“saya bermimpi, melihat planet ini sebagai kumpulan tempat tinggal untuk manusia,
bukan tempat tinggal kecerdasan-kecerdasan buatan ….”
Begitu kalimat pembuka Haidar Bagir dalam buku ini. Semacam harapan yang humanis tentang peradaban yang kian kesini kian termesinkan, baik secara hardware (gaya hidup) sekaligus software (gaya berfikir).
Faktanya, hari ini sudah banyak manusia yang terobotkan dalam bekerja, dan sepertinya kerja-kerja manusia yang terobotkan itu masih dianggap kurang mampu menopang industri yang kian lama kian tak bertepi, hingga dirasa perlu menciptakan robot-robot sungguhan yang bisa diatur secara ilmiah dengan kecerdasan ilmiah (Artificial Intellegance – AI) bagi dunia industri kedepan.
Wacana seperti di atas mungkin saja memunculkan perdebatan, misalnya mungkinkah para robot bekerja dan mengurusi hal-hal yang berbau intuisi dan imagi, sesuatu yang perlu didekatkan melalui perasaan dan pengalaman ? Atau sebaliknya, keberadaan mesin justru mempermudah kerja manusia dan memperkecil tingkat kesalahan yang biasa terjadi, seperti lupa dst (human error). Tentu hal ini tak luput dari pembahasan di buku ini yang tulisanya begitu mengalir dan argumentatif.
Sebagai informasi dasar, buku ini berisi kumpulan tulisan Haidar Bagir diberbagai media masa serta memuat beberapa tema baru dan lama seperti persoalan ujian nasional, Kurikulum hingga persoalan Artificial Intellegence (AI) dalam dunia pendidikan.
Buku ini sangat menarik karena menempatkan persoalan yang paradigmatik seperti filsafat pendidikan, tujuan dan konseptual sekolah itu sendiri dalam melihat persoalan pendidikan Indonesia.
Dengan mengutip sekaligus membenarkan pernyataan Prof. Dr.Winarno Surakhmad, mantan rektor IKIP akhir 70-an, bahwa persoalan mendasar pendidikan kita adalah nihilnya filsafat pendidikan Indonesia (hal.28).
Proses kekosongan ini telah berlangsung lama dan tersistematis, bahkan sejak dalam perencanaan hingga menjadi regulasi, sehingga konsekuensi logis dari itu semua adalah keringnya praktik pendidikan serta ilmu pendidikan itu sendiri.
Teks-teks tentang tujuan pendidikan pada akhirnya hanya sebatas teks, tanpa mampu menemukan konteksnya.
Kekosongan filsafat ini pula yang menjadikan siswa-siswa Indonesia seperti kehilangan arah, sekolah-sekolah kita terkesan hanya sebatas memproduksi sarjana-sarjana yang hidup dengan kecemasan masa depannya, dan oleh karenanya berebut kursi kepegawaian — Mengutip Ki Darmaningtiyas sebagai Republik Karyawan.
Di saat yang sama, Haidar juga memberikan tawaran-tawaran tentang bagaimana seharusnya sekolah bekerja secara holistik guna membentuk manusia. Pengembangan kapasitas reflektif serta mampu mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati (hal.34), di situlah mesin bernama sekolah seharusnya bekerja.
Secara bersamaan juga, saya teringat kembali dengan tulisan almarhum Roem Topatimasang mengenai ‘Sekolah itu Candu’, sesuatu yang juga menjadi perhatian dalam buku ini. Roem telah menelusuri jauh keperadaban awal Athena lama tentang istilah sekolah itu sendiri, yang berarti kegiatan di “waktu-senggang”.
Sekolah ternyata hanya sekedar sebuah kegiatan mencari pengalaman/pengetahuan di waktu-senggang bersama orang yang dianggap lebih tahu, bukan untuk bekal mencari pekerjaan. Seiring waktu, kegiatan mencari informasi di waktu senggang itu menemukan bentuknya menjadi lembaga-lembaga formal yang terkurung tidak hanya dalam bangunan (gedung sekolah) tetapi juga dalam bangunan pengetahuan (standarisasi kurikulum).
Wacana ‘pendidikan’ yang seringkali disematkan secara berbarengan dengan teks ‘kesempatan kerja’ juga perlu menjadi perhatian. Pendidikan pertama-tama tidak seharusnya di-set-up menjadi persiapan tenaga kerja siap pakai.
