Karier Sjahrir dalam dunia politik Indonesia dapat diibaratkan meteor yang melesat cepat. Ketika Republik masih bayi, ia dipercaya menjadi Perdana Menteri (PM), jabatan yang disandangnya pada usia sangat muda, 36 tahun!
Perhimpunan Indonesia dan Perjanjian Dengan Hatta
Putra pasangan Mohammad Rasad dan Puti Siti Rabiah yang lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini memang telah berjuang sejak usia belia. Selepas mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) yang setingkat Sekolah Dasar (SD) lalu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setingkat Sekolah Menengah Pertama, Sjahrir lalu masuk Algemene Middlebare School (AMS) setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung. Sikapnya yang merakyat sudah terlihat di AMS. Ia bergabung dalam kelompok teater, berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Lalu uang yang diperoleh dari hasil pementasan digunakan untuk membiayai sekolah yang didirikannya untuk orang tidak mampu, Tjahja Volksuniversiteit (Meteor Sjahrir dan Tragedi Kiri; tulisan Asvi Warman Adam di Majalah Intisari edisi Juni 2009).
Lulus dari AMS, Sjahrir memperdalam ilmu hukum di Gemeentelijke Universiteit Amsterdam, Belanda. Di kampus inilah ia makin kerap mengkaji teori-teori sosialisme. Di Belanda Sjahrir juga bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI), yang sebelumnya sejak 1908-1922 bernama Indische Vereenigning (baca: Persatuan Hindia). Semakin dalam pula keterlibatan Sjahrir dalam masalah-masalah politik.
Dua diantara pemimpin-pemimpin PI yang utama adalah Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Keduanya orang Minangkabau. Selain duo minang, ada pula duo Jawa yang menonjol dalam PI, yaitu Ali Sostroamidjojo dan Sukiman Wirjosandjojo (dua nama Jawa tersebut pada tahun-tahun demokrasi liberal di Indonesia masing-masing pernah menjabat sebagai PM). Yang lebih memanaskan suasana diskusi-diskusi PI adalah kehadiran tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diasingkan ke Belanda, seperti Semaun dan Tan Malaka. Mereka kerap berpidato pada rapat-rapat PI sehingga dapat diduga, arah gerakan PI menjadi makin radikal.
Secara umum, para mahasiwa serta kaum buangan politik Hindia yang ada di Belanda merupakan pemimpin-pemimpin bangsa Hindia (baca: Indonesia) yang paling terpelajar. Mereka telah menuntuk ilmu di universitas-universitas Belanda dan mempunyai pandangan-pandangan yang jelas dan (pada umumnya) tidak romantis tentang dunia luar. Sehingga tidak romantis pula terhadap Belanda dan imperialismenya. Dalam ideologi, mereka sebagian besar adalah sosialis yang menerima banyak penafsiran Marxis tentang imperialisme.
Sayangnya, belum sempat menyelesaikan studi, Sjahrir keburu dihubungi Hatta, ia dimintai tolong untuk kembali ke Indonesia dan memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Sering disebut PNI Baru untuk membedakan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada 1927 dan kemudian PNI-nya Soekarno dibubarkan pemerintah Hindia Belanda pada April 1931. Permintaan Hatta kepada Sjahrir tersebut disertai perjanjian, jika kelak Hatta (saat itu masih merampungkan studi di Belanda) pulang ke tanah air, maka gantian giliran Sjahrir yang akan balik ke Belanda, meneruskan studi.
Dalam Kongres I Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung, Juni 1932, Sjahrir terpilih sebagai ketua umum. PNI Baru menempuh taktik-taktik baru yang berbeda dengan PNI-nya Soekarno. Seiring meningkatnya tekanan dari pemerintah kolonila Hindia Belanda, para pemimpin PNI Baru mengembangkan pandangan bahwa aksi massa benar-benar sulit dilaksanakan pada lingkungan dimana pemerintah kolonial makin bertindak represif terhadap organisasi pergerakan Indonesia. Selanjutnya, ketergantungan terhadap hanya kepada seorang pemimpin saja dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu partai apabila sang pemimpn tertangkap. Oleh karena itulah maka PNI Baru lebih bertujuan mengahasilkan kader-kader pemimpin yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.
