Dewantara
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Advetorial
  • Sosok
  • Jejak
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Komunitas
  • Sains
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Advetorial
  • Sosok
  • Jejak
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Komunitas
  • Sains
  • Redaksi
Dewantara
No Result
View All Result
Home Opini Mahasiswa

Buaian Palsu Media dalam Pendidikan

Oleh: Ahmad Qori Hadiansyah

dewantara.id by dewantara.id
October 2, 2019
in Mahasiswa
0
Buaian Palsu Media dalam Pendidikan

ilustrasi pemberitaan media. Sumber: fee.org

99
SHARES
1.1k
VIEWS
Share on TwitterShare on Facebook

Media kerap kali memunculkan pemberitaan tentang kesuksesan seorang yang awalnya bernasib kurang baik, menjadi lebih baik ketika dapat menempuh gelar sarjana lewat jalur beasiswa. Bahkan, kisah-kisah inspiratif tersebut lebih banyak diproduksi ketimbang pemberitaan tentang gerakan menuntut biaya pendidikan yang murah. Memang terlihat elok, namun mesti ditelaah lebih dalam.

 

Seperti dimuat dalam tribunnews.com (04/07/2019) tentang anak buruh yang diterima berkuliah di Universitas Gajah Mada. Framing berita mengarah pada perjalanan anak buruh yang dibumbui dengan kisah keterbatasan ekonomi keluarganya. Sementara, si anak buruh digambarkan dengan perjuangan seseorang yang gigih belajar untuk menempuh perkuliahan. Sebenarnya, apa maksud terselubung dari pemberitaan  tersebut?

Seperti yang kita ketahui, akses terhadap pendidikan tinggi masih sulit dan cenderung rendah. Republika.co.id (12/11/2018) melansir, jumlah mahasiswa di Indonesia saat ini mencapai 7,5 juta jiwa. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk usia kuliah, angka tersebut hanya mencapai 32,9 persen. Kesulitan akses, salah satunya disebabkan oleh mahalnya biaya untuk menempuh pendidikan tinggi. Memang benar, saat ini telah banyak penyedia beasiswa. Namun, tetap saja masih ada rakyat yang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi.

Di tengah keterbatasan akses pendidikan tinggi, justru media hadir hanya dengan kisah-kisah inspiratif yang terkesan dramatis. Akhirnya, permasalahan pendidikan tinggi tersebut seakan hilang. Rakyat pun seakan memaklumi bahwa untuk mengakses pendidikan tinggi butuh biaya. Jika tidak punya biaya, maka harus usaha mencari beasiswa. Selain itu, juga harus gigih dalam belajar untuk mendapatkannya.

Hal di atas merupakan salah satu akibat dari liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan yaitu proses pelepasan tanggung jawab pemerintah kepada pihak swasta/masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Hal itu ditandai oleh mahalnya biaya pendidikan. Sayangnya, hal tersebut tidak kita sadari sebagai permasalahan dalam pendidikan. Bahkan, mengafirmasi bahwa untuk menempuh pendidikan, haruslah mengeluarkan biaya.

Kini, permasalahan tersebut seakan hanya permasalahan individu. Ketika tidak mempunyai biaya untuk berkuliah, diharuskan bekerja untuk membayar biaya kuliah. Ataupun yang lebih parah, orang yang tidak punya biaya dianggap orang yang  malas.

Pemberitaan inspiratif yang dilakukan oleh media, membangun suatu kesadaran naif dalam masyarakat. Paulo Freire menjelaskan, kesadaran naif adalah suatu gejala yang terjadi ketika kita bersifat naif dalam melihat suatu permasalahan yang sifatnya umum. Misalnya, dalam permasalahan akses pendidikan tinggi. Akses pendidikan tinggi bukan saja masalah individu, melainkan permasalahan yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, individu menaifkan dirinya dan menganggap bahwa itu adalah permasalahan bagi individu yang malas.

Persoalan akses pendidikan bukan lagi menjadi permasalahan yang struktural dan sistematis. Keterbatasan akses pendidikan tidak dipahami sebagai wujud dari liberalisasi pendidikan. Di tengah masyarakat yang mengonsumsi berita inspiratif seperti di awal, yang memunculkan kesadaran naif. Akhirnya, masyarakat hanya dimanipulasi oleh elit politik, dan hanya menerima kebijakan yang dibuat oleh elit politik.

Selain itu, pemberitaan tentang kisah-kisah dramatis juga membentuk  pandangan bahwa pendidikan bisa mengubah nasib manusia. Hal ini kemudian menjadi suatu proses sakralisasi pendidikan, yaitu proses yang membuat pendidikan menjadi instansi yang memiliki kemampuan untuk mengubah nasib seseorang. Jika tidak berpendidikan, maka tidak akan bisa meraih kesuksesan.

