“Banyak anak-anak bermimpi mencetak gol yang indah. Saya selalu berangan untuk menghentikan impian tersebut,” ujar Casillas, saat menyetop tendangan Robben di final Piala Dunia 2010.
Wasit meniup peluit. Sang algojo bersiap menendang. Kiper bergerak dan gol! Penjaga gawang terbang ke arah kanan sementara si algojo melakukan panenka ke tengah. Meski jam terbang segudang, seorang kiper bisa saja melakukan kesalahan. Mengapa ia bergerak kanan padahal bola menjurus ke arahnya?
Sebuah studi menganalisa 286 tendangan penalti. Ditemukan bahwa 49,3 persen kiper akan melompat ke kiri. Untuk lompat kanan sebanyak 44,4 persen dan diam di tengah ada 6,3 persen. Untuk berdiri diam nampaknya ide yang bagus. Studi juga menampilkan 39,3 persen bola mengarah ke tengah, 32,1 persen ke kiri dan 28,7 persen ke kanan. Inilah tendensi kesandaran kita untuk melakukan aksi walau justru dengan berdiam diri lebih efektif.
Aksi bias seperti ini sering terjadi. Pemilik klub yang condong pecat pelatih meskipun hasilnya sama saja. Karyawan sibuk-sibuk berinovasi padahal dengan duduk manis penghasilan pun tetap sama.
Andre Spicer seperti dikutip Guardian (11/07/2018), menyebut satu alasan psikis atas hal ini adalah kita ingin menghindari kekecewaan. Saat penalti, penjaga gawang dalam tekanan karena posisi kalah cenderung melompat. Sekelompok psikolog Belanda menemukan hal serupa dalam penelitian mereka. Mereka mencatat jika seseorang dihadapkan pada rentetan hasil negatif maka mereka akan melakukan sesuatu daripada berdiam. Adagium lama, setidaknya telah berusaha walaupun kalah ketimbang tidak melakukan apa-apa.
Alasan lain adalah kita tidak hilang harga diri. Para fans sepakbola mafhum jika penjaga gawang salah menebak salah lompat pada adu penalti. Ketidakberuntungan. Lain jika penjaga gawang hanya terpaku di tempat sementara bola meluncur ke kanan. Fans akan menghardik kemalasan sang kiper. Sehingga, inilah hukumnya. Kita menghargai kiper yang melompat dan dilain sisi mengecam mereka jika kiper berdiam diri saja meski keduanya berbuah hasil yang sama: kekalahan.
Ini juga yang diterapkan di banyak perusahaan. Jika manajer seketika mengimplementasikan mode manajemen yang baru di perusahaan mereka dihadiahi bonus berlimpah. Bahkan jika tidak memberi untung perusahaan secara signifikan. Kita juga bias melihat pemerintah seperti itu. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan dalam suatu keadaan krisis (tak peduli dampak kehancurannya), masyarakat menilai positif ketimbang duduk membisu. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan. Lazimnya, kita ingin dokter yang menganjurkan perawatan intensif daripada dokter yang hanya sekadar cek badan saja. Ini mengabaikan fakta bahwa perawatan intensif (rawat jalan) padahal kita baik-baik saja akan menggerogoti psikologis kita. Yang pada akhirnya memburuklah kesehatan kita.
Membuat keputusan terbaik berarti menjaga tindakan bias kita sendiri. Seringkali rahasia sukses adalah tidak melakukan apa-apa, untuk sementara waktu. Sebagai contoh, pemain tenis terbaik adalah yang mampu menjaga daerahnya selama mungkin dari bola serangan pemain lawan. Ini memberikan waktu untuk mereka mengukur bola masuk dan membalas pukulan dengan tepat dan mematikan.

Menahan diri juga efektif dalam dunia politik. Cosimo de Medici adalah contoh sahih. Ia mendominasi masa Renaissance di kota Florence Italia. Ia bankir dan politisi. Keahliannya adalah menunggu sambil menyaksikan lawan politik menyerang dan menunjukkan kekuatannya. Kondisi ini memberikan Medici keuntungan dalam jarak: Ia tahu kepentingan musuhnya justru saat lawannya tidak menyadari sikap diamnya Medici. Sebagai tambahan, akan banyak sumber daya yang terbuang saat melakukan aksinya, Medici hanya duduk santai, mengamati sambil menanti waktu yang tepat untuk respon yang paripurna. Medici sendiri karir politiknya singkat, hanya saja pengaruhnya pada perpolitikan Florence luar biasa.
Analisa ini yang dipakai Van Gaal saat mengganti Jesper Cillesen dengan Tim Krul saat menghadapi adu penalti perempat final Piala Dunia 2014 melawan Kosta Rika. Secara teknik Krul tidak lebih baik dari Cillesen. Namun, H-1 sebelum pertandingan Krul sengaja diberi latihan khusus penalti, ancang-ancang jika adu penalti akan terjadi. Setelahnya kita tahu Krul jadi pahlawan hari itu.
Penjaga gawang saat menghadapi tendangan penalti harus mengingat: Kadang kala aksi terbaik adalah nir-aksi. Jika penendang mendekati titik penalti, akan lebih baik kiper menganalisa sang algojo layaknya Medici ketimbang melakukan aksi lompatan heroik tanpa arah seakan bahaya ada di pelupuk mata.