(Bagian Pertama tulisan tentang Mohammad Hatta Sang Proklamator)
Belajar di negeri penjajah justru membangkitkan kesadaran bahwa tanpa sebuah generasi yang rela terjun memperjuangkan nasib bangsanya, mustahil rakyat akan memperoleh kemerdekaan. Hatta memutuskan menjadi generasi yang sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan.
Aktivis Mahasiswa Corong “Indonesia”
Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia lahir dari seorang ibu bernama Siti Saleha dan memiliki ayahanda bernama Muhammad Djamil. Ia juga dibesarkan dalam lingkungan yang agamis. Kakeknya merupakan ulama terpandang dan mendirikan sebuah surau di Batuhampar.
Hatta belajar di Europese Largere School (ELS) di Bukit Tinggi, lalu kemudian melanjutkan ke Meer Uigebereid Lagere School (MULO) di Padang. Pada 3 Agustus 1921 ia memulai perjalanan panjang ke negeri Belanda dengan menumpang kapal “Tambora” milik Rotterdamse Lloyd dengan membawa sejuta harapan setelah tamat dari Prins Hendrik Handels School di Batavia. Ia menghabiskan perjalanannya selama satu bulan. Tanggal 5 September kapal yang ia tumpangi merapat ke Pelabuhan Rotterdam. Di kota itu perjalanan sejarah Hatta dimulai, ketika ia secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa di Handelshoge School, Sekolah Tinggi Dagang.
Sebagai seorang mahasiswa, Hatta sadar betul bahwa sebagian tanggungjawab untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan ada di pundaknya, dan di Belanda ikhtiar ke arah itu tengah dilakukan oleh rekan-rekan yang lebih dulu sampai. Mereka telah membentuk wadah perjuangan melalui jalur politik, Indische Vereenigning. Organisasi Indische Nereeningning sendiri sudah didirikan sejak 1908.
Pada bulan Februari 1922, Indische Vereenigning mengadakan rapat untuk memilih pengurus baru. Selain mengganti pegurus, ternyata peserta rapat juga sepakat untuk mengganti nama organisasi tersebut menjadi Indonesische Vereenigning (Bung Hatta: Proklamator Sederhana Nyaris Jadi Ulama; tulisan Purnawan Basundoro di Majalah Intisari edisi Juli 2009). Penggantian nama dapat dimaknai bahwa gagasan tentang sebuah bangsa yang konkrit telah tumbuh di kalangan intelektual Indonesia yang sedang menimba ilmu di Belanda, termasuk di benak Hatta.
Sejak kehadiran Hatta di Belanda, ia secara sadar memasuki Indische Vereenigning. Ia berharap dengan bergabung ke dalam organisasi tersebut mental politiknya terbentuk. Dan Hatta benar, Perhimpunan Indonesia telah mengantarkannya ke panggung yang lebih luas, bukan hanya di Belanda tetapi di tingkat internasional.
Pada 8 Februari 1925 nama Indonesische Vereenigning dirubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi itu juga makin telibat dalam masalah-masalah politik. Pemimpin-pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diasingkan, antara lain Semaun dan Tan Malaka, berpidato pada rapat-rapatnya dan organisasi tersebut bergerak ke arah radikal (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004; M.C.Ricklefs, 2008, h.380). Setahun kemudian, pada 1926, Hatta aktif terlibat menjadi pengurus PI sampai akhirnya terpiih menjadi ketua.
Sikap PI semakin keras terhadap pemerintah Belanda. Organisasi tersebut dianggap melakukan penentangan terhadap kekuasaan Belanda terhadap tanah jajahan Hindia Belanda. Orang tua para anggota PI diancam oleh pemerintahan jajahan, karena membarkan anaknya menjadi anggota PI atau mereka sendiri keluar dari jabatan negara, jika yang bersangkutan seorang pegawai negeri.
