Manusia tidak dilahirkan dengan kepercayaan, harapan ataupun gambaran menyeluruh tentang kehidupannya..
Di zaman ini, kita semua mafhum bahwa apa yang kita lakukan dan tanggapi mengenai segala hal yang berkaitan dengan dinamika hidup sehari-hari adalah hasil dari proses internalisasi berbagai macam norma dan nilai, termasuk didalamnya nilai-nilai politik. Segala macam atribut warga negara dan nilai-nilai yang telah diakrabi semenjak kecil juga menjadi bagian dari diri kita, baik itu disengaja atau tidak. Dalam kacamata pedagogi kritis, Pendidikan sejatinya mampu membentuk masyarakat yang kritis, responsif dan gandrung terhadap nilai-nilai kebenaran. Dengan begitu kemerdekaan asasi dapat terpenuhi.
Kesejatian yang tidak akan muncul jika ciri pendidikan dengan gaya otoriter ternyata masih bercokol di negeri ini. Dengan model pendidikan macam ini masyarakat terhegemoni menjadi penerima yang pada akhirnya pasif terhadap apapun. Harap maklum jika ada yang beranggapan bahwa pendidikan sebagai produk kebijakan politik, posisinya menjadi strategis terhadap segala macam indoktrinasi kepentingan golongan tertentu.
Jadinya, pendidikan hanya sebagai alat kepentingan legitimasi penguasa saja. Masih ingat tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila) ataupun NKK/BKK yang pada waktu rezim orde baru berkuasa menjadi alat politik yang gencar menghegemoni masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, kekritisan masyarakat menjadi ditumpulkan sistematis. Lalu ada polemik seputar Pancasila dan polemik turunan nya (lingkup sejarah dan ideologi), yang gaungnya kembali nyaring di-dengar-kan…sekedar repetisikah? pikir saja sendiri.
Kita adalah proyeksi dari apa yang sudah kita cerna dalam hidup, kita adalah juga refleksi dari ilmu dan segenap pengetahuan yang kita serap, tingkah laku saya begitu juga anda merupakan cerminan nyata atas kondisi budi, daya upaya, akal pikiran, dan nurani tiap diri.
Dan secara komunal, itu bisa menjadi cerminan kenyataan kompetensi pendidik dalam serangkaian upaya mencerdaskan anak bangsa. dan menjadi guru adalah juga menjadi benteng hidup jangka panjang terhadap kewarasan dan kemurnian nurani anak-anak saat ini sampai seterusnya. Hingga saat ini, kita tahu masih ada masyarakat Indonesia yang belum bisa mengakses pendidikan formal secara utuh. Bagi yang merasakan proses via jalur formal sekolah bahkan hingga tingkat universitas, keinginan ideal yang hendak dipenuhi pada dasarnya adalah perubahan pola pikir yang lebih baik dari sebelumnya, lepas dari mental yang budak.
Jika pada orde baru segenap nilai dan norma masyarakat menjadi seragam, saat ini kondisi yang sebaliknya terjadi. Apakah ini menjamin bahwa sistem pendidikan nasional menjadi lebih baik? Jelas tidak kawan, produk kebijakan (politik) pendidikan saat ini belum bisa secara final memperlihatkan bahwa hasil dari sistem pendidikan nasional sudah membuat kita menjadi bangsa yang maju. Ujian Nasional (UN) yang lebih memprioritaskan hasil ketimbang proses memang sudah turun pangkat tidak lagi menjadi penentu final kelulusan, ada USBN yang menjadi penentu final kelulusan baru yang mudah-mudahan tidak lagi menjadi berhala baru dalam proses Pendidikan saat ini?
Dan lalu ada Undang-undang Guru-dosen dengan (portofolio) sertifikasinya yang membebani juga segenap tuntutan peningkatan kompetensi tenaga pendidik ala pemerintah yang kesemuanya percaya atau tidak, merupakan hasil dari kebijakan politik yang sudah mempertimbangkan kondisi objektif saat ini dan juga masa akan datang..
Akses informasi dan ruang ekspresi yang semakin luas membuat kecenderungan masyarakat (termasuk juga anak-anak kita) sekarang memposisikan media massa-sosial sebagai salah satu pranata penanaman nilai-nilai yang strategis, kita tak bisa mengelak bahwa media-lah yang sebenarnya menjadi sumber belajar saat ini. Dan ketika bicara media kita bicara industri. Dan kita sama-sama mengerti bahwa ada hal yang tidak akan pernah lengkap ketika dihadapkan pada nafas murni Pendidikan yang membebaskan manusia secara mental dan sprituil jika dihadapkan pada realitas roda raksasa dunia industri, terlebih saat ini.
Dan realitas itulah yang menunjukkan bahwa tindakan politik saat ini nyatanya belum mampu memfasilitasi, membentengi, mengurangi, mengikis ketakutan-ketakutan akan nasib isi kepala dan mental anak-anak kita nanti, dan atau dengan skala yang lebih massif dengan term yan sama; kepentingan publik disegala lini yang lebih luas (ekonomi, sosial, agama, hukum, keamanan). mustahilkah..
Bicara politik pendidikan secara otomatis juga bicara siapa pemangku kebijakan politik tertinggi saat ini. Tidak usah sungkan menyentil pembuat kebijakan yang ‘mbalelo’ terhadap apa-apa yang menjadi hak kita. Diatas semuanya, sterilisasi nilai-nilai pendidikan dari tendesi politik praktis memang menjadi harapan kita semua bukan?
Selamat menyongsong tahun ajaran baru 2017-2018!
M.Zulkarnain