Pada Ahad, 3 Juni 2018 merupakan hari terakhir pameran “Namaku Pram: Catatan dan Arsip” yang diadakan di art-space Dia.Lo.Gue, di Jl. Kemang Selatan, Jakarta. Pameran Namaku Pram memperlihatkan sisi lain dari seorang Pramoedya Ananta Toer dalam kesehariannya, tidak hanya sebagai seorang penulis, namun juga seorang ayah dan seorang manusia.

Memilih Jalan Sastra
Bangsa Indonesia mungkin belum sepenuhnya mengetahui bahwa dibalik karya paling penting Pramoedya, yaitu Tetralogi Pulau Buru (terdiri dari 4 roman: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), maupun catatan-catatan sejarah pembentukan Republik Indonesia (RI) seperti dalam buku sejarah Kronik Revolusi Indonesia, ada sisi lain dari Pramoedya yang belum diketahui oleh banyak orang. Melalui arsip-arsip catatan, foto-foto, buku catatan harian, serta koleksi benda-benda pribadi Pramoedya, pameran yang diselenggarang oleh Titimangsa Foundation dan didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ingin menampilkan Pramoedya yang seorang pencatat yang rajin dan konsisten mendokumentasikan berbagai peristiwa di tanah air.
Melalui display yang dipajang pada dinding art-space Dia.Lo.Gue., para pengunjung pameran memperoleh informasi tentang perjalanan hidup Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disebut Bung Pram). Bung Pram lahir di Blora, Jawa Timur, pada tahun 1925. Pada 1942, ketika umurnya 17 tahun dan setelah ibunya meninggal, Bung Pram meniggalkan Blora menuju Jakarta. Ia kemudian bekerja di kantor berita Domei milik Jepang.
Bung Pram mencoba kembali memasuki dunia sekolah melalui Taman Siswa, namun lembaga pendidikan tersebut dibubarkan oleh Jepang. Kemudian ia menyambung belajar pada sekolah Stenografi Tjou Sangiin, dan ia pun terpilih menjadi pegawai Domei pada 1944. Pada bulan Mei 1945 Bung Pram lulus dari Stenografi Tjou Sangiin.
Ketika Soekarno dan M.Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, Bung Pram tergerak hatinya dan kemudian masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ia pun ikut bergerilya bersama tentara Indonesia. Pada 1947 Bung Pram kemudian keluar dari tentara dan memulai karir kesusastraannya secara ‘profesional’, ia mulai bekerja sebagai redaktur majalah Sadar sebentar, lalu kemudian pindah bekerja ke Balai Pustaka, dimana ia kemudian akrab dengan H.B.Jassin.
Bung Pram pada saat bekerja di Balai Pustaka selalu memproduksi tulisan-tulisan yang bernada provokatif dan mengandung unsur-unsur perlawanan terhadap Belanda. Dan karena tulisan-tulisannya itulah, kemudian orang-orang Belanda memburu dan menangkap Pram. Pada tanggal 22 juli 1947 dengan tuduhan menyimpan dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Ia kemudian di jatuhi hukuman penjara dan kemudian dipenjarakan di Pulau Edam dan kemudian dipindahkan ke penjara di daerah Bukit Duri hingga tahun 1949 dan selama masa penahanannya tersebut, ia lebih banyak menulis buku dan cerpen.
Saat ditahan oleh Belanda, Bung Pram menghasilkan karya “Kranji – Bekasi Jatuh” (1947), suatu fragmen (cuplikan) dari roman Di Tepi Kali Bekasi. Lalu ia juga menulis karya penting “Perburuan”. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia kembali, pada 1950 “Perburuan” memenangi sayembara roman Balai Pustaka dan kemudian diterbitkan oleh institusi itu.