Ivan Illich pun telah menjelaskan hal tersebut. Menurutnya, dalam Esai yang berjudul “Alternatif Pendidikan Institusi Pendidikan”, melalui kurikulum tersembunyi mengisyaratkan suatu pesan bahwa individu tidak bisa menyiapkan dirinya tanpa melalui institusi pendidikan. Dalam pembahasan ini, media pun berperan hanya sebatas melanggengkan perspektif tersebut.

ilustrasi media mudah diakses dalam genggaman. Sumber ecr.co.za

Belum lagi, dalam sistem pendidikan Indonesia terdapat garis nyata segmentasi secara ekonomi. Hal inilah, dalam pandangan penulis sebagai penghambat mobilitas sosial melalui pendidikan. Karena, masyarakat kelas atas dapat dengan bebas memilih institusi pendidikan yang lebih baik dengan ongkos yang lebih mahal. Berbanding terbalik dengan masyarakat menengah ke bawah yang harus berjuang dan bersaing dalam menempuh pendidikan tinggi, seperti yang disebutkan di awal. Harus mengikuti seleksi terlebih dahulu, baru dapat mengenyam pendidikan. Pada kondisi seperti ini, pendidikan hanya menjadi sarana untuk memertahankan kelas sosial saja.

Selain itu, secara teknis pun mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa dan tanpa beasiswa berbeda. Mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa tentu saja mengalami prosedur administratif yang berbelit-belit. Bahkan, dalam beasiswa bidikmisi yang disediakan oleh pemerintah juga kerap mengalami berbagai kendala, seperti pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) sehingga membuat mahasiswa penerima beasiswa tidak dapat mengisi Kartu Rencana Studi (KRS).

Seperti yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang dimuat dalam Haluan Mahasiswa Edisi April 2019 berjudul “Mahasiswa Bidikmisi Terjegal Pengisian KRS.” Pada masa pengisian KRS semester 110, mahasiswa penerima Bidikmisi tidak dapat mengisi KRS, karena dianggap belum membayar UKT dalam status pembayarannya. Hal itu pun merugikan mahasiswa penerima Bidikmisi. Ketidaksetaraan terlihat jelas dalam persoalan administratif.

Terakhir, penulis tetap mengapresiasi anak buruh yang dapat berkuliah. Tetapi, itu tidak menandakan adanya kesetaraan akses pendidikan. Seharusnya, semua masyarakat pun berhak mengenyam bangku pendidikan tinggi. Struktur sosial dan ekonomi yang timpang jelas menjadi faktor yang memengaruhi akses pendidikan. Selain itu, juga kritik terhadap media yang hanya seperti motivator dengan cara mengisahkan kisah inspiratif tanpa memberi penyadaran terhadap inti dari masalah pendidikan di Indonesia. Media hanya memperbanyak buaian tanpa penyadaran.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Sosiologi 2017, aktif dalam lembaga Pers Mahasiswa Didaktika. Tulisan ini pernah dipublikasikan di didaktikaunj.com

Tweet25Share40Share10Share
dewantara.id

dewantara.id

Related Posts

Pendidikan Yang-Politis Itu Humanis!

Pendidikan Yang-Politis Itu Humanis!

July 16, 2019
Jangan Jadi Wirausaha

Jangan Jadi Wirausaha

March 28, 2019
Mau Bonus? Bersatulah, Guru dan Orangtua

Mau Bonus? Bersatulah, Guru dan Orangtua

October 24, 2018

“Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca Masa Kurun Niaga”

August 7, 2018

“Jalur Laut, Jalur Favorit Nusantara Zaman Kuno“

August 1, 2018
Bergaul Dengan Bahasa: Linguistik Sebagai Barometer Tingkat Pendidikan Bangsa

Bergaul Dengan Bahasa: Linguistik Sebagai Barometer Tingkat Pendidikan Bangsa

July 9, 2018
Individu Otonom, Di Tengah Kerumunan

Individu Otonom, Di Tengah Kerumunan

June 12, 2018
Puasa dari Kebisingan Informasi

Puasa dari Kebisingan Informasi

June 11, 2018
Load More

Tentang Kami

Dewantara adalah situs informasi seputar kebudayaan khususnya lingkup pendidikan. Berisi artikel, berita, opini dan ulasan menarik lainnya. Dihuni oleh para penulis dan praktisi berpengalaman.

E-mail: jejaringdewantara@gmail.com
Yayasan Bintang Nusantara

Follow Us

Category

  • Advetorial
  • Dari Anda
  • Galeri
  • Garis Waktu
  • Internasional
  • Jejak
  • Jendela Dunia
  • Kabar
  • Kakiku
  • Komunitas
  • Mahasiswa
  • Nasional
  • Opini
  • Praktisi
  • Profil
  • Sains
  • Seni Budaya
  • Siswa
  • Sosok
  • Tips
  • Uncategorized

Popular

  • SMPN 5 Cilegon Serius untuk Jadi Sekolah Rujukan Google

    SMPN 5 Cilegon Serius untuk Jadi Sekolah Rujukan Google

    34 shares
    Share 14 Tweet 9
  • “Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca Masa Kurun Niaga”

    33 shares
    Share 13 Tweet 8

Recent News

LAZISNU Kota Cilegon Menebar Manfaat melalui Berbagi Takjil Gratis

LAZISNU Kota Cilegon Menebar Manfaat melalui Berbagi Takjil Gratis

March 23, 2025
Peresmian Ruang Kelas Masa Depan oleh Dirut PT.SPC Raymond, Direktur wilayah EMEA Google for Education Colin dan Staf Khusus Menteri Kemendikdasmen Rowi.

Google dan SPC Luncurkan ‘Ruang Kelas Masa Depan’, Kemdikdasmen, Pemprov Banten, dan KSRG Dukung

March 12, 2025

© 2018 Dewantara.id

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Advetorial
  • Sosok
  • Jejak
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Komunitas
  • Sains
  • Redaksi

© 2018 Dewantara.id

Go to mobile version