Dewantara – Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, kemudian kita mengenal aktivis pergerakan nasional Indonesia itu sebagai Ki Hadjar Dewantara. Lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai darah biru (baca: bangsawan) maka berdasarkan peraturan politik etis yang dimulai pada tahun 1900, ia berhak memperoleh pendidikan formal sebagaimana yang didapat anak-anak bangsa Eropa.
Menjadi Jurnalis Anti Kolonial
Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa atau Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.
Lahir di dekade akhir abad ke-19 lalu kemudian menjadi remaja pada awal abad ke-20, Suwardi Suryaningrat kemudian merasakan gerak zaman pada abad ke-20 itu di bumi Hindia (Baca: Hindia Belanda). Sebagai bagian dari sangat sedikit pribumi yang dapat sekolah formal, Suwardi Suryaningrat menangkap gerak zaman – terutama politik – pada tahun 1910-an yang sudah diwarnai majalah dan koran. Sudah mulai ada gerakan boikot, pemogokan kaum buruh. Suatu cara-cara yang belum pernah ada di era kerajaan-kerajaan Islam di nusantara sampai pada era kedatangan Vereening Oost Indische Compagnie (VOC). Suwardi Suryaningrat cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial.
Pada tahun 1910-an dan 1920-an di Hindia Belanda, menerbitkan koran dan majalah selalu rugi. Koran diterbitkan sebagai bagian dari organ atau alat perkumpulan (wawancara dengan Takashi Shiraishi, dalam (ed.) Baskara T. Wardaya: 2001). Umpamanya Sarekat Islam cabang Surabaya menerbitkan Oetoesan Hindia dan Sarekat Islam cabang Semarang menerbitkan Sinar Hindia. Semua organisasi pergerakan yang berpengaruh, dengan kemampuan finansial mereka masing-masing akan menerbitkan korannya sendiri supaya pemikiran mereka keluar dan diperhatikan.
Beda sekali bukan dengan penerbitan koran sejak era Orde Baru? Yang mana media era Orde Baru sering berkutat dengan pertanyaan “peluang bisnisnya bagaimana?”
Bagian Dari Pergerakan Nasional
Karir politik Ki Hajar Dewantara dimulai ketika ia bergabung dengan Boedi Oetomo saat berusia 19 tahun. Lalu kemudian bergabung dengan Indische Partij (IP) bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker pada tahun 1912. Sebelum ada IP, sebenarnya sudah ada organisasi bagi kaum peranakan bernama Insulinde.
Insulinde – yang pada perkembangan kemudian menjadi N.I.P.- merupakan perkumpulan yang didirikan di Bandung pada 1907. Organisasi itu dilatarbelakangi reaksi terhadap paham yang kolot dari Indische Bond (didirikan pada 1898 oleh peranakan dan totok, organisasi sosal-ekonomis buat kepentingan peranakan). Insulinde diperuntukan untuk bangsa Eropa yang lahir di Indonesia (terutama peranakan) serta bangsa Eropa yang berkeinginan untuk terus menetap di Indonesia. Dari kaum peranakan untuk kepentingan peranakan.
Pada tahun 1919 anggaran dasarnya dirubah, sehingga memungkinkan Insulinde terbuka untuk semua etnis dan kedudukannya dipindahkan Semarang. Perkumpulan itu memperjuangkan kepentingan para anggota dan kepentingan kemakmuran negeri. Tidak ada tujuan lebih jauh dari kemakmuran, dan seperti juga Indische Bond, Insulinde yang baru pun tidak banyak hasil pekerjaannya.
Berbeda dengan Insulinde, IP didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker di Bandung pada 25 Desember 1912. IP terbuka terhadap semua golongan bangsa, baik orang Indonesia asli maupun peranakan, bahkan peranakan Tionghoa. Aspek yang menyatukan keanggotaan IP tersebut adalah anggotanya merasa sebagai seorang “indier”.
Tujuan IP jelas, mencapai “indie” yang merdeka berdasarkan “national Indische”. Dengan semboyan “indie untuk indier”, mereka berusaha membangun rasa cinta tanah air dari semua “indier” (AK Pringgodigdo: 1986). Selanjutnya IP berusaha bekerjasama yang erat untuk kemajuan tanah air dan menyiapkan kemerdekaan.
Semakin lama pergerakan kaum pribumi atau bumiputera itu mendapatkan perhatian pemerintahn kolonilai Hindia Belanda. Mereka tentunya berharap pergerakan bumiputera paling bagus adalah seperti Kartini yang mampu baca-tulis Belanda. Sehingga melambangkan perempuan Jawa yang dapat berkomunikasi dengan bahasa Belanda, bahasa kaum penguasa. Namun yang terjadi dengan IP tentunya bentuk yang lain dari pergerakan bumiputera. Suatu pergerakan yang beresiko.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu benar-benar menyingkirkan IP, dengan cara menangkapi tokoh-tokohnya. Maka aktivis semacam Suwardi Suryaningrat disingkirkan. Ia menjalani hukuman pembuangan di usia 24 tahun akibat tulisan satir yang mengejek perayaan 100 tahun kemerdekaan belanda berjudul Als Ik Nederlander Was.
