Dahulu, sangat sedikit orang Indonesia yang secara lantang menyatakan perihal eksistensial individunya masing-masing. Sejauh yang saya tahu adalah seorang Chairil Anwar seorang pelopor yang lantang mengungkapkan perihal eksistensial individunya sebagai seorang pribadi, lewat “AKU”.
Setelah Remy Sylado berpendapat bahwa lagu kebangsaan Indonesia adalah lagu yang paling terindividualistis di dunia (Indonesia Tanah Airku). Saya jadi memikirkan apa yang salah memang, kalau kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang perlu akan sebuah pernyataan yang individualistis? entah salah atau benar saya pikir akan lebih cocok jika kata individualistis lebih cocok jika dirubah dengan ke-AKU-an.
Bahwa bangsa ini berjiwa kolektif memang benar. Ada gotong royong, siskamling, atau ronda malam, atau dari sekedar nongkrong gak karuan sampai nongkrong yang sedikit ilmiah, itu memang riil bisa kita lihat di keseharian kehidupan kita, baik itu dikota yang tingkat ke-egaliter-an antar, katakanlah rukun warga dan rukun tetangga dirasa sebagian orang sangat kurang ataupun didesa dimana kebersamaanya masih terasa kental.
Yang jadi permasalahan adalah jika kekolektifan tersebut malah mengikis eksistensi ke-AKU-an individu. Apa jadinya ketika ditengah kerumunan (Crowd) besar masyarakat yang sangat kental kolektifitasnya, ternyata terdiri dari banyak sosok yang rapuh akan identitas pribadinya masing-masing.
Apalagi ditengah arus globalisasi yang semakin meruntuhkan sekat-sekat lokalitas daerah atau batas-batas antar Negara, dimana kesempatan orang yang ingin berinteraksi tidaklah sulit dibanding zaman purba.
Dimana oleh karena kesempatan itu pula maka kerumunan (Crowd) bukanlah lagi dimaknai sebatas pengertian secara fisik tapi sudah melanglang buana keruang-ruang dunia maya (cyberspace) dengan tingkat kecepatan yang sudah sedemikian gilanya.
Ya! Crowd yang sudah tidak peduli batas ruang dan waktu! “jarak/spasial” semakin tereduksi, tersimplifikasi oleh kemajuan teknologi yang kian hegemonic, bukan semata-mata teknologi itu sendiri, tapi karena kemajuan-kemajuan yang dicapai telah dikangkangi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, padahal untuk saling mengenal dan mengidentifikasi, kebutuhan akan jarak yang representatif diantara 2 atau lebih objek yang ingin saling mengenal adalah kebutuhan yang mendasar.
Memang bagi orang yang telah beradaptasi dengan hal tersebut mungkin tidak menjadi masalah, tapi bagaimana yang tidak? Itu akan menjadi problem eksistensial yang cukup mendasar dan pelik jika belum bisa teratasi, terlebih jika apa yang dikatakan oleh Radhar Panca Dahana memang masih menjadi kenyataan keseharian sebagian besar masyarakat ini, bahwa “kita masih sibuk dengan kecepatan (Speed), sementara yang lain telah sibuk mengalami percepatan (Velocity). ”
Jika kenyataan sudah berkata demikian, akan timbul sebuah kesulitan untuk mengidentifikasi diri sebagai AKU yang berupaya kokoh identitasnya atas arus kemajuan teknologi dan informasi yang semakin canggih dan meng-alienasi manusia.
Sebuah kerja Identifikasi diri, Edizamen Emeoton – Aku mencari diriku sendiri (Herakleitos) – menjadi sulit dilakukan terhadap suatu hal, banyaknya objek yang kita temukan membuat kita bingung, belum selesai kita dengan proses yang satu ternyata yang lain sudah banyak mengelilingi dan menuntut kita untuk berproses.
Dimana-mana akan mudah kita saksikan sekelompok masyarakat yang sangat mudah mengikuti arus mode atau mainstream yang sedang berlaku disuatu waktu, ketika mainstream berlalu kearah A maka kerumunan yang terhegemoni dan mengalami alienasi ikut pula mengarah ke A, seketika mengarah ke B maka saat itupula mereka akan mengarah kearah B begitu seterusnya, sebuah proses yang sangat menyedihkan, hidup sebagai sebuah masyarakat yang terdiri dari individu yang sangat rapuh akan eksistensi ke-AKU-anya.
Pada kenyataanya, saya berpendapat bahwa sebagian masyarakat kita memang boleh dikatakan sedang berproses seperti itu. Jadi, sekarang terserah kepada anda sekalian sebagai individu yang hidup di zaman serba canggih nan praktis, sudah sampai dimanakah dan seperti apa, kita sebagai individu yang otonom benar-benar merdeka dan konsekuen dalam ber-identitas, dalam mengidentifikasi diri?
Penting kiranya bagi kita, baik itu sebagai individu otonom maupun satu kesatuan bangsa bernama Indonesia berupaya untuk memikirkan kembali akan sebuah proses yang bermuara kearah kemerdekaan eksistensi, yang menurut majalah TIMES mempunyai akar kebudayaan lebih tua daripada Inggris.
Angga Eryana
*)Mahasiswa kandidat S2 Program pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya