Banyak akal, sedikit nakal tapi pakailah nalar.
Menjejaki toko buku pada Sabtu siang. Niat saya bulat: Beli buku untuk dibaca. Setelah satu dasawarsa lebih tidak membaca buku, novel dan sejenisnya sampai tandas. Seperti pengalaman pertama di pojokan Kwitang, dulu. Sekarang pilah-pilah buku di ruang berpendingin, ditemani mbak-mbak menawarkan bacaan, alat tulis, tas sekolah, mainan anak, alat musik. Maaf mbak, saya cuma mau beli buku. Kalau bisa ukurannya kecil, tipis enak dibaca. Lalu tangan terarah pada sebuah buku.
Puthut EA nama penulisnya. Bukunya berjudul Enaknya Berdebat Dengan Orang Goblok diterbitkan oleh ShiraMedia tahun 2018. Bersampul warna dasar putih, dengan sumpit menarik mi dan udang dari gelas mi instan. Tulisan di gelas itu: Rasa Otak Udang ditambah keterangan, santap selagi panas. Ukuran buku 14 x 20 cm dengan sampul cetak emboss.
Buku ini memang provokatif dengan gaya nyinyir (meminjam istilah sekarang) tampilan sampulnya. Goblok atau bebal adalah sikap kukuh pendirian seseorang yang sepenuhnya negatif. Disodorkan dengan data faktual dan analisis matang pun tidak digubris. Penulis esai ini menemukan titik cerah kala berdebat dengan orang jenis itu. Jadikan hiburan!
“Tapi apapun itu, berdebat dengan orang goblok, apalagi yang menggebu, tak usah diambil pusing. Dibikin gampang saja. Lebih dari itu, harus bisa mendapatkan hiburan dari sana,” halaman 18.
Penulis asal Rembang ini tidak antipati bahas politik. Sejak lima tahun terakhir polarisasi politik makin meruncing, Dari esai-esai yang terkumpul dalam bukunya ia menanggapi santai soal panasnya politik. Mari jangan ikut mazhab anti-antian. Selaku lulusan filsafat UGM, anti-antian cenderus fatalis –memandang finalisasi dari segala permasalahan itu menggerogoti nalar. Sedikit-sedikit ulah rezim, sedikit-sedikit ulah gerombolan, sedikit-sedikit salah tukang gorengan, tukang parkir, polisi, bankir, dan lain-lain…
Politik dibawa santai oleh Puthut, sambil tidak melupakan esensi filosofisnya: pendukung yang baik itu mengkritik, pendukung yang jahat itu menjilat. Oposisi itu sangat perlu, namun yang berkualitas minim.
Kumpulan tema esai dalam buku ini tersusun rapi. Dari mulai eksistensialisme, bisnis, sepakbola, politik, rokok, pendidikan dan lain-lain. Ringan dibaca namun menarik dicerna. Ya, menarik karena ada narasi berbeda atau setidaknya alternatif dari narasi-narasi disparitas dua kubu dalam diskursus apapun. Moderat vs konservatif, pro vs kontra pemerintah, bhineka vs agamis, bumi datar vs bumi bulat sampai bubur diaduk vs bubur tidak diaduk. Pokoknya harus berkubu, kalau tidak berarti saset, eh sesat.
Gaya menulis Puthut di buku ini sebelas-dua belas seperti media yang digawanginya: mojok.co. Hanya ada sejumput edit-edit ringan dari editor bikin esai ini mudah dipahami golongan tua-muda. Sebagai penulis fiksi pula Puthut menulis banyak esai yang berdasarkan kisah fiksi namun layak diresapi. Meski itu menceritakan kru mojok sendiri.
Yang menarik tentu dua esai fiksinya mengenai PKI. Cerita dari mantan jenderal yang bilang PKI kini punya 15 juta massa. Suatu jumlah yang jangankan bikin partai lagi, menguasai dua propinsi pun bisa. Punya ketua bernama Wahyu Setiaji dan Sekjen Teguh Karyadi. Semua tahu, mendirikan partai dengan 15 juta anggota secara sembunyi-sembunyi adalah diluar nalar. Ia pun menduga-duga bahwa manusia rekaan purnawirawan itu pasti tajir melintir, mampu membelah diri (sebentar di Pontianak, Batam, Jakarta dalam waktu singkat) dan sakti mandraguna (intelijen tak mampu mendeteksi).
Belum lagi soal wawancara eksklusif dengan Sekjen PKI Teguh Karyadi yang dibuat hanya untuk mengerjainya dalam rangka ulang tahun rekannya. Namun, dalam esai tersebut dipaparkan implisit bagaimana sepak terjang Andi Arief, Nezar Patria dan Budiman Sujatmiko sewaktu muda dan peran Sekjen yang maha penting dalam sebuah organisasi politik. Politik hanya soal kesempatan, kata penulis mantan pengurus LMND ini.
Sebagai sesama lulusan filsafat, secara terang-terangan Puthut mendukung Rocky Gerung. Bukan. Bukan soal preferensi politiknya (karena ia juga tak peduli). Tapi soal pilihan diksinya. Ketika ia menjelaskan bahwa kitab suci adalah fiksi, ribuan akun media sosial, pengamat dan media baik anonim maupun robot getol merisaknya. Lulusan filsafat UGM ini menyebut fiksi itu hasil imajinasi. Jika manusia tidak berimajinasi, maka tak muncul namanya peradaban bahkan (mungkin juga) kitab suci. Menurutnya, hasil karya fiksi paling agung di Indonesia adalah naskah teks proklamasi. Simak kata-katanya: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Bahasan bangsa (nation) Indonesia belum ada atau sah saat itu. Kok tiba-tiba klaim bahwa kita ini bangsa Indonesia? Kenapa bukan bangsa Majapahit, Sriwijaya, New Londo, atau apalah? Sebab impian dan imajinasi bangsa inilah rakyat disatukan dalam pekik kemerdekaan dengan semangat berkobar-kobar.
Balik lagi, apakah fiksi kemudian bukanlah gambaran dari kenyataan atau semata khayalan? Bukankah sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebagai karya fiksi digambarkan cuilan kenyataan suku Betawi saat itu? Bisa juga tidak. Tapi banyak yang merasa iya. Maaf, yang soal Si Doel adalah tambahan saya. Tidak akan ada dicari di buku ini 🙂
Berhati-hati dalam bersikap dan menanggapi isu. Itulah tema dasar dari buku ini. Dijelaskan gamblang bagaimana dulu pemerintah menelurkan isu awal 1980-an bahwa minyak kelapa dan kopi itu berbahaya bagi kesehatan. Kelapa dan kopi jadi ‘haram’. Tiba-tiba latah gerakan anti kelapa dan kopi. Padahal sekarang dunia medis bilang kopra adalah komoditi termahal. Minyak kelapa adalah ekstrak alami terpenting dunia farmasi. Bayangkan jika Indonesia dari dulu mulai usaha soal kopra ini, bisa menguasai ekspor dunia barangkali. Kopi pun demikian. Banyak ruwet sejarah politik dan ekonomi sebetulnya gampang dimaknai: siapa menangguk untung dari semua itu. Siapa sengaja membuat benang merah menjadi kusut?
Kelemahan buku ini adalah satu. Tadinya saya kira terhibur, malah jadi bikin mikir.
Judul buku: Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok
Penerbit: ShiraMedia
Penulis: Puthut EA
Terbit: Oktober 2018