Dalam era globalisasi saat ini, kebutuhan terhadap model pendidikan yang berkualitas tentu semakin vital bagi masyarakat. Sehingga upaya peningkatan mutu kualitas pendidikan merupakan suatu hal yang wajib dioptimalkan oleh segenap stakeholder dunia pendidikan, mulai dari pemerintah dengan segenap instansi terkait hingga guru yang bertanggung jawab langsung dalam praktek transfer of knowledge disekolah.
Dewantara.id, Jakarta – Apalagi jika mengingat Indonesia yang juga akan menikmati bonus demografi usia produktif beberapa tahun mendatang. Maka sudah menjadi kebutuhan bersama untuk mengawal dan menjalankan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV) sehingga bisa dengan baik diterapkan.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas pendidikan yang dimaksud adalah dengan melakukan penyempurnaan praktek kurikulum secara simultan yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik pada pola kegiatan pembelajaran yang sehari-hari dilakukan di ruang kelas ataupun lingkungan sekolah. Pola pembelajaran dimana peserta didik bertindak sebagai subjek (berperan aktif) dan bukan objek (pasif sebagai penerima saja) dari proses pembelajaran.
Seorang pendidik pun seyogyanya berperan aktif tidak hanya sebagai fasilitator saja tetapi lebih dari itu, dapat mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk mau bergerak, berusaha mengeluarkan kemampuan terbaik serta bisa secara sadar, pada akhirnya mengetahui potensi minat terpendam mereka, tentu ini tidak mudah namun dengan model pendekatan pembelajaran yan bertumpu pada komunikasi dua arah, pada prosesnya kita bisa mengetahui dengan baik kebutuhan dan kekurangan tiap-tiap peserta didik yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi tiap individu peserta didik.
Proses selanjutnya, tentu saja akan muncul secara signifikan diferensiasi dari para peserta didik dengan beragam faktor dan variabel yang mengikuti. Yang nantinya, justru berguna sebagai landasan awal dalam proses kegiatan pelayanan pendidikan. Dengan model yang demikian maka bukan hanya sekolah umum saja yang dapat menerapkannya, level pranata pendidikan pada tingkat pelayanan untuk penyandang disabilitas (berkebutuhan khusus) pun seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) sangat bisa dilakukan. Tentu saja dengan skala yang lebih khusus dan intens.
Dalam menyusun rancangan program pembelajaran yang sesuai dengan peserta didik berkebutuhan khusus, diperlukan pendekatan yang juga khusus. Untuk itu maka, pendidik harus mampu mengetahui kecenderungan cara belajar, kelebihan dan juga hambatan para peserta didik untuk kemudian bisa dipetakan bentuk karakteristik pemberian pelayanan khusus dari masing-masing Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Agar dapat berjalan dengan ideal, maka perlu dilakukan tahapan yang biasanya disebut sebagai asesmen.
***
Secara umum, asesmen dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan informasi yang valid untuk menjadi dasar pengambilan keputusan tentang program kurikulum yang akan diterapkan kepada peserta didik. Dengan demikian, fungsi asesmen juga dapat digunakan pula untuk mencari informasi tentang sejauh mana hasil belajar atau pencapaian kompetensi peserta didik ABK. Proses ini sangat penting mengingat jika terjadi kekeliruan informasi maka akan berdampak terhadap pola penanganan yang keliru. Ibarat dokter yang salah dalam mendiagnosa penyakit pasien sehingga menimbulkan dampak turunan yang tentu saja sangat merugikan si pasien.
Data yang tidak valid tersebut tentu saja berdampak negatif bukan hanya secara kognitif tetapi juga mental psikologis si anak. Ujungnya, tanpa sadar sekolah terjerumus dalam bentuk labeling yang seharusnya tidak terjadi dalam dunia pendidikan.
Dalam pandangan Piaget (1969) pembelajaran yang tidak sesuai dengan perkembangan kognitif anak memiliki konsekuensi negatif bagi perkembangan aspek psikologis.
Jadi, bisa dibayangkan bukan? jika kesalahan informasi lewat proses asesmen terjadi, maka akan membuat proses pendidikan justru menjadi kontra produktif. Oleh karenanya dalam pelayanan anak berkebutuhan khusus, penekanan kepada layanan secara individual merupakan bentuk ideal yang bisa dilakukan. Ini semata-mata bertujuan agar sekolah nantinya bisa secara signifikan mendorong perkembangan potensi anak berkebutuhan khusus baik itu secara kognitif, psikomotor dan juga afektif.
Pun asesmen dapat pula dipandang sebagai upaya yang sistematis untuk mengetahui karakteristik dari kemampuan, kelebihan, kesulitan atau hambatan, serta kebutuhan yang spesifik lainnya dari tiap peserta didik pada bidang tertentu. Nantinya, data hasil asesmen tersebut dapat pula dijadikan sebagai bahan penunjang yang sangat penting untuk menyusun program pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus secara lebih komprehensif.
Apalagi saat ini, tiap sekolah dihimbau untuk tidak menolak anak berkebutuhan khusus dalam Proses Penerimaan Siswa Baru (PPDB), sehingga kebutuhan asesmen idealnya juga menjadi kompetensi lebih lanjut bagi setiap pendidik, khususnya (bilamana diperlukan) untuk melakukan upaya intervensi kepada anak yang sudah secara signifikan diidentifikasi masuk kedalam ranah anak berkebutuhan khusus. Berikutnya, hasil asesmen tersebut, bisa digunakan lebih lanjut dalam proses pembuatan Program Pembelajaran Individual (PPI).
***
Program Pendidikan Individual ini memang salah satu layanan spesifik yang digunakan untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Pengertian dari PPI itu sendiri adalah sebuah rencana program pembelajaran yang merujuk pada kemampuan dan kebutuhan individu peserta didik. PPI juga bisa dijadikan solusi untuk membantu peserta didik yang bermasalah dalam belajarnya karena berbagai keterbatasan.
Sesuai dengan definisinya, PPI menjadikan peserta didik menjadi poros dalam pelaksanaan program sehingga PPI ini mempunyai sifat yang adaptif, lebih sensitif terhadap perubahan maupun kemajuan bahkan kemunduran peserta didik berkebutuhan khusus.
***
Jika mau jujur, cukup banyak persepsi yang berkembang di masyarakat yang memandang bahwa disabilitas hanya dilihat sebagai isu rehabilitasi sosial semata, yang parahnya diamini pula oleh pemerintah karena dalam implementasinya hanya ditangani oleh Kementerian Sosial saja.
Patut kita syukuri bahwa payung hukum memang sudah tersedia yaitu Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas). Namun sangat disayangkan sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai juknis (baca: Peraturan Pemerintah) terkait implementasi dari amanat undang-undang tersebut. hal ini jika dibiarkan akan menimbulkan potensi prasangka minor bahwa seolah-olah keberpihakan pemerintah terhadap para Penyandang Disabilitas ini masih setengah hati.
Pada akhirnya, tulisan ini mengajak kita semua, khususnya pada level pemerintah dan lembaga penyelenggara pendidikan dilapangan untuk tidak menomor-duakan, menganggap sebelah mata, bersikap acuh terhadap proses pendidikan dari para anak penyandang disabilitas. Karna seperti yang kita ketahui bersama, selalu ada potensi lebih dari mereka yang bisa jadi justru menjadi faktor penentu sekaligus tolak ukur kemajuan kita sebagai masyarakat ataupun orang per orang yang mengaku diri beradab (civilized).
Education for all children. Give opportunity. Change a life.
Muhamad Zulkarnain