Semakin banyak wadah untuk meningkatkan kompetensi guru, maka makin baik dan makin kondusif bagi dunia pendidikan. Kehadiran organisasi guru penting artinya dalam menghimpun pemikiran dan kekuatan guru. Lebih lanjut, organisasi guru menjadi penting bukan hanya sebagai pihak yang hanya memprotes kebijakan pendidikan, tetapi justru mampu mengubah kebijakan pendidikan.
Independensi Organisasi Guru
Organisasi guru, atau perkumpulan guru yang ada di Indonesia saat ini dirasakan memiliki lubang-lubang atau kekurangan-kekurangan. Mayoritas kepengurusan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tingkat daerah dipimpin oleh para birokrat pemerintahan. Ada PGRI kabupaten atau kota yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas Pendidikan, bahkan ada yang dipimpin Sekertaris Daerah (Sekda) kabupaten atau kota. Kekhawatiran terbesar dari suatu organisasi/perkumpulan guru yan dipimpin oleh birokrat pemerintahan adalah: apakah dapat independen?
Independensi organisasi/perkumpulan guru sangat diperlukan, bahkan mutlak diperlukan. Hal itu diamanatkan oleh UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 41 ayat 1 tersurat “Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen”. Kita semua yang berasal dari kalangan pendidikan pasti paham. Ketika ada Pilkada Langsung, terutama tingkat provinsi, lebih kentara lagi ketika tingkat kabupaten/kota maka organisasi/perkumpulan guru akan selalu diseret dalam lingkup politik praktis. Dukung calon mana. Pro kemana.
Dengan jumlah massa yang sangat banyak, baik itu yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) , Guru Bantu (GB) maupun yang honorer. Juga tersebarnya guru di jenjang TK-PAUD-SD-SMP-SMA-SMK, maka suara guru, ketika Pemilu Legislatif, Pilpres, dan terutama sekali Pilkada, sangat diperhitungkan. Dan setau penulis, tidak ada profesi yang sedemikian dipolitisasi, sebagaimana profesi guru dipolitisasi.
Apakah guru boleh berpolitik? Tentu boleh. Apakah boleh menjadi simpatisan Partai Politik (Parpol) maupun calon independen? Tentu boleh. Walaupun untuk menjadi kader Parpol, perlu dilihat lagi aturannya di UU ASN bagi guru yang berstatus ASN. Hanya saja, dengan banyaknya tanggungjawab guru meliputi merumuskan perencanaan pembelajaran-strategi belajar-evaluasi pembelajaran-tindak lanjut pembelajaran, maka bukankah ditakutkan, kalau organisasi/perkumpulan guru memobilisasi anggotanya (baca: massa guru) untuk mengikuti sosialisasi atau “temu kangen” dengan calon maupun Parpol tertentu?
Organisasi Guru Pasca Reformasi
Setelah reformasi, dengan lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan diperkuat oleh UU GD yang terlahir kemudian, guru diwajibkan aktif dalam suatu wadah organisasi profesi yang tidak tunggal. Selain PGRI, yang merupakan satu-satunya organisasi/perkumpulan guru pada era Orde Baru, pasca reformasi muncul beberapa organisasi/perkumpulan guru.
Awalnya ada Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) yang didirikan pada 17 Januari 2002 perwakilan dari organisasi guru di sejumlah daerah berkumpul di Jakarta. Tugu Proklamasi menjadi saksi deklarasi Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). Kehadiran FGII sebagai bentuk perlawanan terhadap organisasi guru yang selama pemerintahan Orde Baru memobilisasi guru, PGRI.
Selanjutnya ada Ikatan Guru Indonesia (IGI). Cikal bakal IGI adalah Club Guru Indonesia yang berdiri tahun 2004. Lalu pada 2014, setelah ajakan dari pemerintah Club Guru Indonesia pun menjadi IGI. Ada juga Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Berdiri sekitar awal Januari 2011 yang dideklarasikan di kantor ICW Jakarta.
FGII, FSGI dan IGI
Penulis mencoba mengangkat profil 3 organisasi guru. Ketiganya bagus, dan ketiganya berperan penting bagi guru. Hanya mungkin penulis ingin mengangkat ciri masing-masing.
