Banyak keteladanan yang bisa kita lihat dari sosok Abdul Wahid Hasyim. Kesederhanaan dalam hidup, cara berpikir yang moderat serta keilmuannya yang mendalam membuat seorang Wahid Hasyim disegani oleh banyak kalangan.
Dewantara – Cara berfikir dan sikap moderat tersebutlah yang juga ditanamkan dalam kehidupan keluarganya, terutama kepada anak-anaknya. Kelak, satu diantaranya bahkan menjadi Presiden RI ke-IV. Gusdur alias Abdurrahman Wahid. Singkatnya, jika dalam melakukan aktivitasnya suatu waktu Wahid Hasyim harus mengenakan kain pantolan, atau jas berdasi minus kopiah hitam, sementara di lain kesempatan dia mesti mengenakan kain sarung atau baju takwa, baginya, hal tersebut tidak menjadi soal.
Dalam beraktivitas, meskipun sudah menjadi pejabat negara, tidak jarang ia menyetir sendiri mobil Fiat hitamnya. Dikenal sebagai seorang yang memiliki rasa humor tinggi, Wahid Hasyim adalah sosok salah satu pendiri NKRI yang muncul dari tradisi pesantren tanah air. Pengasuh kedua Pesantren Tebuireng; memimpin Tebuireng selama tiga tahun (1947 – 1950). Salah seorang anggota BPUPKI yang juga seorang reformis dunia pendidikan Islam lewat pesantren dan pendidikan nasional pada umumnya. Pahlawan nasional ini juga dikenal sebagai salah satu perumus dasar negara Pancasila dan juga pendiri Institut Agama Islam Negeri-IAIN (sekarang UIN) sekaligus merupakan Menteri Agama tiga kabinet yaitu kabinet Hatta, kabinet Natsir, dan kabinet Sukiman.
Meninggal dalam usia yang masih relatif muda, ruang lingkup peran dan ketokohan Wahid Hasyim menjadi catatan yang membanggakan bagi tanah air. Eksistensinya dimulai ketika ia mengelola pesantren Tebuireng sejak tahun 1938. Kariernya di NU (Nahdatul Ulama) dimulai dari bawah. Mula-mula menjadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian tahun 1938 terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang. Lalu tahun 1940 masuk kepengurusan PBNU bagian ma’arif (pendidikan).
Di tubuh Ma’arif NU inilah, Kiai Wahid mengembangkan dan melakukan re-organisasi terhadap madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Kiai Wahid juga giat mengembangkan tradisi tulis-menulis di kalangan NU, dengan menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama. Beliau juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU. Tahun 1946 Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia. hingga menjadi pengelola pesantren tersebut menggantikan ayahnya, pendiri organisasi Islam Indonesia terbesar, Nahdatul Ulama, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Ashari pada tahun 1947.
Toh, ia bukanlah pula seorang yang alergi terhadap praktek politik nasional. Berlandaskan nilai-nilai keislaman yang dijunjung tinggi, akhlak Islam dalam berpolitik beliau jadikan barometer bersikap dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, lebih-lebih pada masa pergolakan politik nasional pasca kemerdekaan.
Sebagai salah satu pendiri NKRI, kiprahnya dalam kancah pergerakan nasional sewaktu masa perjuangan kemerdekaan sangat penting. Pada waktu pemerintah kolonial Belanda berkuasa, melalui wadah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) ia menolak politik pendidikan Belanda tentang Ordonansi pendidikan agama pada tahun 1925 yang sangat membatasi eksistensi guru-guru agama. Lalu, ketika pemerintah Jepang membentuk Chuo Sangi In, yaitu semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid juga dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. tentu saja ini hanya sebuah strategi lain untuk menggalang kekuatan nasional lewat jalur perjuangan kooperatif. hasilnya, melalui jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.
Duet Wahid Hasyim bersama M. Natsir jugalah yang menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia saat itu. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim.
Pada tahun 1942, pemerintah Jepang menangkap Kiai Hasyim Asy’ari dan menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Abdul Wahid Hasyim.
Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang kelak bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk (semacam lembaga legislatif), Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, seperti mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta dan mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.serta mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjung pinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Peran penting lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
Meninggal dalam usia relatif muda (39 tahun) sumbangsihnya kepada bangsa dan agama memang layak menjadi tauladan bagi generasi muda saat ini, kepemimpinan yang walaupun singkat tapi begitu diakui, mampu bekerja dengan daya kreatif dan mengutamakan negara dibandingkan kelompoknya. Bahwa negara ini berdiri bukan atas nama agama tetapi atas nama bangsa Indonesia, hal ini dapat diketahui dari keberhasilan Kiai Wahid menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam, dimana saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Peran ketokohannya memang sangat terlihat menguatkan hal tersebut. Ia bersama para Bapak Bangsa lain berhasil membangun konsep negara-bangsa Indonesia yang nyatanya tidak mudah, mengingat kondisi budaya dan masyarakatnya yang sangat plural dan majemuk.
Muhamad Zulkarnain