Puluhan kompetensi yang terangkum dalam kurikulum terkesan dipaksakan ke dalam isi kepala para siswa, ribuan lembaga bimbingan menjamur sebagai persiapan test-test kepegawaian. Meminjam istilah Bernard Shaw bahwa seolah-olah pengetahuan sekarang sedang mengejar anak-anak.
Mindset ini perlu diubah, yang justru menurut hasil penelitian di Harvard University, disebutkan jika antara kesuksesan dengan kepintaran tidak sama sekali bertalian, maka sudah sepatutnya kita memikirkan ulang carapandang kita tentang sekolah, tentang pendidikan.
Sekolah harus menjadi taman bagi tumbuhnya kebahagian manusia di dalamnya. Sebagai sebuah taman, sekolah harus bisa memfasilitasi ekspresi-ekspresi manusia, baik-buruknya, berhasil dan gagalnya eksperimen mereka.
Sekolah harus bisa menjadi tempat bagi kegagalan-kegagalan eksperimentasi para siswa, karena sebenarnya di sekolah adalah tempatnya orang-orang gagal (hal.145) untuk kemudian menyadari kesalahan-kesalahan dan belajar merefleksikan kesalahan itu sebagai pijakan eksperimentasi selanjutnya.
Sejauh ini pula, sistem assessment kita melalui ebtanas hingga ujian nasional (UN) pun sepertinya tidak membuat mutu pendidikan kita membaik, bahkan, potensi penyelewengan seringkali terjadi. Standarisasi ujian nasional yang diselenggarakan pemerintah masih jauh dari tepat guna dan sasaran.
Beberapa pertanyaan terkait itu pada akhirnya tidak bisa dielakkan, bagaimana mestinya memperlakukan siswa-siswa yang tidak menguasai kemampuan menghapal yang ketat, yang materinya ada di kurikulum dan diujikan dalam UN?. Sementara misalnya, mereka unggul pada bidang lain yang tidak terserap dalam mata-pelajaran yang diujika seperti musik, keahlian riset, kesenian dan lain-lain.
Antara Manusia dan Artificial Intellegance
Mengenai AI ini, Haidar Bagir mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin mengganggu kita. Apakah kehadiran AI ini adalah awal atau akhir dari kemanusiaan itu sendiri, mengingat sudah ada beberapa ahli, seperti Stephen Hawking, yang memberikan pernyataan jika akan terjadi kiamat besar dengan kehadiran AIpada masa mendatang.
Hal ini diulas dengan sangat tajam melalui rangkaian perjalanan perdebatan mazhab filsafat saintifik antara yang rasional dan empirik. AI pada kenyataanya berada pada prosedur ruang lingkup kerja rasionalitas.
Haidar mengajukan case dengan mengemukakan kemampuan intuitif, imajinatif dan daya moral (sebagai lawan tanding riasionalistik) manusia sebagai penyeimbang kekuatan keunggulan AI.
Kesemuanya dibahas detail dan argumentatif melalui pendekatan filsafat, yang kira-kira, keunggulan AI tidak akan bisa mengungguli kehebatan manusia. Kehadiran AI bukan suatu bencana seperti yang diramalkan para ahli tadi.
Selain AI memiliki manfaat yang dapat menggantikan pekerjaan manusia yang tergolong sangat rendah/mekanik, disaat yang sama justru manusia bisa menemukan kembali hakikatnya yang paling luhur, kemudian menciptakan pengetahuan bagi peradaban-peradaban baru.
***
Sebagai penutup tulisan ini, saya akan mengembalikan lagi ke lembaran pertama di buku ini yang diberi sub-judul; ‘saya bermimpi…’, tentang sebuah harapan bagaimana sekolah harus dipulihkan kembali sebagai ruang publik yang berorientasi kepada manusia tanpa istilah ‘mewajibkan’, ‘mengharuskan’ dan sebagainya yang bersifat membatasi atau intervensi terhadap tumbuh kembang anak. Hingga pada akhirnya, ketika sekolah telah dipulihkan, sebenarnya kita juga sedang memulihkan kemanusiaan itu sendiri.
Sudah selayaknya kita bersama-sama memikirkan ulang konsepsi sekolah bahkan pendidikan yang selama ini mewarnai kehidupan kita. Tabik!
Judul : Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia
Penulis : Haidar Bagir
Terbit : September, 2019
Tebal : 212
ISBN : 978-602-441-135-0
kenangkelana