Masih melalui display yang terpampang, pengunjung dapat melihat sekilas cerita hidup Bung Pram yang pada 1953-1954 mengikuti program pertukaran sastrawan Indonesia-Belanda melalui Stichtung voor Culturele Samenwerking (Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda-Indonesia). Hanya sayang saja bagi saya, pada bagian ruangan yang menampilkan display sekilas kronologi hidup Bung Pram – yang juga digabung dengan koleksi-koleksi pribadi Bung Pram berupa surat dan arsip-arsip – kami selaku pengunjung dilarang untuk mengambil foto maupun video. Saya memaklumi bahwa banyak arsip, foto, maupun surat merupakan koleksi pribadi Bung Pram yang sangat langka, berharga dan otentik. Seandainya diperbolehkan mengambil gambar maupun video, mungkin tulisan saya ini akan lebih panjang dan detail.
Masuk Pusaran Politik
Bung Pram menikah pertama kali dengan Arfah Ilyas pada 1950. Lalu setelah Bung Pram kerap dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, mereka kemudian bercerai. Dari kepahitan-kepahitan itu, ia menghasilkan karya “Bukan Pasar Malam” (1951) yang menceritakan tentang pejuang kemerdekaan yang ‘terasing’ ketika kembali ke keluarganya, lalu “Dia yang Menyerah” (1951). Bung Pram kemudian menikah dengan Maemunah Thamrin, keponakan dari pahlawan nasional M.H. Thamrin, pada 1955.
Sesuatu yang unik menurut saya dan ditampilkan dalam display, pada tahun 1956 Bung Pram sempat mendapatkan surat penghargaan dari Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD). A.H.Nasution sebagai KSAD saat itu memberikan penghargaan atas dukungan Bung Pram yang percaya pada konsep negara kesatuan disaat konflik akibat pemberontakkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Bung Pram menunjukkan dirinya seorang nasionalis tulen – dan juga sekaligus – pendukung Presiden Soekarno.
Bung Pram kemudian didekati oleh kelompok Kiri. Dalam Kongres Nasional Lekra pada Januari 1959, Bung Pram diangkat sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra. Sebagaimana kita tahu, Lekra merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI sebagai kekuatan politik yang dominan karena kedekatan dan dukungannya terhadap Front Nasional bikinan Soekarno, dan Lekra sebagai sayap kebudayaannya, saat itu kerap menyerang lawan-lawan politiknya. Pram sendiri, meski aktif di lembaran “Lentera” surat kabar Bintang Timur milik Partindo (Partindo asalnya merupakan kelanjutan dari Partai Nasional Indonesia ketika Soekarno ditahan Belanda, 1930), tak kalah garang menggayang orang.
Ketika peristiwa G/30/S meletus, Bung Pram terkena dampaknya. Sepanjang tahun 1965-1979 ia menjadi tahanan politik di Pulau Buru.
Hidup Bung Pram adalah Bekerja
Dalam salah satu manuskrip yang dipamerkan, terdapat buku catatan Bung Pram selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Dalam buku catatan itu terdapat foto hitam putih dilengkapi dengan keterangan tulisan tangan. Sangat sederhana namun otentik. Saya meminta anak pertama saya yang berumur 7 tahun untuk membaca salah satu kalimat di buku catatan itu, ia membaca “kami sedang berusaha membantu masak ‘muka Jawa’ di dapur untuk sarapan. Kami bertiga yang semalam bermalam di kampungnya.”
Rasanya cukup menakjubkan dapat membaca dan menyelami alam pikiran Bung Pram di Pulau Buru. Bung Pram seperti menolak untuk ‘kalah seluruhnya’ dari tekanan politik pemerintahan Orde Baru yang menahannya.
Ketika bebas pada tahun 1979 karya-karya Bung Pram tersebar ke banyak negara. Simpati warga dunia mengalir. Pada 19 Juli 1995, ia diberi Anugerah Magsaysay oleh Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina dalam bidang jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kreatif. Saya melihat medali Ramon Magsaysay merupakan salah satu benda yang ‘spesial’ diantara benda-benda pribadi Bung Pram yang lain.

Penerbitan Tetralogi Pulau Buru memang dilarang oleh pemerintahan Orde Baru, namun karya-karya terebut tetap diterbitkan di luar negeri. Keempat buku itu juga diterjemahkan dalam puluhan bahas asing.
Pada dekade 1990-an dan 2000-an Bung Pram juga masih menghasilkan karya lain, seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2 (1997), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), Jalan Raya Pos Jalan Daendels (2005).
Dalam ingatan kawan-kawan dekatnya, kiprah Bung Pram secara sederhana dikategorikan sebagai seorang pekerja. Kalau dikutip dalam kata-kata di art-shop Dia.Lo.Gue, mereka berkata “Bekerja adalah Pram. Pram adalah bekerja. Bekerja untuk bangsa, bekerja untuk kebebasan, bekerja untuk kemanusiaan.”
Ahmad Muttaqin