Hatta mulai aktif mempropagandakan Indonesia ke berbagai kawasan di Eropa. Didalam berbagai kesempatan ia menuntut penggunaan kata “indonesia” bukan “hindia belanda”. Berbagai kongres ia hadiri, terutama yang berkaitan dengan gerakan anti-kolonialisme, sampai akhirnya sepulang menghadiri konfrensi Liga Internasional Wanita yang diselenggarakan di Swiss, Hatta beserta 3 rekannya ditangkap polisi Belanda.
Pengadilan Belanda dan Pembelaan Soekarno
Hatta kemudian dituduh menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Saat ditangkap pada bulan September 1927, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Majid Djojo Hadiningrat, dan Muhammad Nasir Datuk Pamuntjak ditangkap dengan tuduhan menganjurkan dilakukannya perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Belanda di Indonesia (Ricklefs,h.380-381). Mereka dipenjara selama 5 bulan sebelum kemudian disidangkan pada bulan Maret 1928.
Hatta memanfaatkan pidato pembelaannya untuk melontarkan kecaman yang meyakinkan terhadap kekuasaan Belanda dan pembenaran atas nasionalisme Indonesia. Tiada suatu tanda kelemahan yang nampak dalam kata-kata pembelaannya. Hatta menolak didampingi pengacara, ia melakukan sendiri pembelaan oleh dirinya sendiri. Tiada suatu kelemahan yang terdengar maupun terbaca dalam pembelaan di depan hakim pengadilan.
Di Indonesia, tokoh pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Soekarno, memberikan pembelaan. Soekarno menilai Hatta lalu menulis “teguh, yakin, dan teranglah sikap dan perkataan-perkataan Mohammad Hatta, terang dalam cara mengatakannya, terang pula di dalam caranya mengupas dan membeberkan keadaan-keadaan dan soal-soal yang ia kemukakan”. Lebih lanjut, dalam tulisannya yang berjudul Pemandangan dan Pengajaran di Suluh Indonesia Muda tahun 1928 (Di Bawah Bendera Revolusi; Soekarno, 1965,h.63-64), Soekarno menguraikan :
“dan dimana ia mengemukakan, bahwa “Perhimpunan Indonesia” ialah tidak pernah mengharap-harapkan kekerasan senjata, melainkan hanya membicarakan kekerasan itu saja; dimana ia menunjukkan adanya pertentangan antara kepentingan negeri Belanda dengan segenap kekuatannya ada memegang teguh akan Indonesia, sedang Indonesia sebaliknya menuntut kemerdekaannya; diamana ia mengajukan keyakinannya, bahwa pertentangan ini hanyalah dapat disudahi dengan kekerasan, sebagaimana yang diduga sudah dinyatakan oleh anggota Kamer, dan sebagaimana memang sudah menjadi hukum besi didalam riwayat; dimana ia memperingatkan, bahwa dari kaum kuasa sendirilah tergantung sifat penyudahannya pertentangan ini: dengan jalan damai atau dengan tumpahnya darah dan jatuhnya air mata.”
Sidang di pengadilan pada akhirnya memutuskan bahwa tuduhan terhadap Hatta dan rekan-rekannya tidak dapat dibuktikan. Mereka berempat lalu dibebaskan.
Sebelas tahun lamanya Hatta menempuh pendidikan di Belanda. Tanggal 5 Juli 1932 ia dinyatakan lulus sebagai sarjana ekonomi. Waktu studinya demikian panjang lantara aktivitas ia di dunia pergerakan. Seminggu setelah dinyatakan lulus ia kembali ke tanah air. Selain gelar sarjana, oleh-oleh lain yang amat penting adalah 16 peti besi berisi buku. Hatta adalah seorang kutu buku dan pecinta buku.
Pada bulan September 1932, Hatta berjumpa Soekarno untuk pertama kalinya. Sejak itu, keduanya seperti dipertautkan Yang Maha Kuasa, berjuang bersama membala tanah air.
Ahmad Muttaqin