Seorang Mahatma Gandhi memiliki ketegaran dalam mengejar ‘kebenaran spiritual’. Ia merupakan orang yang selanjutnya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi Kerajaan Inggris. Bahkan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill sendiri, yang pernah menyebut Gandhi sebagai “pengemis telanjang”, tidak mampu menangkap kedalaman wibawa moral dari Gandhi.
Peran Ibu
Mahatma Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869, ia hadir dalam kehangatan keluarga besar. Sebagai keluarga Hindu yang ortodoks, keluarga besar Gandhi tinggal bersama-sama dalam satu rumah.
Peran Ibu sangat besar dalam masa kecilnya. Ibulah yang mengajari tidak makan daging, melatihnya berpuasa secara teratur, menjalani hidup bersuh dan penyucian diri, menghormati sumpah, dan yang terpenting meyakini ahimsa: prinsip tidak mencederai mahluk hidup. Selain itu, Gandhi juga melatih dirinya untuk memiliki sifat sabar, mengasah keluhuran budi, melatih kemampuan diplomasi dan terus meningkatkan kemampuan sebagai manusia.
Sesuai adat masa itu, usia 13 tahun Gandhi dinikahkan. Tapi Gandhi tidak berhenti sekolah, bahkan akhirnya ia memutuskan untuk bersekolah di Inggris. Masalahnya, mana mungkin sang Ibu setuju? Mengarungi lautan ke luar negeri itu dilarang oleh agama, terutama penganut Hindu ortodoks (tulisan D.Chandramouli dalam majalah Intisari, edisi September 2009). Gandhi akan pergi begitu lama dan begitu jauh. Namun beruntung, akhirnya Ibu menyerah pada desakan teman-teman dan sanak saudara. Gandhi boleh berangkat, asalkan ia harus bersumpah akan hidup tanpa makan daging, menjauhi minuman keras dan perempuan.
Demikianlah, pada usia 19 tahun Gandhi berlayar ke London untuk belajar ilmu hukum. Pada tahun 1891, pendidikan tiga tahunnya selesai, ia siap buka praktik hukum di tanah airnya. Juga pulang kepada Ibu. Tanpa membuang waktu, keesokan harinya ia segera berlayar pulang. Ia belum menyadari bahwa ketika itu ibunda tercinta telah tiada. Gandhi baru diberitahu ketika ia telah menginjakkan kaki di India.
Dari Afrika Selatan ke Indian National Congress
Tahun 1893, Gandhi mendapat penugasan selama setahun di Afrika Selatan, yang waktu itu masih jajahan Inggris juga. Di sana ia mendaftarkan diri sebagai pengacara di Pengadilan Tinggi.

Di Afrika Selatan Gandhi bersiap diri. Awalnya ia menggerakkan pembangkangan sipil karena melihat penderitaan orang India yang menjadi korban diskriminasi ras. Akibatnya ia juga mulai berkenalan dengan penjara, dibui sampai dua kali.
Masa penggemblengan di Afrika Selatan berlangsung 21 tahun. Di sana ia belajar dan melatih kepemimpinannya di dunia politik. Di sana konsep satyagraha (bertahan pada kebenaran) yang ia kemukakan terbangun. Gandhi menulis, “Aliran non-kekerasan yang saya anut adalah aliran yang sangat aktif dan hidup. Tak ada ruang untuk manusia pengecut atau manusia loyo.”
Komitmen Gandhi pada ‘kebenaran spiritual’ membawanya mengucap sumpah brahmacharya pada tahun 1906, ketika usianya menginjak 37 tahun. Dalam sumpah tersebut, Gandhi bersumpah untu hidup dalam kemiskinan, selibat, dan pantang makan daging.
Pada 1915 Gandhi pulang ke India, pada saat itu ia berusia 46 tahun. Reputasi dan sepak terjangnya yang berani di Afrika Selatan sudah tersiar sampai ke India. Empat tahun kemudian, Partai Indian National Congress mengundangnya untuk menjadi pemimpin partai yang memperjuangkan kesejahteraan orang India itu.
Gandhi mengawali gerakan penentangan terhadap penjajahan Inggris dengan melakukan perlawanan non-kooperatif yang bersifat pasif. Perlawanan pasif termasuk memboikot produk-produk buatan Inggris, sejarawan mengenalnya dengan istilah swadesi.
Tahun 1930, sebagai protes terhadap pajak atas garam, Gandhi memimpin ribuan orang India berjalan sejauh 320 Km ke pantai untuk membuat garam sendiri. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebagai “Dandi March” atau “Salt Satyagraha”.
Peristiwa Perang Dunia II yang akhirnya memenangkan pihak Sekutu, membawa dampak pada India. Pemerintahan Inggris yang baru saja terpilih memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada India. Hanya saja, syarat Inggris adalah bahwa India harus dibagi dua: India (untuk mayoritas Hindu), dan Pakistan (untuk mayoritas Islam). Dalam proses pemisahan pecah kerusuhan-kerusuhan parah di daerah perbatasan. Gandhi – yang menolak untuk duduk dalam pemerintahan India yang merdeka – menyadari bahwa dalam menghadapi kerusuhan-kerusuhan itu, konsepnya mengenai ahimsa sekali lagi diuji.
Gandhi kemudian menjalani puasa sampai mati demi menghentikan pertumpahan darah antara India dan Pakistan. Aksi yang didasari sifat belas kasih itu berhasil membujuk kedua negara yang baru berpisah tersebut untuk menghentikan aksi kekerasan.
Pada 30 Januari 1948 – dua belas hari setelah berhenti puasa – Gandhi tewas ditembak oleh Nathuram Godse yang merupakan Hindu fanatik penentang pembagian India menjadi India-Pakistan. Gandhi tewas ketika sedang dalam perjalanan menuju pertemuan doa. Tragis, bagaimana orang yang berjuang untuk orang-orang India secara ahimsa, kemudian hidupnya berakhir lewat butir peluru.
(A.M.)