Tampak jelas, pada tahun 1933, adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru. Karena organisasi itu merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis pribumi, sehingga membuatnya jauh dari dagang Islam maupun priyayi pemerintahan (Sejarah Nasional Indonesia 1200-2004 ; M.C.Ricklefs, 2004). Dengan demikian, gerakan nasionalis non-keagamaan terpecah antara model “aksi massa” dan model “pembentukkan kader”.
Ketika Hatta pulang pada 1933, perjanjian diantara mereka langsung berlaku. Jabatan pimpinan diserahkan kepada Hatta, sementara Sjahrir bersiap-siap kembali ke Belanda. Tapi apa daya, nasib berkata lain, belum sempat meninggalkan tanah air, Sjahrir yang juga aktif dalam kaum buruh itu keburu diciduk polisi Belanda. Ia dibuang ke Digul selama sekitar setahun, sebelum dikirim ke Bandaneira dan diasingkan di sana selama sekitar enam tahun.
Sekolah Mulo di Medan sekitar tahun 1925. Foto: Wikimedia Commons
Indonesia Merdeka dan Berunding-Perang- Berunding
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI), perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan diuji oleh kedatangan pasukan sekutu. Otoritas Sekutu datang berlabel Allied Force of Netherland East-Indie (AFNEI), dan bersamaan dengannya datang juga otoritas Belanda berlabel Netherland Indische Civil Administration (NICA). Apabila tujuan AFNEI bersifat normatif seputar melucuti tentara Jepang dan pengadilan terhadap penjahat perang, tidak demikian dengan NICA yang tujuannya adalah memulihkan kekuasaan Kerajaan Belanda di Indonesia. Maka dimulailah periode Revolusi Indonesia 1945-1949.
Peran Sjahrir dalam periode revolusi Indonesia merupakan peran yang vital. Walaupun seorang Soekarno terus-menerus menunjukkan kemampuannya mempengaruhi rakyat, namun perannya yang berhati-hati sejak proklamasi, dan campur tangannya dalam menetapkan genjatan senjata di Magelang dan Surabaya ketika melawan pasukan Sekutu dan Belanda atas permintaan Inggris, telah mendorong kaum revolusioner muda untuk tidak mempercayai Soekarno.
Dengan demikian, muncullah Sjahrir dalam gerakan di kalangan elite Jakarta. Hal tersebut dikarenakan Sjahrir tidak pernah bekerjasama dengan pihak Jepang sehingga lebih dapat diterima oleh pihak Sekutu. Hal lain yang juga penting karena Sjahrir diyakini mempunyai pengaruh istimewa di kalangan pemuda republik. Pamfletnya yang berjudul Perjuangan Kita diterbitkan pada bulan November 1945, didalamnya tersurat keberpihakan Sjahrir pada gagasan revolusi sosialis internasional yang akan bersifat demokratis, anti-bangsawan, dan anti-fasis. Sehingga pada taraf tertentu akan bertentangan dengan orang-orang seperti Soekarno yang mengagumi gagasan-gagasan Jepang.
Presiden Soekarno yang ingin membuktikan dan meperlihatkan kepada dunia bahwa pemerintahan Indonesia bukan boneka atau buatan Jepang kemudian mengangkat Sjahrir sebagai PM. Hal itu diperlukan agar kemerdekaan mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional.
