Sekitar 3 sampai 4 tahun lalu, saya tertarik pada kegiatan photoshop, ilustrasi dan desain grafis, meski masih level amatir dalam menggambar maupun menguasai aplikasi-aplikasi dibidang itu. Segala hal berbau grafis, ilustrasi dan animasi saya telusuri secara acak melalui dunia maya dan media sosial. Beberapa bulan saat steller muncul, saya menemukan satu judul animasi “KLUK”, animasi sederhana seekor ayam yang digambar dengan pensil. Kisah Kluk ditampilkan dengan jenaka dalam video animasi kurang dari 1 menit.

Saya putuskan sejak saat itu saya menjadi penggemar Kluk dan follower kreatornya, yaitu Wahyu Ichwandardi atau dikenal dengan Pinot. Saya terkejut saat tahu ia adalah orang Indonesia, meski sekarang menetap di New York, Amerika Serikat. Ini orang pasti “gila”, pikir saya waktu itu. Animasi sederhana yang ia buat justru memberikan identitas pada karya-karyanya. Apalagi belum lama ini namanya semakin dikenal saat ia membuat versi lama trailer film Star Wars: The Last Jedi dan Stranger Things dengan menggunakan komputer Mac 1984, KoalaPad 1984, dan sebuah program bitmap. Karya itu bahkan diapresiasi oleh sutradara dan pemain The Last Jedi.
Kabar terakhir yang sama mencengangkannya ialah pinot membuat versi animasi dari video musik “This is America” milik Childish Gambino. Masih menggunakan komputer Macintosh. Tulisan soal karyanya ini dimuat di website billboard.com.
Pada tanggal 4 Juli 2018, Pinot menuliskan thread dalam akun twitternya menceritakan perjalanan karirnya hingga sekarang ia bisa menetap di New York. Berkat thread yang kurang lebih sebanyak 35 cuitan, saya dan follower lain jadi tahu. Saya menuliskan 2 kali direct message pada Pinot agar mengizinkan saya menampilkan cuitan itu disini, sehari kemudian dibalasnya. Saat meng-copy sengaja saya putar lagu Ari Lasso “Mengejar Matahari” untuk menambah rasa saat membacanya lagi. Semangat Pinot pantas ditiru oleh setiap orang yang mempunyai cita-cita. Apalagi momen hari ini adalah hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73. Selamat membaca!
Berhubung banyak yang nyangka kita horang kayah yang bisa tinggal di kota gemerlap New York City, bebas pelesir sekeluarga ke sana ke mari, gue akan coba bikin thread gimana bisa lakukan semuanya tanpa finansial kuat, tapi kombinasi niat, kerja keras, dilakukan dengan santai ngga ngoyo.
Sekali lagi, kami bukan dari keluarga yang finansialnya kuat. Untuk bersekolah saja, orang tua kami harus putar otak jungkir balik hingga masuk kuliah. Tapi kemampuan ortu kami menyiasati keterbatasan ini yang menginspirasi kami.
“Bahan bakar dari semuanya adalah impian. Bukan uang.” pendapat ortu kami yang buat sebagian orang ngawang tidak membumi, namun menempel keras di benak kami untuk selalu berjuang mengejar mimpi kami, salah satunya: melihat dunia luar.
Dari kecil, hingga SMA bahkan kuliah, yang namanya jalan-jalan ke luar negeri itu masih sebatas angan bagi kami. Bahkan saat bekerja di Jakarta, kesempatan melihat dunia luar adalah NOL. Profesi desainer grafis ngga bakal diprioritasin untuk diberangkatkan kantor untuk urusan kerjaan.
Impian dan angan itu tetap kami jaga dan rawat, dijadikan semangat, visi, mindset. Lalu datang tawaran kerja di Kuwait. Buat sementara orang akan bilang “Wah beruntung ya!” Kami bilang, keberuntungan itu selalu ada di sekitar kita. Tapi kita ngga pernah siap untuk melihatnya sebagai peluang, kesempatan, jalan keluar.
