Publik Indonesia menyaksikan kisruh polemik ‘Penguatan atau Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi’ sejak bulan permulaan Bulan September 2019. Ada dua hal yang secara bersamaan ‘jatuh’ menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama, masuknya nama-nama yang dianggap ‘bermasalah’ dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Pimpinan (Capim) KPK, terutama satu nama yaitu Firli Bahuri, yang dinilai oleh Pimpinan KPK periode 2015-2019 merupakan orang yang diduga pernah melakukan pelanggaran kode etik berat. Kedua, Revisi Undang-undang KPK (UU KPK), dimana wacana revisi UU KPK kembali muncul setelah sekian lama mengendap di DPR, ketika mengagendakan rapat paripurna pada 5 September 2019 untuk membahas usulan Badan Legislasi atas revisi UU KPK.
Massa Aksi Berbareng Bergerak
Gerakan kelompok masyarakat yang menolak revisi UU KPK dapat dikategorikan sebagai massa aksi karena merujuk Tan Malaka (1926), gerakannya “berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka”. Dan menurut kriteria Sukarno (1929), gerakan tersebut juga “fokus kita punya aksi haruslah terletak di dalam politiek bewustmaking (kesadaran politik, pen.) dan politieke actie (aksi politik,pen.), yakni di dalam menggugahkan keinsyafan politik daripada Rakyat dan di dalam perjuangan politik daripada Rakyat.”
Pegawai dan pimpinan KPK periode 2015-2019 memulai dengan melakukan aksi solidaritas “Save KPK” pada 6 September 2019 di Gegung Merah-Putih KPK. Saat itu Wakil Ketua KPK Saut Sitomorang menyatakan bahwa Revisi UU KPK “Harus dilawan, harus dilawan, harus dilawan, kalau tak sesuai dengan azaz-azaz pemberantasan korupsi, pencegahan korupsi, yang telah kita tandatangani sesuai UNCAC (United Nation Convention Againts Corruption, pen.).”

Tanda bahaya yang dinyalakan KPK mendapatkan sambutan dari para pegiat anti-korupsi. Band Efek Rumah Kaca (ERK), yang sempat manggung di KPK pada 30 Agustus 2019 dalam rangka aksi menolak Capim KPK yang ‘bermasalah’, membuat dan mempopulerkan video dengan tagar #pemakamankpk pada 16 September 2019. Pada saat yang hampir bersamaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 pada 13 September 2019 dan melantiknya dalam Sidang Paripurna DPR pada 16 September 2019. Dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo tetap bergeming bahwa Revisi UU KPK tetap berjalan da pada akhirnya disahan oleh DPR RI pada 17 September 2019.
Para pegiat anti-korupsi dan publik menyaksikan bahwa DPR RI dan Pemerintahan Joko Widodo sangat sigap dalam mengesahkan Revisi UU KPK, dan melalui berbagai pemberitaan di media massa terkesan pasang badan dan sesegera mungkin mengesahkan Revisi UU tersebut. Berbagai pernyataan sikap kita lihat, dari berbagai elemen, termasuk di dalamnya unsur mahasiswa, aliansi buruh, serta elemen sipil seperti dosen dan jurnalis. Demonstrasi awal dilaksanakan pada 19 September 2019 di Gedung DPR. Demonstrasi makin lama makin mendapat dukungan dari berbagai elemen mahasiswa – dalam hal ini aliansi-aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun Front Aksi Mahasiswa (FAM) seluruh Indonesia – dan masyarakat secara luas. Hal itu mencapai puncaknya pada aksi “Gejayan Memanggil” di Yogyakarta pada 23 September – yang dibarengi aksi mahasiswa di Bandung dan Malang – dan aksi Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi di Jakarta pada 24 September.

Pada aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pada 24 September – pantauan langsung penulis di lapangan – massa aksi terdiri dari banyak sekali unsur meliputi Serikat Mahasiswa, BEM-SI seperti Universitas Trisakti, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pancasila (UP), Universitas Tarumanegara (UNTAR), Universitas Mercu Buana (UMB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Al-Azhar, Universitas Yarsi, lalu kampus di luar wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) seperti Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Organisasi ekstra kampus turun, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Manasiswa Indonesia (HMI), lalu juga Serikat Buruh dan jurnalis serta masyarakat luas yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi. Semua satu suara, dari siang sampai malam, untuk menolak Revisi UU-KPK dan Rancangan UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Rakyat Bergerak
Publik menyaksikan bahwa gerakan yang dilakukan di Gedung DPR maupun gedung DPR Daerah (DPRD) tingkat kota/kabupaten maupun provinsi di Semarang, Surabaya, Bandung, Kendari, Makassar, Medan, Padang, Yogyakarta, sampai ke Serang dan Cilegon itu berlangsung massif dengan tuntutan yang jelas. Dunia maya mendukung realitas di dunia nyata, tagar #ReformasiDikorupsi dan #DemokrasiDikebiri bertengger sebagai trending media sosial twitter sejak awal Bulan September. Ketika tanggal 23-24 September kedua tagar itu turun, berganti dengan trending #RakyatBergerak, lalu #MosiTidakPercaya, #MahasiswaBergerak, dan #ayosemuabergerak. Ada juga yang menandingi, tagar #SayaBersamaJokowi. Tentu tagar #SayaBersamaJokowi dibuat oleh kelompok-kelompok yang mulai kuatir imbas massa aksi akan menyerang citra Presiden Joko Widodo, dan bahkan menghambat proses pelantikkannya sebagai Presiden RI 2019-2024.
