Dewantara – Penggambaran Sudirman umumnya hanya satu dimensi: kurus, lugu, berjuang tanpa pamrih, sakit tapi pantang menyerah.
Lihatlah patungnya yang terbuat dari perunggu 6 m, karya dosen ITB, Sunaryo, senilai 6,5 miliyar di Jln. Jend. Sudirman Jakarta, yang dibuat pada 2003. Yang tampak hanya keteguhan tanpa emosi. Patungnya di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta yang dibuat seniman Hendra Gunawan dari Sanggar Pelukis Rakyat tahun 1950-an juga senada, walaupun terkesan agak jelata.
Harta, Jiwa, Raga Dikorbankan
Lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga dan meninggal di Yogyakarta pada 29 Januari 1950, Sudirman merupakan pejuang yang mati muda (dalam usia 34 tahun). Pada umur 29 tahun ia sudah menjadi panglima angkata bersenjata (waktu itu bernama Tentara Keamanan Rakyat – TKR). Sudirman dipilih secara demokratis diantara para komandan dari berbagai daerah. Keraguan pimpinan negara terhadap Sudirman sirna ketika ia membuktikan kemampuannya mengusir pasukan sekutu yang jauh lebih canggih persenjataannya dengan strategi “Supit Urang” yang menjepit musuh dari dua sisi di Ambarawa.
Ia menderita sakit TBC dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Sebagai tanda terima kasih ia sempat menulis puisi “Rumah nan Bahagia” yang kemudian diabadikan pada salah satu ruangan tempat ia dirawat. Setelah paru-parunya “diistirahatkan” dan ketika bergerilya setelah Agresi Militer II Desember 1948, ia ditandu dengan hanya sebelah paru-paru.
Ketika itu streptomisin baru ditemukan dan pemerintah berupaya mendapatkannya di Jakarta yang sudah dikuasai Belanda, untuk mengobati Sudirman. Namun karena mata uang rupiah tidak diakui Belanda, maka obat itu diperoleh secara susah payah dengan barter batik tulis halus dari Yogyakarta. Sudirman sendiri membawa perhiasan istrinya agar dapat digunakannya sebagai biaya hidup ketika bergerilya.
Gerilya
Ketika Belanda menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948 Sukarno, Hatta, dan beberapa anggota kabinet ditawan Belanda. Sedangkan Sudirman memutuskan bergerilya. Sudirman kecewa karena Bung Karno sebelumnya sudah berjanji bila perlu akan berjuang masuk hutan.
Namun di sisi lain, keputusan untuk tetap tinggal di Yogyakarta merupakan keputusan kabinet. Lagi pula menurut T.B.Simatupang, bila Sukarno-Hatta ikut bergerilya, diperlukan pengawal yang sangat banyak untuk menjaga keselamatannya. Mungkin sampai satu batalion dan Republik Indonesia (RI) tidak memiliki personil sebanyak itu khusus untuk keperluan tersebut. Dengan ditangkapnya para pemimpin RI oleh Belanda di sisi lain membuat peluang untuk berunding selalu tersedia ketimbang berada di tengah rimba.
Sudirman memutuskan untuk meneruskan perjuangan bersenjata bersama para prajuritnya dengan dukungan rakyat. Setelah mengeluarkan Perintah Siasat No.1/Stop/1948 kepada seluruh prajurit yang disiarkan melalui RRI Yogyakarta, ia meninggalkan kota (Himawan Sutanto; 2006).
Sebagian besar satuan tentara RI beroperasi secara otonom selama masa gerilya ini. Disamping banyak kemenangan kecil mereka atas pihak Belanda, pasukan RI yang berada di bawah pimpinan Letkol Suharto mendapat kemenangan psikologis ketika mereka menyerang dan menguasai Yogyakarta selama enam jam pada 1 Maret 1949.
Setelah perjanjian Roem-Royen ditandatangani, pemerintahan RI dikembalikan ke Yogyakarta. Namun Sudirman masih enggan turun dari markasnya. Sudirman dan pimpinan-pimpinan tentara lainnya enggan mengakui kekua saan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan republik (M.C.Ricklefs; 2008). Letkol Suharto didampingi oleh fotografer Frans Mendur dan wartawan Rosihan Anwar ditugaskan menjemput Jendral Sudirman dari markasnya di daerah Wonosari. Lalu, di Yogyakarta, Sukarno dan Hatta menyambut di beranda depan kediaman presiden yang luas.
Ahmad Muttaqin