(Tulisan Kedua-Terakhir tulisan tentang Sang Revolusioner Tan Malaka)
Pada tahun 1942, Tan Malaka berlayar ke Medan dari Penang-Malaysia. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Jakarta. Disewanya sebuah rumah kecil yang nyaris mirip gubuk di sebuah perkampungan di Jakarta. Ternyata di rumah kecil itulah tiap malam Malaka menumpahkan pemikirannya menjadi sebuah buku yang nantiya menjadi populer : Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).
Menggerakkan Aksi Massa
Madilog diselesaikan Malaka hampir satu tahun hingga uang tabungannya menipis. Demi menyambung hidup, Malaka menerima tawaran bekerja di pertambangan batu bara di Bayah, Lebak-Banten. Masyarakat setempat dan para romusha yang bekerja di pertambangan mengenalnya sebagai juru tulis yang baik hati. Ia mengganti namanya menjadi Ilyas Hussein.
Ketika Soekarno dan Hatta, sebagai pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) berkunjung ke Bayah pada 1944, Ilyas Hussein menjadi anggota panitia penyambutan (Tan Malaka: Spesialis Bawah Tanah; tulisan Purnawan Basundoro di Majalah Intisari edisi bulan Mei 2009). Pertanyaannya kepada Soekarno mengenai kemerdekaan Indonesia malah sempat membuat Soekarno marah. Ketika kelompok Soekarno dan Hatta masih meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang, Ilyas Hussein (a.k.a. Tan Malaka) bersikukuh bahwa kemerdekaan harus direbut dengan kekuatan rakyat Indonesia.
Kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 dirasakan oleh Tan Malaka kurang gegap gempita. Di sisi lain, Sekutu sudah datang dan mulai mendarat di Jakarta pada 9 September 1945. Lembaga sekutu yang mewakili otoritas Sekutu adalah Allied Force of Netherland East Indische (AFNEI) yang dipimpin oleh Inggris. Pemerintah Republik Indonesia (RI) memilih untuk tidak menunjukkan sikap bermusuhan terhadap kedatangan Sekutu ke Indonesia. Namun Malaka justru berpikir bahwa sudah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatan rakyat Indonesia.
Malaka menggerakkan massa actie (baca: aksi massa) yang berwujud pengerahan kekuatan rakyat. Ia berpikir bahwa penggunaan aksi massa itu akan membuat Sekutu merasakan dukungan rakyat terhadap kemerdekaan RI. Maka pada 15 September 1945 Tan Malaka berpidato di depan Bioskop Maxim-Cikini, isi pidato terkait dengan “kemerdekaan harus dicapai dengan tangan sendiri.” Maka seperti tersiram bensin, kelompok-kelompok pemuda yang pro-kemerdekaan di Jakarta, mulai bergerak. Dimulai dari kelompok pemuda yang paling menonjol keberaniannya, yaitu kelompok Menteng 31, lalu diteruskan kepada kelompok yang lebih terpelajar dan moderat, yaitu kelompok Prapatan 10. Lalu kelompok Menteng 31 mengorganisir diri mereka menjadi 11 orang yang menyebut diri mereka dengan sebutan “komite van actie”, yang kemudian menyiapkan suatu rapat besar di Jakarta.
Pada 19 September 1945, rapat besar atau rapat raksasa itu terselenggara di Lapangan IKADA. Pengawalan oleh tentara Jepang amat ketat dengan senjata-senjata yang siap menembak. Kurang-lebih 200.000 orang memadati lapangan, namun kekerasan dapat dihindarkan (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004; M.C.Ricklefs, 2008,h. 433). Pada hari itu, Soekarno memanfaatkan bakat pidatonya meyakinkan orang-orang yang hadir di Jakarta untuk: 1)mendukung pemerintah RI, 2)mendukung dan mentaati kebijakan dan aturan pemerintah RI, dan 3)menghimbau agar rakyat yang berkumpul untuk membubarkan diri tanpa menentang pihak Jepang.
Hanya dengan Merdeka 100%
Pada bulan Januari 1946, dibentuk Persatuan Perjuangan (PP) oleh Tan Malaka. Para pemimpin pemuda seperti Adam Malik, M.Yamin, dan sebagian tentara non-reguler mendukung PP. Secara langsung, platform PP yang mengajukan suatu “program minimum” yaitu menuntut ‘merdeka 100%’ bertentangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Sjahrir yang menempuh kebijaksanaan untuk berunding dengan pihak Belanda.