Namun sekali lagi, tuduhan bahwa massa aksi ditunggangi kepentingan politik praktis seperti menuntut ‘Jokowi Turun’ sama sekali tidak terbukti. Penolakan untuk ditunggangi nampak misalnya dari video yang viral ketika mahasiswa yang sedang beraudiensi dengan anggota DPRD Sumatera Barat menolak diseret wacana ‘turunkan Jokowi’ yang diprovokatori anggota DPRD. Sama seperti tuduhan ‘ditunggangi oleh Taliban’, maka massa aksi mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil membuktikan bahwa mereka murni bergerak untuk kepentingan negara dalam jangka panjang terkait pemberantasan korupsi. Saking tidak dapat ditunggangi, akhirnya kelompok politik praktis turun sendiri juga melalui apa yang disebut sebagai ‘Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI’ kemarin, 28 September 2019.
Gerakan Rakyat ini semakin membesar. Elemen buruh, seniman, dan elemen masyarakat sipil lain di berbagai kota di setiap daerah – kecuali Papua, karena Papua hari ini punya persoalan yang jauh lebih besar – di seluruh Indonesiaa makin percaya diri untuk berbareng bergerak menolak Revisi UU-KPK. Sampai pada perkembangannya, mulai ada korban penangkapan aktivis yang kritis, dan bahkan korban nyawa pun akhirnya jatuh.
September Berdarah
Bulan September 2019 dalam konteks bernegara, sangat jauh dari apa yang dinyanyikan oleh Vina Panduwinata. Sekelumit lirik lagu:
Kau singkap tirai kabut di hatiku
Kau isi harpan baru untuk menyonsong,
Masa depan bersama
September ceria
September ceria
September ceria
September ceria milik kita bersama
Pada Bulan September 2019, polemik kehidupan bernegara telah memakan korban jiwa di Kendari, dimana dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo atas nama Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi, tewas. Keduanya melibatkan unsur kekerasan polisi. Di Makassar mahasiswa Dicky Wahyudi kritis, dilindas mobil barracuda Polda Sulawesi Selatan. Di Jakarta, kabar baik mahasiswa Faisal Amri mulai pulih setelah insiden dalam demo yang melibatkan tindakan kekerasan polisi.
Di belahan Indonesia bagian Timur, di Wamena – Papua terjadi kerusuhan yang menewaskan 33 orang warga pendatang dan membuat 700 orang lainnya mengungsi ke luar dari Wamena. Presiden Joko Widodo sampai saat tulisan ini dibuat belum mengeluarkan pernyataan apapun terkait kerusuhan di Wamena. Sebagaimana juga beliau menolak berkomentar tentang penangkapan aktivis sekaligus sutradara Dandhy Dwi Laksono dan aktivis sekaligus musisi Ananda Badudu yang keduanya ditahan Polda Metrojaya.
Presiden Joko Widodo pasti semakin tertekan karena persoalan negara semakin parah di saat ia akan dilantik untuk periode kepresidenan yang kedua. Sekarang anekdot akar rumput bilang Presiden Joko Widodo mungkin kena ketula ketika bilang, “saya kangen didemo”. Tapi penulis yakin itu hanya gossip jalanan. Yang pasti da bukan gossip jalanan, para anak buah presiden tidak mampu mengamankan instruksi presiden terkait penanganan aksi mahasiswa. Yang pasti para anak buah presiden gagal melakukan pendekatan vertikal dan horizontal terhadap kelompok-kelompok masyarakat di Wamena.
Presiden perlu mengurai, dan sebenarnya mampu mengurai sejumlah persoalan yang menghimpit tersebut. Langkah awal dimulai dengan membatalkan Revisi UU-KPK, atau minimal menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengembalikan UU-KPK sebelum direvisi. Setelah itu secepatnya meyelesaikan persoalan di Papua secara holistik. Siapkah Bapak Presiden?
Ahmad Muttaqin