Dewantara – Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) mengangkat kembali tema urgensi pelajaran sejarah melalui webinar bertema Posisi dan Urgensi Mata Pelajaran Sejarah Dalam Bangunan Keindonesiaan yang dihelat pada Ahad (27/9/2020). Sebagaimana ramai diperbincangkan bahwa dalam draft penyederhanaan kurikulum di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan diberlakukan tahun 2021 pada sebagian sekolah, menempatkan pelajaran sejarah bukan lagi sebagai mata pelajaran wajib pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), dan bahkan akan dihapuskan pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Webinar ini sendiri menjadi forum yang ditunggu oleh guru-guru sejarah dan dosen-dosen ilmu sejarah – terutama pada kampus yang menyelenggarakan program studi pendidikan sejarah – karena pada Jumat (25/9/2020) sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang dijadwalkan menjadi keynote speaker pada webinar AGSI bertema Penyederhanaan Kurikulum: Ambisi atau Solusi kemudian berhalangan hadir. Kemudian orang yang ditunjuk untuk mewakili yaitu Kepala Badan Litbang Kemendikbud Totok Suprayitno juga mendadak berhalangan setelah beberapa jam sebelumnya mengonfirmasi akan hadir dalam webinar.
Posisi dan Porsi Pelajaran Sejarah
Pada webinar Posisi dan Urgensi Mata Pelajaran Sejarah kali ini Kemendikbud diwakili oleh Sekretaris Ditjen GTK Kemdikbud Nunuk Suryani. Dalam sambutannya, Nunuk menyampaikan konsep “Merdeka Belajar” yang digagas oleh Nadiem Makarim.
Presiden AGSI Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam pembukaan menyampaikan, “Dari tahun 1947 sampai 2013, ditengah-tengah sebelas kali pergantian kurikulum, sejarah selalu mendapatkan posisi penting dalam kurikulum kita dengan jumlah jam yang cukup. Kalau kita melihat konteks sosial politiknya tentu kita dapat membaginya menjadi tiga periode. Tahun 1945 sampai 1959 kurikulum diwarnai dengan pembentukan identitas nasional. Kemudian tahun 1959 sampai 1968 ketika Bung Karno sedang kuat-kuatnya kurikulum kita juga dipengaruhi oleh pemikiran politiknya Bung Karno, yang nanti disebut sebagai panca wardhana. Kemudian (ketiga, red.)dari 1968 sampai 1998 kurikulum kita juga masih diwarnai oleh kepentingan penguasa. Banyak orang mengkritisi tiga periode sejarah tersebut. Justru kita boleh jujur mengatakan, pasca reformasi, kita bisa bilang kurikulum itu justru tidak berbentuk. Tidak ada kurikulum yang ajeg pasca reformasi.”
Publik dapat menjawab bahwa pasca reformasi setiap lima tahun terjadi pergantian presiden dan ketika terjadi pergantian presiden juga terjadi pergantian kurikulum. Lalu setiap pergantian menteri pasti terjadi perubahan orientasi kebijakan.
Sumardiansyah menyampaikan klarifikasi. “Saya ada di dalam tim penyederhanaan kurikulum. Di dalam tim ada dinamika bahwa ada tim yang lebih kepada kurikulum 2013 dan ada tim yang lebih kepada kurikulum baru. Nah, pemerintah harus memberikan jawaban apakah nanti yang akan disahkan adalah penyederhanaan dari kurikulum 2013, dengan posisi pelajaran sejarah sebagai pelajarah peminatan dan wajib, atau akan membentuk suatu kurikulum baru?” Ia melanjutkan, “yang menjadi sorotan kami tiga (hal, red.), pertama posisi mata pelajaran sejarah dalam konteks sejarah Indonesia itu bergeser dari kelompok wajib menjadi kelompok pilihan di kelas 10 dan 11. Yang implikasinya siswa bisa tidak belajar sejarah sama sekali. Yang kedua mata pelajaran sejarah di kelas 10 itu menjadi rumpun IPS dengan jumlah jam 4 jam pelajaran dengan sistem blok, empat bulan belajar sejarah, lalu empat bulan kemudian belajar ekonomi, sosiologi, dan geografi. Dan yang ketiga, yang paling fatal yaitu pelajaran sejarah di SMK dihilangkan sama sekali. Jadi kami tidak pernah menyatakan sejarah akan dihilangkan, pelajaran sejarah tetap ada dalam struktur kurikulum, tapi bagaimana posisinya, bagaimana porsinya, dan bagaimana keberadaannya di SMK, itu yang kemudian kita banyak lakukan tindakan kritik.”
Menanggapi pertanyaan dan pernyataan Sumardiansyah, Ninuk menyampaikan, “Ini pentingnya Pak Sumardiansyah diundang dalam penyederhanaan kurikulum jadi mewakiliki asosiasi guru sejarah. Bahkan dalam forum penyederhanaan kurikulum itu sendiri saya tidak tahu. Balitbang yang melakukan pengkajian. Kalau saat ini belum ada sosialisasi. Kalau ada sosialisasi, itu terkait kurikulum dalam kondisi pandemik bukan kurikulum baru.” Nunuk melanjutkan,”Untuk tahun 2021 yang kami canangkan itu sekolah penggerak, dimana sekolah penggerak itu merupakan laboratorium pengujian kebijakan-kebijakan. Jika dalam sekolah penggerak kebijakan-kebijakan baru dianggap tidak sesuai maka tidak akan diimplementasikan. Untuk sekarang kurikulum yang disosialisasikan adalah membantu pelaksanaan kurikum di masa pandemi. Itu pun tidak mempengaruhi beban kerja guru yang 24 jam.”
Nunuk dalam penutupnya mengatakan, “apa yang disampaikan teman-teman melalui petisi ini akan saya dorong. Untuk teman-teman yang ada di forum ini, pesan saya kawal terus. Saya juga memiliki concern yang sama.”
(Ahmad Muttaqin)