Malaka telah berhasil memobilisasi sebuah koalisi kekuatan yang luas untuk mendukung “program minimum”nya (Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir; J.D.Legge, 2003,h.198). Dimana inti dari program minimum itu menolak setiap perundingan dengan Belanda sebelum tentara Belanda ditarik mundur. Pemerintahan Sjahrir dan para pengikutnya terancam oleh koalisi PP itu.
Persaingan antara pihak pemerintah dan pihak PP berlangsung cukup lama dan intens. Pada bulan Maret 1946, Sjahrir dan Amir Sjarifudin menarik para pengikutnya, khususnya satuan-satuan bersenjata Pesindo, dari PP. Dalam konfrensi organisasi PP di Malang pada bulan itu, satuan-satuan Pesindo dan polisi militer menawan para pemimpinnya. Tan Malaka ditahan selama lebih dari dua tahun sambil menunggu diadili.
Kondisi pertikaian berlanjut pada peristiwa penangkapan Sjahrir ketika singgah di Surakarta tanggal 27 Juni 1946. Sjahrir dan beberapa rekannya ditangkap oleh satuan-satuan tentara setempat yang mengharapkan bahwa tindakan tersebut dapat memungkinkan Soekarno, Soedirman, dan “kemerdekaan 100%” berkuasa atas republik (Ricklefs,h. 449). Pada 30 Juni 1946 Soekarno mengadakan siaran radio, menyatakan bahwa penangkapan terhadap Sjahrir membahayakan persatuan bangsa. Maka pada malam harinya Sjahrir dibebaskan dan segera kembali ke Jakarta.
Saling tangkap berlanjut. Pemerintahan Sjahrir menangkap pemuda tokoh oposisi yang mendukung PP, yaitu Adam Malik dan beberapa orang rekannya. Lalu, saat itu giliran tentaralah yang meminta pembebasan tawanan-tawanan tersebut. Pada tanggal 3 Juli 1946, satuan-satuan tentara membebaskan Malik dan kawan-kawan lalu mengirimkan delegasi kepada Soekarno di Yogyakarta yang meminta agar ia membubarkan kabinet dan menugaskan Soedirman menangani urusan-urusan keamanan. Akan tetapi, para anggota delegasi itu ditawan dan kemudian seratus orang lainnya ditangkap oleh para pendukung pemerintah, termasuk M.Yamin.
Pemerintah menyalahkan Tan Malaka yang masih berada dala tahanan sebagai yang bertanggungjawab atas semua peristiwa itu. Pada perkembangan selanjutnya, Soedirman, yang juga tokoh PP, memutuskan untuk bersikap lebih luwes untuk kepentingan revolusi nasional yang lebih luas.
Di tengah kondisi perang dan berunding antara RI dan Belanda, meletus pula beberapa pemberontakkan di dalam negeri Indonesia. Diantaranya terdapat pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun. Bersamaan dengan meletusnya pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, Tan Malaka dibebaskan oleh pemerintahan Sjahrir dari penjara Magelang. Suatu langkah strategis Sjahrir untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia dan pendukung komunis, bahwa tidak semua partai dan organisasi sosialis/komunis mendukung pemberontakan PKI Madiun yang dikomandoi oleh Musso dan Amir Sjarifudin.
Kesempatan bebas dimanfaatkan oleh Malaka untuk mendirikan Partai Murba bersama dengan Soekarni. Dan ketika meletus Agresi Militer Belanda ke-II, Tan Malaka mengambil jalan gerilya, sebagaimana yang juga ditempuh oleh anggota Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) dan laskar-laskar.
Bersama dengan sepasukan kecil tentara, Malaka bergerilya ke pedalaman Jawa Timur. Tetapi naas bagi Malaka, karena dituduh melakukan agitasi dan menghasut rakyat, Malaka tewas ditembak oleh sekelompok tentara lain yang dipimin oleh Soekotjo. Menurut peneliti Tan Malaka, Harry A.Poeze, kemungkinan makam Malaka ada di Desa Selopanggung, di lereng Gunung Wilis-Kediri.
Ahmad Muttaqin