Sjahrir sendiri beranggapan, personel dan persenjataan Belanda jauh lebih kuat daripada pejuang Indonesia. Oleh karena itu ia memilih jalan perundingan, agar republik yang baru seumur jagung itu survive. Pada Januari 1946, ibukota RI sempat dipindah ke Yogyakarta karena Jakarta tidak aman lagi. Dalam rangka berunding, Belanda tidak mau datang ke Yogyakarta untuk berunding, sama seperti pemerintah Indonesia yang enggan datang ke Jakarta. Akhirnya dipilihlah Linggarjati, sebuah desa di daerah Kuningan-Jawa Barat.
Di meja perundingan, Belanda mengakui RI secara de facto, meski terbatas pada Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan Pulau Madura. Pihak oposisi yang bergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) yang terdiri dari 141 partai dan organisasi menolak perjanjian tersebut. Mereka berpendirian, syarat perundingan adalah bila Belanda mengakui “kemerdekaan RI 100%”. Wacana apakah perjuangan harus memakai jalan perudingan atau dengan gerilya memang mewarnai periode Revolusi Indonesia.
Sjahrir tidak patah semangat oleh segala kritik. Ia terus mengejar pengakuan dunia internasional bagi RI. Pasca Perjanjian Linggarjati, pengakuan de facto secara berturut-turut datang dari Inggris (31 Maret 1947), Amerika Serikat (23 April 1947), dan Mesir (1 Juni 1947). Sjahrir juga menugaskan H.Agus Salim ke negara-negara Arab, sehingga datang pula pengakuan dari Lebanon, Suriah, Irak, Afghanistan, Saudi Arabia, dan Yaman.
Pada tanggal 11 November 1945 kabinet menjadi bertanggungjawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan bukan lagi kepada presiden. Selanjutnya, pada 14 November 1945 dibentuklah kabinet baru. Sjahrir menjadi PM (1945-1947) merangkap sebagai menteri luar negeri dan dalam negeri; Amir Sjarifuddin menjadi menteri keamanan rakyat (semacam menteri pertahanan) dan penerangan.
Pada bulan Februari 1947 ,perluasan koalisi Sayap Kiri dalam KNIP berarti berakhirnya dominasi Sjahrir, karena kelompok-kelompok Kiri lainnya kini mempunyai jumlah pengikut yang sama dengan jumlah pengikut Partai Sosialis pimpinan Sjahrir. Pada bulan Juni 1947, Amir Sjarifuddin dan sebagian besar anggota Sayap Kiri menarik dukungan kepada PM Sjahrir, yang sedang pergi ke luar negeri untuk mewakili Republik di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada bulan Juli, Amir menjadi PM yang baru (1947-1948). Tapi Sjahrir sendiri masih dipercaya Presiden Soekarno untuk memimpin delegasi Indonesia ke Sidang Umum PBB. Di forum inilah, ia membuka mata dunia, mematahkan argumen-argumen diplomat senior Belanda, Van Kleffens, lewat pidatonya pada 14 Agutus 1947.
Terhempas Oleh Politik Kekuasaan
Setelah membela Republik di forum-forum PBB, Sjahrir bagaikan meteor, yang setelah melesat tinggi di angkasa, lalu menghujam jatuh ke tanah. Ia sempat memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang di luar dugaan kalah dalam Pemilu RI pertama pada 1955. Meski banyak pihak memaklumi karena Sjahrir memang menjadikan PSI sebagai partai kader, bukan partai massa.
Ketika terjadi pemberontakkan PRRI/Permesta pada 1958, ada aktivis PSI yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Soemitro Djojohadikusumo. Namun sebenarnya PSI sebagai suatu organisasi bukan dalang dari pemberontakkan tersebut. Toh Sjahrir kena getahnya. Ia ditangkap pada 1962 dengan tuduhan terlibat perencanaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, tuduhan yang sama sekali tidak pernah terbukti.
Tahun 1964, Sjahrir yang sakit keras diperbolehkan berobat ke Zurich, Swiss. Di negara berhawa sejuk itu, ia menghembuskan nafas terakhir, dua tahun berselang. Sjahrir pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Ahmad Muttaqin