Pada bulan Maret 1913 datang larangan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap aktivitas IP, dan pada bulan Agustus tahun itu juga para pemimpinnya dihukum dengan hukuman pengasingan. E.F.E. Douwes Dekker ke Kupang, Tjipto Mangoenkoesoemo ke Banda, dan Ki Hajar Dewantara k Bangka. Tetapi atas permintaan mereka sendiri, mereka diizinkan menukar tempat pengasingan tersebut dengan pengasingan di negeri Belanda.
Perubahan pola gerakan, setelah Indische Partij dibubarkan pada 1913, maka mayoritas anggota IP masuk kedalam Insulinde. Pada perkembangan selanjutnya, para anggota tersebut memberi dampak yang besar bagi Insulinde. Insulinde semakin dinamis ketika pemimpin-pemimpin IP yang sebelumnya diasingkan sudah kembali ke Indonesia. Tjipto pada bulan Juli 1914 diperbolehkan kembali ke Pulau Jawa berhubung dengan kesehatannya yang terganggu. Hukuman buang Douwes Dekker dicabut pada bulan Agustus 1917, begitupun hukuman buang Suwardi Suryaningrat dicabut pada bulan Juli 1918.
Pengaruh besar dari golongan nasionalis “indische” , yaitu orang-orang Indonesia dan juga peranakan yang berhaluan pemikiran “kiri” menyebabkan nama perkumpulan dalam bulan Juni 1919 diganti dengan nama National Indische Partij. Dengan anggaran dasar yang berbeda pula dari anggaran dasar IP sebelumnya, namun demikian maksud dan tujuannya tetap sama dengan IP. Lalu kemudian, kekuatan NIP adalah membangun dan menggerakkan ‘indiers” untuk mendapatkan kemerdekaan bagi negeri Indonesia.
Ki Hajar Dewantara menjadi ketua pengurus besar. Douwes Dekker pun masuk ke dalam NIP. Konsep-konsep atau asas-asas yang digaungkan oleh para pemimpin IP –lalu kemudian NIP – menjadi suara-suara yang tertanam di tanah jajahan. Asas seperti ‘indische nationalisme”.
Berjuang dan Juga Mendidik
Setelah kembali ke Indonesia Suwardi Suryaningrat juga bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa. Setelah berdiri, maka tokoh Taman Siswa, yaitu Ki Hajar Dewantara, R.M. Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo, mengadakan pertemuan untuk menentukan sikap selanjutnya. Pendirian Taman Siswa menimbulkan berbagai kritik, baik dari kalangan bangsa Indonesia maupun dari pemerintah kolonial. Olehnya itu demi perkembangan, maka pada tanggal 20-22 Oktober 1923 diadakan kongres pertama Taman Siswa
Setelah kongres tersebut, Taman Siswa berkembang dengan pesat tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera dan Kalimantan. Kongres Nasional pertama atau rapat besar umum Taman Siswa yang pertama diadakan pada tanggal 6-13 Agustus 1930 di Perguruan Pusat Taman Siswa di Jogyakarta
Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Setelah kemerdekaan, Taman Siswa lebih meningkatkan peranannya di Indonesia. Kongres Taman Siswa di tahun 1946 merumuskan kembali pernyataan asas tahun 1922. Dikemukakan Panca Dharma sebagai dasar Taman Siswa, yang berisi kemerdekaan, kodrat alam, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Perguruan Taman Siswa memiliki peranan yang cukup besar terhadap perkembangan pendidikan nasional di Indonesia, yakni menanamkan semangat kebangsaan serta sikap anti penjajahan. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menyesuaikan asas-asas yang dicetuskan dalam zaman penjajahan itu dengan kondisi sekarang.
Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu. Pada tahun 1922 saat berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara semenjak saat itu ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Dalam ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 namanya dieja menjadi Ki Hajar Dewantara.
Kemunculan frasa pemuda (dan terpelajar) sebagai bagian penting dalam wacana politik pergerakan antikolonial adalah sebuah perubahan sejarah yang terjadi dala panggung politik pergerakan itu sendiri. (Andi Achdian, “Orang Muda dalam Politik: Dinamika Pergerakan Antikolonial di Indonesia Awal Abad ke-20, dalam Majalah Prisma vol. 30, 2011). Sesungguhnya dalam perjalanan perjuangan Suwardi Suryaningrat, kita tengah menyaksikan sebuah sejarah baru yang menjadi ciri kepemimpinan yang lahir pada dekade 1920-an. Sifat sadar akan usia muda, dan sadar sebagai kaum terpelajar adalah ciri tersendiri sesuai kondisi zaman yang membedakan watak politik mereka.
Bahwa untuk menjadi muda dan terpelajar merupakan suatu keistimewaan (previlise), Ki Hadjar Dewantara pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu :
- Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
- Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
- Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan) Ahmad
Penulis: Ahmad Muttaqin