(Bagian Pertama tulisan tentang Sang Revolusioner Tan Malaka)
Demi Indonesia merdeka, ia rela keluar-masuk berbagai negara agar tidak ditangkap polisi rahasia Belanda. Lebih lanjut, ia bahkan harus keluar-masuk penjara diluar Indonesia maupun didalam negeri Indonesia sendiri. Ia punya banyak nama alias, agar dapat berekspresi tanpa dicurigai. Ia sempat tidak dikenali rekan-rekan seperjuangannya, meski sudah bertahun-tahun kembali ke Indonesia.
Mengecap Gagasan Revolusioner
Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang beliau dapatkan dari garis ibu. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya 2 Juni 1897, dan tempat kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Ayah Tan Malaka bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa. Dalam kehidupannya Tan Malaka pernah mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.
Pada tahun 1908, Tan Malaka didaftarkan ke Kweekschool (Sekolah Guru Negara) di Fort de Kock (Bukittinggi). Menurut gurunya, GH Horensma, Malaka adalah murid yang pintar walaupun terkadang tidak patuh. Pintu sejarah terbuka lebar bagi Tan Malaka pada bulan Oktober 1913 ketika Horensma mengajaknya ke Belanda ketika sang guru mengambil cuti di negeri Belanda sang guru mencarikan dana untuk Tan Malaka. Lalu ia pun memperoleh izin masuk sekolah guru lanjutan di Rijks Kweekschool Haarlem.
Awalnya Malaka disalurkan untuk bisa mendapatkan dukungan dana dari lembaga-lembaga dana yang ada. Lembaga-lembaga ini bukan pemberi beasiswa, melainkan hanya membantu memperoleh dan mengaturnya. Lembaga dana juga mengusahakan agar mahasiswa ditempatkan ditengah-tengah keluarga yang terpilih untuk memudahkan pengawasan. Mahasiswa penerima beasiswa diawasi secara amat ketat dengan disiplin militer.
Malaka yang kerap kali berdebat dengan pengawasnya (bernama Fabius) pada perkembangan selanjutnya menyebabkan beasiswa dihentikan (Tan Malaka: Spesialis Bawah Tanah; tulisan Purnawan Basundoro di Majalah Intisari edisi bulan Mei 2009). Sebagai akibat, Malaka harus menanggung kondisi keuangan yang amat memprihatinkan, yang juga membuat Malaka kesehatan Malaka menurun. Sehingga Malaka harus menanggung dua penderitaan, hutang dan sakit. Setelah dua kali gagal, baru pada upaya yang ketiga ia berhasil meraih hoofdakte (ijazah untuk menjadi kepala sekolah), dikarenakan sempat sakit dan motivasi menurun.
Pada waktu Malaka di Belanda, gagasan revolusioner sedang tumbuh subur di seluruh kawasan Eropa. Ide-ide Karl Marx tentang komunisme sedang disemai dalam wujudnya yang praksis. Dalam pemahamannya tentang materialisme, Malaka meyakini bahwa kondisi ilmu-ilmu pengetahuan sebelum era marxisme-leninisme memiliki keterbatasan. Dan ketebatasan itu karena saat sebelum marxisme-leninisme belum mengenal dialektika., yang merupakan warisan filsafat idealis yang paling berharga (Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka; Franz Magnis-Suseno, 2003,h.218). Materialisme baru dapat mengembangkan potensi-potensinya apabila disertai oleh pendekatan dialektis.
Malaka terbentuk menjadi nasionalis yang berkobar-kobar sekaligus simpatisan komunisme yang aktif. Tidak mengherankan pula betapa ia sangat tertarik dengan kemenangan Revolusi Bolshevik di Russia tahun 1917. Gagasan-gagasannya terbentuk antara lain di dalam kelompok diskusi yang ditokohi oleh Sneeliet, yang lalu dilahirkan kembali dalam bentuk artikel di koran. Malaka juga sempat menjadi anggota Indische Inlichtingendienst (Dinas Penerangan Hindia) yang dibentuk oleh Sneevliet. Lembaga itu berperan sebagai pemberi informasi mengenai situasi di Hindia Belanda kepada koran-koran komunis dan para anggota parlemen Belanda.
