudagar-saudagar kelas menengah, keempat ia melakukan aksinya secara bersih, tidak pernah melakukan kekejaman terhadap korbannya. Dan terakhir, sesaat sebelum kematiannya, Pitung tercatat bilang ‘lebih baik saya mati daripada masuk penjara’ lalu kemudian dia minta minum tuak dan es. Menurut saya jalan hidup dan cara mati Pitung membuat ia diakui sebagai orang yang berani.”
Ketika berbincang santai setelah seminar, Margreet menemui dewantara.co.id. Ia bertanya, “Apakah Perpustakaan Nasional masih di Salemba?” Lalu ia juga memotivasi, “banyak sekali Malay Newspapers di Perpustakaan Nasional. Kalau kamu bertanya – pada sesi tanya jawab jurnalis dewantara.co.id sempat bertanya – tentang guru spiritual Pitung. Kamu harus cari sendiri jawabannya. Banyak sekali artikel abad ke-19 di Perpustakaan Nasional.”

Ahmad Muttaqin