Apakah tawaran kerja di Kuwait kami anggap keberuntungan? Bisa, tapi apakah kemudian kami langsung serta merta ‘HORE AKHIRNYA BISA MELIHAT DUNIA’? Nope. Yang terjadi malah perasaan kami campur aduk, apa itu Kuwait?
Sebuah negara antah berantah, yang lekat dengan image perang, bekas daerah caplokan negara tetangganya. Kenapa Kuwait? Kenapa kesempatannya bukan Amerika? Inggris? Eropa? Australia? Atau bahkan tetangga Singapura?
Lalu kami berpikir, mungkin ini kesempatan kami untuk BELAJAR melihat dunia. Mungkin ini semacam kuliah tingkat dasar, melatih mental, melatih strategi, belajar lagi untuk hidup sebagai suami istri, bapak dan ibu dari 2 balita.
Finansial kami saat itu mencukupi untuk makan, sewa rumah, nyicil 5 tahun Daihatsu seharga 80 juta. Tapi nabung ekstra untuk persiapan sekolah krucil atau kebutuhan ekstra lainnya ngga mencukupi.
Kami pun berpikir, mungkin Kuwait adalah cara kami juga untuk bisa menabung karena penghasilan dengan profesi yang sama di Jakarta bisa 3 kali lipat. Plus lainnya adalah 1 Kuwait Dinar (saat itu) Rp 32000. Artinya, jika kami berangkat finansial kami naik level.
Hal lain yang kami harus persiapkan sebelum berangkat adalah mempersiapkan mental orang tua kami untuk belajar tentang jarak waktu & tempat. Keluarga besar akan ‘terputus’ dari cucu, keponakan, sepupu mereka. Maklum, keluarga kami by default bukan perantau.
3 bulan sebelum berangkat adalah perjalanan emosional yang naik turun. Ada beberapa ribu pelukan dengan keluarga sebelum berpisah. Pembelajaran mental baru dimulai. Begitu sampai di Kuwait, gojlokan mental makin keras. Gue berangkat duluan, belum bisa bareng @ditut & krucil.
Rasanya nyesek banget. Hidup berubah 180º, ngga ada yang kenal, suhu lagi panas-panasnya, kerja sampai pagi, sampai penginapan ngga ada sambutan krucil atau senyum istri. Gue sempet jatuh sakit karena saking kangennya. Hasrat homesick sedemikan besar sampai kepikiran untuk kabur.
Tapi di antara tamparan, gojlokan, tempaan itu ada bisikan “Lho katanya mau melihat dunia? Ini kan bagian dari rencana lo?” yang bikin gue bangun lagi. Menyemangati untuk Skype dengan keluarga di Jakarta, dengan mata basah. Perrihhhhh
Kami pun belajar, keberuntungan itu datang dengan harga. Tidak ada yang gratis, tidak akan datang kalo kami cuma siap 25%. Keberuntungan datang ketika kami sanggup ‘membayar’ paling tidak 50% lebih. Ambil atau tidak, tergantung kemampuan kami untuk membayar sisanya.
4 bulan kemudian kami bisa bersatu lagi. Petualangan bisa dimulai. Bagi kami, Kuwait adalah gerbang kami untuk bisa melihat dunia. Dan kami percaya anak-anak yang membukakan rejeki dan kesempatan, untuk orang tuanya dan untuk mereka sendiri.
Sesaat, kondisi finansial terasa lebih lega. Lalu krucil masuk usia sekolah dan kami prioritaskan income kami untuk mendaftarkan mereka di sekolah yang bagus – yang otomatis juga biayanya besar. Somehow, melebihi kapasitas finansial kami. Yang sempat lega, jadi sempit lagi.
Tapi kami tidak merasa kurang, tidak merasa sempit, tidak merasa terbatas. Karena, selalu saja ada jalan. Apalagi kalau sudah demi masa depan anak-anak, selalu saja manageable. Makin seru lagi ketika si bungsu lahiran.
30% income digunakan untuk hidup sehari-hari, 60% untuk persiapan sekolah krucil, 10% untuk menabung. Lalu gimana kami bisa keluyuran ke Jordan & Turki? Karena ada tiket promo yang masuk dalam range 10% itu. Satu tiket pesawat ke dua tempat itu Rp 300 ribu bolak balik.