FGII berusaha melaksanakan segala apa yang diamanatkan dalam AD/ART FGII. Dalam advokasi pendidikan, FGII telah berperan dalam perlindungan hukum terhadap guru yang mengalami kasus baik pemecatan maupun perkara dengan pemerintah. kemudian pengkritisan terhadap kebijakan pendidikan, semisal soal Ujian Nasional (UN) dan advokasi terhadap peningkatan profesionalisme guru yang dilakukan dengan pelatihan HAM untuk Guru, seminar pendidikan, menerbitkan buletin “martabat”.
FGII konsisten menolak pelaksanaan UN untuk dijadikan standar kelulusan siswa dengan pertimbangan: Secara yuridis pelaksanaan UN bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Secara Sosiologis bahwa pelaksanaan UN telah menimbulkan budaya instan yang mengabaikan aspek evaluasi pendidikan secara komprehensif, yaitu evaluasi kognitif, afektif, dan psikomotorik. UN hanya mengukur satu aspek kognitif saja (selengkapnya baca skripsi Jalal Jalaludin: erakan Federasi Guru Indpenden Indonesia (FGII) Masa Reformasi 1999-2005).
FSGI dibidani oleh beberapa tokoh pendidikan dan aktivis LSM. Ada nama Ade Irawan (ICW), Lodewijk F. Paat (Koalisi Pendidikan) bersama saudaranya Jimmy Paat, ada beberapa aktivis LBH Jakarta seperti Nurcholis. Kemudian oleh beberapa guru yang vokal, diantaranya Retno Listyarti. Sekedar mengembalikan memori publik 5-6 tahun ke belakang. Sebagai guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Retno mengarang buku ajar PKn (SMA), ada redaksi di dalam buku tersebut tentang dissenting opinion putusan hakim terkait kasus korupsi Akbar Tanjung. Pihak Akbar Tanjung mensomasi dan menuntut secara perdata terhadap Retno dan Penerbit Erlangga.
Dari kasus ini nama Retno melejit dan dikenal publik. Secara psikologi politik peristiwa ini menjadi simbolisasi David versus Goliath. Tokoh besar negara vis a vis guru SMA. Dalam pesrpektif perang keadaan ini dikenal sebagai Asymmetric Warfare, perang yang tak sepadan. FSGI ditopang oleh para guru dan aktivis LSM yang vokal. Secara intelektualpun acap kali FSGI berdiskusi dengan Prof. H.A.R Tilaar, Utomo Dananjaya (Direktur IER Univ. Paramadina), aktivis ICW dan LSM Koalisi Pendidikan. Saya melihat beberapa tokoh inilah yang menjadi ideolog-ideolog di balik layar FSGI.
IGI berangkat dari kegelisahan tentang pentingnya kompetensi guru. Peran guru sebagai pendidik sebegitu vitalnya, sehingga apabila guru kurang berkompetensi, maka akan menambah akut masalah pendidikan. IGI didirikan oleh Satria Dharma, seorang aktivis pendidikan dari Balikpapan-Kalimantan Timur. IGI fokus pada mengurusi kompetensi guru. Walau demikian IGI akan turun membela kepentingan guru apabila diperlukan. Sebagaimana kasus yang heboh pada bulan Agustus 2016, yaitu pemukulan guru Dasrul di SMKN 2 Makassar, dimana Dasrul dikeroyok oleh Siswa beserta ayahnya. Pada peristiwa itu, IGI yang pertama kali melakukan pendampingan kepada guru Dasrul.
IGI acap kali mengadakan kegiatan pelatihan guru-guru, lokakarya, workshop, dan beragam aktivitas dalam rangka peningkatan kualitas para guru. IGI juga sudah melebarkan sayap organisasinya di beberapa provinsi dan kabupaten. Saat ini IGI fokus pada program-program forum ilmuah dan IGI Publishing. IGI juga aktif menggunakan berbagai pendekatan terhadap stakeholder pendidikan untuk kemajuan pendidikan serta mengembangkan perangkat-perangkat pembelajaran bagi guru mata pelajaran dengan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan seperti Samsung dan Casio.
Ahmad Muttaqin