Global Climate Strike berawal dari kepanikan anak berusia 16 tahun bernama Greta Thunberg terhadap masa depan kehidupannya di bumi, mengingat gelombang panas dan kebakaran hebat di Swedia pada 2018. Hampir setiap Jumat ia menyempatkan diri pergi ke gedung parlemen Swedia dengan sepeda bertuliskan “mogok sekolah untuk iklim”. Aksinya tersebut mendapat perhatian banyak orang dari seluruh dunia. Greta menginspirasi siswa-siswa sekolah lainnya di seluruh dunia untuk mengambil bagian pada pemogokan sekolah setiap Jumat. Hingga sekarang tercatat sudah lebih dari 4 juta orang di dunia ikut berpartisipasi dalam pemogokan ini.
Pada 20 September lalu digelar kampanye terkait perubahan iklim secara serempak di Eropa dan beberapa negara lainnya, termasuk di Indonesia. Kampanye ini dimaksudkan untuk meminta keadilan atas krisis iklim yang menimpa bumi dan penghuninya terkait dengan perubahan iklim yang ekstrem. Temperatur suhu yang tinggi, bisa dibilang terpanas sepanjang masa, lapisan atmosfer menipis, naiknya permukaan laut dari tahun ke tahun, hewan-hewan yang terancam dan sudah punah, krisis air dan polusi udara yang tinggi. Semua itu akibat perlakuan terhadap alam yang sangat eksploitatif. Dengan tagar “Global Climate Strike”, kampanye atas isu ini mampu mempertemukan banyak kelompok masyarakat yang peduli atas nasib tempat tinggalnya.
Apa yang dilakukan oleh Greta, datang ke gedung parlemen Swedia, adalah sebuah inisiatif mencari tahu di luar sekolah. Sekolah tidak pernah sekalipun menyentuh banyak persoalan yang terjadi di sekelilingnya. Di luar pagar sekolah ia justru menemukan potongan-potongan jawaban atas apa yang ia tanyakan dan kemudian meyakini “mogok sekolah” sebagai salah satu bentuk perlawanan atas ketidakadilan ini —skolstrejkförklimatet (mogok sekolah untuk iklim).
Climate Strike dan Tugas Siswa
Selama ini hingga memasuki era industralisasi 4.0 kita hidup dengan meninggalkan pakem-pakem lama yang arif dan bijaksana terhadap alam. Keintiman kita dengan tanah, air, dan udara cenderung bersifat eksploitatif serta menempatkannya sebagai objek pemenuhan kebutuhan belaka. Seperti yang diungkap Ann Pole, kita hidup dalam tradisi atau budaya yang menolak pentingnya identitas ekologis, yang sebenarnya telah membentuk identitas personal kita.
Greta, juga barisan kelompok siswa yang mencuri perhatian publik, dengan sangat antusias dan penuh kesadaran bergabung dengan aliansi untuk meminta sistem, industri dan ketamakan modal berhenti mengeksploitasi bumi untuk urusan keuntungan. Mereka seperti sedang berteriak tentang jaminan masa depannya, hidupnya, dan lingkungannya agar tetap terjaga dan dapat dinikmati. Tidak seperti sekarang.
Greta Thunberg, juga para siswa lainnya bisa dianggap sedang merepresentasikan kesadaran politiknya. “There is NO Planet B“, “Change the System“, “It’s getting HOT on here” dan “Capitalism is Killing our Planet” adalah contoh teks-teks tuntutan dan kampanye mereka di ruang publik terhadap para perusak lingkungan. Keterlibatan dan kesadaran mereka terhadap situasi adalah hal yang menarik untuk dibaca, seperti apa guru-guru mereka memberikan pemahaman ini semua, dan bagaimana kurikulum mereka? Bagaimana guru-guru mampu mengelaborasi problem sosial politik dan mata pelajaran sehingga kesadaran itu tumbuh dan dimiliki para pelajar?
