Akhirnya, setelah sekian lama DC Comic membuat film superhero yang maskulin, heroik namun membosankan: Datanglah Wonder Woman –lebih tepatnya Gal Gadot- sebagai penyelamat.
Saya sengaja relakan waktu untuk mengulas film Wonder Woman keluaran 2017 ini. Tak banyak sebenarnya ekspektasi yang membuncah saat trailer-trailer Wonder Woman bermunculan di kanal Youtube. Kala itu Wonder Woman masih bagian dari waralaba DC Comic yang membingungkan itu.
Stagnan DC Comic terasa saat memutus mata rantai waralaba trilogi Batman karya Christopher Nolan. Alih-alih menampilkan jagat baru dengan garapan serius dimulai Man Of Steel, Batman vs Superman hingga Justice League malah menjadikannya lelucon baru para kritikus film. Hanya Wonder Woman yang mampu menyelamatkan muka DC.
Kali ini Wonder Woman muncul sebagai dirinya sendiri, tanpa ditemani Batman, Superman dan superhero lain yang gemar pamer otot. Kebanggaan fans DC ini merupakan tokoh klasik dari komik DC 1940-an tepatnya pada edisi All Star Comics edisi Oktober 1941.
Bagi penonton awam, terutama para pria kini mewujud istilah baru: Gal Gadot. Nama yang membuat pria-pria mempunyai definisi baru tentang kemolekan, kecantikan dan keberanian. Sementara para feminis perempuan menempatkannya sebagai tema utama dalam diskursus pop kultur kontemporer mereka.
Sebuah perjudian yang berujung manis manakala sutradara Patty Jenkins sengaja menampilkan awal mula dari Diana yang merupakan anak setengah dewa. Diasuh oleh Hyppolyta (Connie Nielsen) pemimpin Amazon pulau Themyscira yang keseluruhan penduduk adalah perempuan-perempuan petarung. Pulau ini dikisahkan diselimuti kabut sehingga siapapun kasat mata tak mampu melihat pulau tersebut.
Diana dewasa (Gal Gadot) tumbuh menjadi petarung ulung dibawah bimbingan keras sang bibi Jenderal Antiope (Robin Wright). Antiope percaya Diana adalah orang yang bisa mengalahkan Ares, Dewa Perang sebagaimana dipercayai penduduk Amazon. Cerita ini berbeda bila dirujuk di awal kemunculan Diana si Wonder Woman yang merupakan jelmaan tanah liat yang ditiupkan nyawa oleh dewa cinta Yunani, Aphrodite.
Kehidupan tenteram pulau Thermyscira seketika berubah ketika seorang pilot AS yang juga mata-mata Steve Trevor (Chris Pine) masuk melewati “kabut” pulau fantasi itu. Belakangan setelah diselematkan petarung Amazon, Trevor baru menyadari sebuah dunia yang absurd. Tanpa teknologi dan berisi perempuan semua.
Disana ia menjelaskan kepada Diana misi utamanya: menggagalkan perakitan dan peluncuran senjata kimia yang dapat melenyapkan umat manusia. Bagi Diana, jika bicara perang (saat itu konteksnya Perang Dunia I) maka ini adalah andil dari Dewa Perang Ares. Ini adalah tugasnya untuk menghalau dewa jahat tersebut.
Tekadnya bulat, Diana akan menemani Trevor menyelesaikan misinya menyelamatkan dunia. Bersama dengan tiga kawannya; Sameer (Said Taghmaoui), Charlie (Ewen Bremmer) dan Chief (Eugene Brave Rock) mereka menjelajahi situs-situs Perang Dunia I. Lengkap dengan properti perang Jerman-Nazi.
Misi mereka jelas: menggagalkan Jerman dengan senjata kimia ciptaan Dokter Maru dan menghalau Dewa Perang Ares, yang diyakini Diana adalah Jenderal Jerman Erich Ludendorf (Danny Huston). Untuk misi kedua, rekan bahkan penonton masih menganggapnya takhayul dari polosnya pemahaman Diana tentang perang.
Setibanya di London, perjalanan Diana dan rekan-rekannya menjadi titik kunci perubahan terbesar dibanding film DC Comic lainnya. Humor. Sudah hampir satu dekade, DC Comic dengan keseriusan alur menempatkan “kehidupan gelap” tokoh utama sebagai jualan pokok. Terbilang jalan di tempat. Dengan Wonder Woman bertindak selaku dewi penyelamat bagi para lelaki saja sudah menyegarkan pandangan yang melulu maskulin.
Tiba-tiba Diana melucu, dengan menjajal beberapa kostum meniru film “Pretty Woman” dengan tambahan pedang yang sulit disembunyikan di jas dan rok panjangnya. Saat memerankan sosok wanita anggun, tampilan retro dan penuh empati, saat itulah Gal Gadot bersinar. Sinarnya bertambah terang saat dari gaunnya tersimpan pedang untuk dihunuskan ke Jenderal Erich. Adegan epik!
Kostum Diana tergolong apik. Dengan mahkota yang simpel , elegan nan mematikan (dapat sebagai boomerang), gelang anti peluru, tameng kokoh, Lasso of Truth (tali laso yang bisa memaksa orang bicara sejujurnya) dan tentu saja pedang sakti. Jika ditampilkan dan disamakan dengan kostum serial Wonder Woman era 1970-an akhir dengan tema patriotik Amerika, tak ayal kostumnya mungkin masuk dalam Youtube kategori kostum superhero teraneh/absurd/terburuk oleh para konten kreator.
Film ini juga tidak lepas dari banyaknya tren film lain dengan tambahan bumbu asmara. Kita, penonton awam, tahu asmara akan terjadi antara Steve dan Diana. Namun sutradara hanya menempatkan sedikit momen canggung (malu-malu tapi mau) diantaranya.
Tidak serius dibangun sebab untuk apa? Kita sudah terpesona dengan persona Diana si Wonder Woman. Jika pun ada asmara, kita sudah tahu sama tahu, tak perlu dibarengi adegan ciuman.
Sutradara menciptakan thriller kecil-kecilan dalam karyanya. Hanya di penghujung film akhirnya terjawab ada tidaknya Dewa Perang Ares dan menyamar sebagai siapa selama ini? Twist penting yang hilang dari DC Comic.
Problem yang muncul saya kira adalah durasi pertarungan Ares dan Diana. Terlalu lama. Pertarungan baratayudha antara Dewa dan setengah dewa yang agak di-glorifikasi-kan. Membangun cerita tentang kemunculan Ares dan motifnya menciptakan Perang Dunia I saya kira perlu dielaborasi lagi.
Penonton belum terikat secara emosional dengan Ares. Belum lagi paras Diana dengan ledakan, petir, beton dan material diluar nalar lainnya yang bertubi-tubi ditimpakan Ares membuatnya tak tergores sedikitpun. Masih fresh from the oven, eh salon.
Disimpulkan, bahwa film ini layak ditonton. Bagi penikmat film DC Comic sebelumnya, bakal tahu ada perbedaan signifikan di Wonder Woman. Ditengah tema kegelapan hidup, selipkanlah humor barang sedikit. Rumus ini yang membuat kritikus film tak henti memuji Wonder Woman. Karena dengan humor, twist, thriller ada optimisme dan harapan.
Film: Wonder Woman
Tahun rilis: 2017
Sutradara: Patty Jenkins
Pemain: Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Danny Huston, David Thewlis, Connie Nielsen, Elena Anaya
Produksi: DC Comic
Hendro Prasetyo