Tak ada murid yang buruk, hanya guru yang buruk.
Preseden tersebut terdengar diskriminatif dan terkesan blaming the victim dalam persoalan pendidikan kita hari-hari ini. Guru sebagai subyek juga sebagai obyek adalah epos tak tuntas soal definisi dan perannya sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya guru adalah manusia. Bekal ‘kemanusiaan’ itulah yang mesti dicontohkan kepada para murid. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” mungkin ini istilah yang tepat.
Tersebutlah seorang perempuan yang mati-matian mewujudkan impiannya menjadi guru. Namanya Naina Mathur (Rani Mukerji). Ia adalah penyandang Tourette Syndrome, sebuah sindrom saraf yang menyebabkan seseorang seperti terkena kejutan listrik kepada otak secara mendadak. Akibatnya terdapat tindakan-tindakan tanpa sadar yang dilakukan seperti; cegukan, gerakan kepala tiba-tiba, hingga teriak-teriak tanpa sebab.
Sejak sekolah hingga dewasa perlakuan diskriminatif sering ia terima. Dikucilkan, ditertawakan bahkan dianggap kerasukan sudah tak terhitung jumlahnya. Sekarang, ia ingin jadi guru. Dasar tekad keras itu karena ia pernah diperkenalkan kepada publik oleh gurunya. Gurunya berujar, ”Ini sekolah. Semua datang untuk belajar. Hari ini kamu mengajarkan satu hal kepada kita semua tentang Sindrom Tourette. Mulai sekarang kamu berhak mendapat pendidikan seperti anak lain.”
Sudah puluhan sekolah ia sambangi. Sampai pada satu titik ia akhirnya diminta bantuan mengajar di sekolah almamaternya, St. Nockers. Ia diminta mengajar satu semester kelas terakhir yakni kelas 9-F. F disini mungkin saja pertanda Failure (gagal). Pasalnya kelas 9-F adalah kelas bantuan untuk masyarakat kelas bawah dalam program pemerintah “Right to Education Act”. Sebutlah seperti tanggung jawab sosial St. Nockers pada lingkungan sekitar. Isinya adalah anak-anak yang berada di bawah garis kemiskinan. Bekerja setelah jam sekolah, kenakalan-kenakalan remaja dan sifat minder pada penghuni sekolah lain adalah keseharian mereka.
Hari pertama, Naina berusaha menjelaskan apa itu Sindrom Tourette. Banyak yang tertawa. Wajar. Berkali-kali perundungan dialami oleh Naina. Menciptakan suasana kelas yang terbuka dan aspiratif bagi semua adalah yang coba dihadirkan Naina. Bagaimana fisika dihadirkan melalui medium olahraga adalah satu contoh. Demi menancapkan status siswa mereka mesti lulus ujian. Naina menargetkan lebih. Mengincar pin kehormatan di sekolah. Ia tahu potensi siswa-siswanya sendiri.
Film Hichki merupakan adaptasi resmi dari kisah nyata Brad Cohen yang dibukukan berjudul Front of The Class. Film ini khas “underdog” yang seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka yang pecundang bisa jadi pemenang. Agak mirip dengan film 3 Idiots dan Slumdog Millionaire. Film 3 Idiots unggul dalam naskah yang kuat, sementara Slumdog Millionaire menonjolkan sinema grafis yang top. Hichki,dikuatkan oleh pasukan peran pembantu anak-anak kelas 9-F. Mereka begitu nyata memerankan anak-anak yang menjalani kerasnya hidup bagai golongan kelas pekerja dewasa.
Kaya akan karakter pada siswa 9-F. Berbeda, alami dan kontekstual. Ada seorang penjudi jalanan, montir bengkel, penjual sayur, dan sebagainya. Kisah ini klop dipadukan dengan kondisi ‘cegukan’ Naina Mathur. Bersama mereka mengalami diskriminasi dan berusaha membuktikan pada dunia kecil mereka apa itu harga diri sesungguhnya.
Pada akhir film tentu kelas 9-F meraih pin kehormatan dari sekolah. Meski dengan jalan intimidasi, fitnah dan perundungan. Happy ending. Apa yang menjadi kesan dari film ini adalah kebesaran hati seorang guru. Bukan ketika ia menerima murid apa adanya, namun juga berani menanggung kesalahan yang dilakukan anak didiknya.
Akting Naina Mathur layak diberi jempol. Menjadi ‘cegukan’ sepanjang film memberikan pengalaman sinematik tersendiri. Rani Mukerji memperlihatkan kelasnya.
Film: Hichki
Tayang: 2018
Pemeran: Rani Mukerji, Neeraj Karbi
Sutradara: Sidharth Malhotra