Utang menumpuk tidak memungkinkan Malaka tetap tinggal di Belanda, sehingga pada tahun 1919 ia angkat koper untuk menjadi guru anak-anak kaum buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur.
Naar de Republiek Indonesia
Kabar tentang aktivitas Sarekat Islam (SI) terdengar di telinga Malaka. Pada tahun 1921 ia meninggalkan perkebunan di Sumatera Timur dan menuju P.Jawa, untuk mengenal SI secara lebih dekat. Melalui salah seorang sahhabatnya, R.Soetopo, Malaka hadir dalam kongres Centrale Sarekat Islam (CSI) di Yogyakarta pada 2-6 Maret 1921. Di tempat itu pula Malaka bertemu dengan Semaoen, tokoh pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kongres CSI di Yogyakarta berlangsung dalam suasana persaingan antara SI dan PKI. Sebagaimana kita tahu bahwa PKI sendiri merupakan bagian dari SI yang menganut pemikiran komunisme, sehingga lazim disebut SI Merah pada awalnya. Belakangan hubungan antara SI dan PKI secara resmi terputus pada Kongres Luar Biasa CSI di Surabaya pada 6-10 Oktober 1921. Malaka lebih condong ke PKI daripada dengan SI.
Pada 13 Februari 1922 Malaka ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Bandung. Ia dianggap mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme. Pada bulan Maret 1922 ia berangkat kembali ke tempat pembuangannya, Belanda. Pada bulan November 1922 Malaka menghadiri Konfrensi Komunis Internasional (Komintren) di Moskow mewakili PKI. Di tempat itulah Malaka semakin menunjukkan kemahiran dan kematangannya dalam berpolitik.
Malaka diangkat menjadi wakil Komintren untuk wilayah Asia Timur dan mulai berkedudukan di Kanton pada bulan Desember 1923. Di kota itulah ia menerbitkan Majalah The Dawn sebagai salah satu alat perjuangan kaum komunis. Di kota itu pula Malaka pada 1924 menulis buku Naar de Republiek Indonesia.
Dalam buku Naar de Republiek Indonesia, secara gamblang Malaka menjabaran program-program nasional PKI, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun pendidikan dan kebudayaan. Disampaikan juga bahwa “karena kita telah mengetahui, bahwa perang Pasifik yang mungkin datang bagi kita masih belum berarti satu kemerdekaan dan kita tak dapat menunggu sampai armada Belanda dan pangkalan armada Singapura selesai dibangun, maka bagi Indonesia sangat mungkin sekarang ini adalah kesempatan yang baik untuk menuntut kemerdekaan nasional”(Naar de Republiek Indonesia; Tan Malaka, 1987, h.96). Malaka percaya Pertentangan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, ialah dialektik perkembangan kapitalisme, adalah tenaga pendorong dalam perjuangan revolusioner bangsa Indonesia, tenaga yang membangkitkan dan mengilhami kembali yang sedang runtuh dan memberikan kemenangan kepada yang kuat.
Melalui buku itu Malaka menyerukan kepada rakyat dan kaum intelektual, bahwa dalam suasana Republik Indonesia merdeka, tenaga-tenaga intelek dan sosial akan berkembang lebih cepat dan lebih baik. Kekayaan yang maha besar yang diperoleh dengan pekerjaan Indonesia akan tinggal di negeri sendiri. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan dan diperkosa yang sekarang dipergunakan untuk keuntungan lintah-lintah darat Belanda, nanti akan dapat berkembang dan akan dapat dipergunakan bagi kepentingan masyarakat Indonesia. Kesenian dan perpustakaan akan baru mendapatkan tanah untuk bertumbuh. Lebih pasti dan lebih cepat Indonesia akan bangkit di lapangan ekonomi, sosial, intelek dan kebudayaan.
Ahmad Muttaqin