Pedagogi dan Ekologi
Pedagogi kritis memandang persoalan ekologi ini sebagai bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dalam pendidikan. Alam dan manusia sebagai orientasi menjadi titik pijak guna mendorong budi pekerti luhur untuk bekal “hidup”. Alam dan masyarakatnya adalah bagian dari identitas –dua hal itu juga membentuk identitas kita (Ann Pole, 2019). Manusia dianggap sebagai bagian dari planet bumi (Freirre, 2010).
Sebagai seorang pedagog, guru bekerja tidak hanya berurusan dengan transfer of knowledge yang menghasilkan pemahaman lingkungan dan jenis-jenis mikro-makro-organisme yang ada di bumi. Lebih dari itu, seorang guru juga harus mampu mendorong kesadaran yang menumbuhkan pemahaman penyelamatan lingkungan/iklim dari kerusakan. Kesadaran ini pertama-tama mesti dibongkar secara politik, antara lain dengan memberikan pemahaman tentang hubungan kausalitas antara ekonomi politik dan dampak lingkungan, bagaimana keterlibatan korporasi, kebijakan peran, dan industri telah menyumbang banyak kerusakan lingkungan di bumi.
Pendekatan moral berbasis “dimulai dari diri sendiri” dengan contohnya “jangan buang sampah sembarangan” harus sudah mulai diubah, atau dimajukan cara pandangnya ke arah yang lebih radikal (mengakar). Pendekatan tersebut harus mengarah pada pandangan “stop perusakan lingkungan yang dilakukan oleh industri”, dorong regulasi yang berorientasi kepada kemaslahatan hidup dan lingkungan orang banyak. Bukan yang berorientasi kepada keuntungan dan melahirkan eksploitasi berlebihan.
Pada porsinya, guru harus mampu mendekatkan anak-anak ke alam lingkungannya. Mampu mengundang minat siswa untuk menjalin kebersamaan dengan alam, menyerukan perhatian mereka kepada tanah, air, dan udara buminya (bangsanya), sehingga siswa menemukan identitasnya dan berlaku arif terhadapnya. Atau sesuatu yang paling ekstrem lagi seperti yang diungkap oleh Rabindranath Tagore: jangan bawa masuk pohon ke dalam kelas, tetapi ajak siswa belajar di bawah pohon.
Pada abad modern ini, tampaknya hal seperti itu semakin jauh dari harapan. Sekolah sebagai perwakilan negara masih menopang sistem pengetahuan yang berlaku mainstream di dunia (berorientasi pasar, kapitalistik, ekspansif), sehingga pada faktanya arah dan capaian lembaga pendidikan dimaknai hanya sebatas kemauan pasar, sebagai mesin produksi pencetak tenaga kerja. Lihat saja yang terjadi di Indonesia; moto, visi, dan misinya masih sangat dominan tentang itu.
Kenapa arah dan orientasi pengetahuan serta capaiannya kita permasalahkan dan pada akhirnya berujung pada tema besar krisis iklim global yang terjadi hari ini? Karena pada saat yang sama kita “dipaksa” (secara tidak langsung) berpikir bahwa persoalan iklim adalah persoalan moral dan takdir Tuhan. Trump dalam penggalan-penggalan wawancaranya terkait pemanasan global menyebut dengan nada sinis bahwa hal ini adalah hoaxdan sesuatu yang tidak penting dibicarakan. Pernyataan Trump senada dengan Wiranto, Menko Polhukam RI yang menyebut bahwa kebakaran di Riau tidak separah yang diberitakan oleh media.
Kesadaran “negara”, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh orang yang disebutkan di atas, secara tidak langsung mewarnai dinamika politik pendidikan di dalamnya, sebagai hidden curriculum, karena sekolah adalah instrumen kekuasaan dan guru adalah aparatus yang paling memainkan peran kunci. Jika kesadaran para guru mampu keluar dari kerangka politik pendidikan kekuasaan, ia akan mampu menjembatani kesadaran siswa. Jika tidak, guru lagi-lagi hanya sebagai sales marketingkepentingan kekuasaan yang menempatkan siswa sebatas objek dan konsumen pengetahuan.
Penulis adalah Pegiat Pendidikan di Kelompok Belajar Rawamangun. Dapat dihubungi melalui twitter @Kenangkelana dan instagram @kenangkelana. Tulisan ini pernah dimuat di detik.com