Kemarin (27/07), Reshuffle kabinet kerja Jokowi jilid II sudah rampung. Hanya beberapa yang masih tersisa dari Kabinet Kerja jilid I. Ada yang tersingkir ada yang dipindah ke kementerian lain. Yang agak mengkhawatirkan, tak luput, pucuk pimpinan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ternyata juga ikut diganti.
Wajar saya khawatir, dan khawatirnya saya bukan pula terletak pada alasan-alasan patron, seperti alasan ketokohan (yang di zaman ini bisa dengan sangat mudah dibuat-buat), tapi karena (kebiasaan terhadap) pola-pola lama seperti ‘ganti menteri ganti kebijakan’ apakah masih bakalan muncul atau tidak?
Tulisan ini pun juga sejatinya hanya menyoroti beberapa pertimbangan saja dari sekian banyak hal penting lain yang menjadi pertimbangan mengenai tanggungjawab negara menyelenggarakan proses pendidikan yang sehat dan menyehatkan.
Kesadaran kaca spion
Jika anda berkendara, baik dengan moda transportasi pribadi atau umum, kaca spion itu wajib ada. Karna fungsinya yang sangat krusial, maka adalah sangat keblinger jika anda membatalkan fungsinya hanya sebagai aksesoris formal sekedar memuaskan hasrat narsistis belaka.
Saya biasa menunggangi motor ke lokasi kerja. satu alat transportasi yang menurut saya cukup efisien ditengah kondisi perkotaan yang semrawut lalu-lintasnya. Bagi saya, sulit rasanya jika membayangkan motor tanpa adanya kaca spion. Walaupun saya tahu arah tujuan saya kedepan, tapi sangat penting untuk sesekali melihat kebelakang sebagai batu pijakan agar lebih mantap melaju ke tempat tujuan.
Nah, justru dsinilah korelasinya dengan kebijakan (baca: politik) pendidikan. Kita ngerti, kita tau, bahwa tujuan pendidikan kita secara garis besar adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan yang namanya tujuan itu ya orientasinya itu maju, selalu ke depan, bukan kebelakang, apalagi stagnan, diam di tempat.
Dunia pendidikan kita seperti kehilangan arah, berjalan maju tapi seperti bergerak ditempat. Formula kebijakan seperti sebut saja, Kurikulum Rencana Pelajaran (1947-1968) seperti leer plan dan Pancawardhana. Kurikulum Berorientasi Pencapaian Tujuan ( 1975-1994) seperti CBSA. Kurikulum Berorientasi Kompetensi (2004-2013) seperti KBK, KTSP, dan KURTILAS, sudah pernah dibongkar pasang, dipraktekkan masuk ke dunia pendidikan kita.
Lantas jika yang dilakukan di level kebijakan ternyata demikian adanya, bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak pernah setia pada proses, tidak pernah mau sabar, selalu itu yang namanya kurikulum di gonta-ganti, di kutak-katik sedemikian rupa untuk kemudian mentah lagi di ujung jalan.
Maka bisa kita bayangkan wajah pendidikan kita ternyata masih kusam penuh coretan karna tidak pernah bisa percaya akan “inner beauty”-nya sendiri, copas kebijakan sana-sini, tiru sana tiru sini, tanpa pernah melihat bahwa kendaraan kita, motor itu, tidak pernah melaju maksimal karna kaca spion-nya tak ada.
Atau yang lebih mirisnya, mungkin dianggap tak pernah ada, dibatalkan fungsinya karena kurang apik dan indah tampilannya, secara estetis menganggu, ditambah iklim budaya patron plus feodal masih kental, maka tunduklah itu kendaraan pendidikan dihadapan kendaraan “canggih” macam politik praktis yang semakin menggila. Kurang ini kurang itu, bongkar-pasang busi, cat sini cat sana.
Di zaman Orde Lama yang kurikulumnya berorientasi MANIPOL USDEK, Orde Baru yang berorientasi Pembangunan (ada NKK-BKK) dan Masa Reformasi, yang secara konsep sudah cukup baik, tapi seakan tidak pernah berkaca pada sejarah, masih saja direcoki urusan politik praktis di level hulu yang sudah bisa dipastikan berimbas ditingkat hilir. Entah itu timing-nya yang serba mendadak, tiba-tiba muncul Keppres baru, distribusi buku yang acak-acakan, atau pelatihan guru yang tersusun tidak apik.
Kaca spion finlandia
Mari sekali lagi kita tengok kendaraan impor, yang tentu saja bukan untuk diikuti mentah-mentah, tapi diambil semangatnya, ke-istiqomahan-nya. Tentang bagaimana Finlandia berhasil menemukan inner beauty–nya, tentang kesetiaanya justru pada jalinan proses yang bersambung, yang selama kurang lebih 40 tahun lamanya, kendaraan mereka (berkaca spion tentunya) sudah sampai pada garis finish, untuk seterusnya bisa fokus di perlombaan yang lain (baca; negara maju).
Disana, untuk tiap bayi yang lahir kepada keluarganya, pemerintah wajib memberikan maternity package yang berisi 3 buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri.
Ini penting, karena orangtua sudah harus mengerti dan sadar betul bahwa pendidikan anak usia dini adalah tahapan paling krusial dalam pertumbuhan otak (90%) untuk selanjutnya berkembang maksimal sampai anak usia 7 tahun (85%).
Guru diberi kebebasan dalam implementasi kurikulum pemerintah. Mereka bebas berkreasi, tidak pusing dengan urusan administratif, tidak kerepotan dengan budaya berpakaian yang harus selalu seragam, lingkungan sekolah berlangsung dengan rileks, ujian sebagai alat evaluasi pun tidak menjadi momok, bahkan mereka secara konsisten sudah belajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, yang mana, secara otomatis membentuk karakter mandiri, belajar bertanggungjawab dan jujur sejak dari tingkat pendidikan paling dasar.
Apakah Cuma itu? Tentu saja tidak.
Ada beberapa kebijakan yang semuanya terpilin dalam satu ikatan waktu yang konsisten. Ya! Konsisten selama 40 tahun lamanya. Yang tak goyang oleh permainan politik praktis. Yang selalu belajar untuk menggunakan spion-nya dengan baik. Bukan pendidikan layaknya kendaraan bermotor yang habis dibongkar-pasang disebuah bengkel bernama Indonesah.
Hhmm..saya curiga ini bukan karena motornya, masalah justru ada dipenunggangnya.
Tabik Pendidikan!
Subhan Aisyi Atharizz