Nama kecilnya dalam bahasa bugis terdiri dari beberapa bagian, pertama Retna Kencana, kemudian Colliq Pujié yang berarti Pucuk yang Terpuji. Setelah dewasa bergelar Arung Pancana Toa atau Raja Pancana Tua. Dalam Buku La Galigo terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia nama Rétna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa ditulis sebagai penyalin dan penyusun buku tersebut.
Colliq Pujié Menurut B.F. Matthes
Colliq Pujié adalah putri dari Raja Tanété, La Rumpang Mégga, Datu Mario ri Wawo, Matinroé ri Mutiara. Latar belakangnya diketahui berasal dari pengalaman Benjamin Frederik Matthes, seorang misionaris Belanda yang diminta Nederlandsch Bijbelgenootschap untuk melakukan penelitian ilmiah mengenai bahasa Bugis dan bahasa Makassar dalam rangka menerjemahkan alkitab.
Tiba di pelabuhan Makassar pada tanggal 20 Desember 1848 sambil menjalankan tugas meneliti bahasa Makassar, Matthes juga mengumpulkan naskah-naskah Bugis termasuk La Galigo – karya sastra dari tanah Bugis yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of The World. Penelitian tentang sastra kuno Bugis tersebut yang kemudian membawanya berjumpa dengan Colliq Pujié ketika berkunjung ke Tanété.
Ketika tinggal di Makassar Colliq Pujié menjadi narasumber, asisten, sekaligus guru bahasa bagi Matthes. Matthes menyebutnya sebagai wanita cerdas berpengetahuan sastra, selain menulis segala surat penting ayahnya, Ia juga memahami bahasa kedaton Bône, termasuk juga bahasa dalam teks kuno La Galigo. Pujian diberikan Matthes kepada perempuan berdarah bangsawan itu karena pengetahuannya tentang bahasa dan sastra, terutama kala membantunya menyalin dan menyusun naskah La Galigo.
Meninggalkan Gelar Bangsawan
Tempat dan tanggal lahir Colliq Pujié tidak diketahui. Namun dalam perkiraan Matthes pada pertemuan pertama mereka ditahun 1852, Colliq Pujié diperkirakan berumur 40 tahun.
Colliq Pujié memiliki tiga orang anak, satu lelaki dan dua perempuan, hasil penikahannya dengan La Tanampareq, To Apatorang, Arung Ujung. Pada 6 November 1827, ia dilantik sebagai Arung pancana, namun karena mendapat ancaman dari La Patauq, gelar itu ia tinggalkan pada tahun 1835.
Pada tahun 1855, La Rumpang Mégga, ayahnya meninggal dunia. Pewaris tahta Tanété seharusnya anak lelaki Colliq Pujié, La Makkawaru, namun karena perilakunya sebagai pemadat dan penjudi tidak disukai kakeknya, maka ditetapkan Wé Tenriollé anak perempuan Colliq Pujié sebagai Datu Tanété.
Akibat pertengkaran dengan anak kandungnya, Wé Tenriollé, pada bulan Maret 1857 Colliq Pujié keluar dari Tanété. Ia diminta Pemerintah Belanda untuk tinggal di kota Makassar. Di Makassar, ia hidup dengan tunjangan pemerintah daerah yang terdiri dari 20 gulden dan 2 pikul beras selama sebulan. Namun Colliq Pujié tidak dapat menjalankan hidup dengan tunjangan tersebut, sehingga membuatnya kemudian harus berhutang dan menjual beberapa harta benda perhiasan. Colliq Pujié berusaha meminta pemerintah Belanda melalui Sekretaris Gubernur agar diizinkan tinggal di sebelah utara kota Makassar atau disebuah pulau, namun permintaan itu ditolak. Ia tidak diizinkan tinggal di tempat lain.
Sebenarnya pada September 1867, Arung Pancana mendapat izin dari pemerintah Belanda untuk kembali ke Tanété, namun karena terjadi pertengkaran lagi dengan keluarganya, ia kembali harus meninggalkan Tanété.
La Galigo bukan satu-satunya naskah karangan Aroe-Pantjana, ada beberapa karya lainnya seperti Hikayat Bayan Budiman – berperan sebagai sumber saduran, Sejarah Tanété, Latoa atau kumpulan ucapan dan petuah raja-raja, hingga Sureq Baweng syair indah yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis.
Rétna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa meninggal dunia pada tanggal 11 November 1876, dimakamkan ditempat ia dibesarkan, Lamuru (sekarang di Kabupaten Bone), tempat tinggal anak perempuannya I Gading. Setelah wafat Colliq Pujié bergelar anumerta Matinroé ri Tucaé atau yang tidur di Tucaé. (DC)
Sumber :
La Galigo : Menurut Naskah NBG 188, jilid I (2017). Yayasan Pustaka Obor Indonesia