Kami pun menyadari, Kuwait ada di tengah-tengah utk menjelajah dunia lebih jauh. Otomatis tiket pesawat lebih bisa dihemat. Peluang lain: ngurus visa ke negara lain lebih gampang dan cepet. 4-5 hari selesai.
Selama di Kuwait itu juga kami belajar membaur dengan lingkungan baru dan asing. Tabiat, kultur, bahasa, perilaku, semua kami resap dan cerna karena itu adalah bagian pembelajaran untuk bisa melihat dunia. Best of all, kami bisa punya jabatan baru: duta budaya dari Indonesia.
5 tahun pertama di Kuwait, kami sudah berhasil menjelajah Jordan, Istanbul – Turki & Singapura bareng krucil. Ngga ngoyo, paling ngga udah mencicipi daratan lain hanya dengan 10% dari income kami.
Lalu Vine rilis. Gue nemu celah untuk mewujudkan passion – satu kata yang dicibir banyak orang. Gue jor-joran bikin macem-macem, pamer karya iseng, serius tiap minggu bikin 5 animasi. Karena seneng aja, karena excited aja. Ngga mikir macem-macem.
Sekeluarga pun ikutan bikin-bikin juga, kolaborasi bareng. Lalu beberapa bulan kemudian ada email berisi undangan dari Twitter London. London? Inggris? Big Ben? Semua yang biasa kami lihat di film, buku, komik, cerita orang? Terlalu absurd.
Saking absurdnya sampai kami berdua ketawa bloon sambil nangis “Serius ini?” Sambil gemeteran gue reply emailnya, ngga mikir langsung bilang MAUK! Keberuntungan datang ketika kita siap 50%. 50% sisa yang mesti dibayar: mental bahasa inggris, mental ngurus visa negara barat, etc.
Rasa takut dan excited yang gue alami 2007 silam datang lagi. Tapi kali ini udah jauh lebih siap mental. Juni 2013 gue pun akhirnya bisa menginjakkan kaki di negara barat ini. Saking ndesonya, berdiri depan Big Ben sambil berkaca-kaca berucap Alhamdulillah terus-terusan.
Waktu itu cuma gue sendiri yang berangkat ke London, tapi kami yakin sebuah pintu sudah terbuka bagi kami sekeluarga. Emang dasar rejekinya anak-anak, Desember bisa berlima ke London. Dan masih dari 10% income kami karena terbantu banyak hal termasuk dari Twitter.
Dari Vine ini kami menyadari, pintu kesempatan datang bukan dari kesiapan finansial semata, tapi lebih dari kesiapan ketrampilan. Undangan datang dari beberapa sumber, sudah termasuk tiket & penginapan. Hingga akhirnya kami ditawari kerja di NYC.
Sebuah negara yang terlalu ngawang untuk kami kunjungi. Sebuah tempat yang cuma bisa hidup di komik, film, yang cuma kami dengar dari cerita orang. Mana mungkin orang macam kami bisa ke Amerika. Rasa takut dan excited seperti 2007 datang lagi namun dengan bumbu yg berbeda.
Kami terlalu tahu Amerika seperti apa. Kami tahu semahal apa Amerika. Kami tahu betapa kerasnya pergaulan di Amerika. Ada satu gang resiko bersembunyi di balik gemerlap American dream.
Kami berlima bergandeng tangan “Yuk disyukuri, Alhamdulillah ada kesempatan. Dan Bismillah menjalankan kesempatan itu.” Februari 2015, kami berlima berpelukan, berjalan di tengah kota Manhattan. Tercekat, mata basah, hidung perih bersyukur dengan apa yang kami lihat.

Mundur 10-15 tahun ke belakang, impian kami adalah melihat dunia untuk masa depan yang lebih baik. Dia memutuskan bahwa kami tidak bisa melakukannya dengan hanya travelling, tapi sekalian merantau. Make several home bases, then jump anywhere near.
(DC)
Diambil dari cuitan @pinot di twitter tanggal 4 Juli 2018.