Meniti karir di dunia manufaktur mungkin bagi segelintir orang merupakan dambaan bahkan menjadikan sebuah pekerjaan tetap. Namun tidak bagiku, delapan tahun lebih menjalani profesi sebagai pekerja tetap di sebuah perusahaan manufaktur membuatku merasa jenuh akan keseharian yang terikat dan monoton.
Alangkah terbukanya pikiranku, saat itu aku mengikuti demo buruh yang rutin diselenggarakan setiap tanggal 1 Mei, namun bukannya ikut demo malah mataku tertuju pada seorang laki-laki paruh baya yang menenteng kamera DSLR dan tas ransel yang digendong di punggung nya, akupun mengikuti langkah laki-laki paruh baya itu.
Setelah mengambil beberapa foto, laki-laki paruh baya itupun menepi di kedai kopi pinggiran tugu tani Jakarta, dia pun memesan secangkir kopi hitam panas, sambil membuka dan mengeluarkan laptop dalam tas yang digendong nya.
Ssrruuppuutt, terdengar jelas dari bibir laki-laki paruh baya itu seraya menikmati secangkir kopi hitam yang dipesan nya, tangan nya mulai membuka laptop dan mentransfer foto-foto hasil jepretan pada saat demo tadi, jari jemarinya sangat lihai menulis apa yang di dengar dan dilihat dari telinga dan matanya tentang aspirasi para pendemo tadi.
Selang berapa waktu laki-laki paruh baya itu pun menutup laptop, aku pun menghampirinya Karena rasa ingin tahu ku tentang apa yang dilakukan nya,
“Permisi, boleh saya duduk disini?” sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya.
“silahkan, jawab laki-laki paruh baya itu.”
“Abang, (saya panggil dia abang karena terlihat dari rambutnya yang mulai memutih), maaf sebelumnya sebenarnya sejak dari tadi saya mengikuti abang, hingga sampai disini.”
“Ya kenapa mas?” jawab laki-laki paruh baya itu.
“Gini bang, saya masih penasaran tentang apa yang ditulis abang dan profesi abang, kalau berkenan bolehkah cerita sedikit apa yang dilakukan abang?”
“Gini mas, sebenernya apa yang dilakukan saya itu hanya penyambung lidah, menyampaikan apa yang menjadi aspirasi para pendemo bahkan salah satunya mas nya sendiri.”
“loohh kok penyambung lidah bang?” tanyaku.
“Iya, bedanya kalau kalian menyampaikan aspirasi mewakili buruh dengan suara, kalau saya lewat gambar tulisan, agar aspirasi kalian bisa dilihat dan dibaca oleh khalayak ramai,” ujar laki-laki paruh baya itu.
“oh abang seorang jurnalis?” tanyaku.
“iya mas saya jurnalis (kejujuran anda dalam menulis).”
“Hahahaha,” sontak aku tertawa mendengar plesetan kata itu.
Dari percakapan singkat itulah aku mulai berpikir untuk keluar dari zona nyaman bekerja di perusahaan manufaktur, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dan mulai mencoba melamar pekerjaan menjadi jurnalis walaupun alhasil tidak pernah kesampaian.
Tapi aku mencoba untuk menulis dan menulis dengan kejujuran, walaupun sampai detik ini tulisan-tulisanku belum ada yang dimuat di media satupun
Hahahaha, sudahlah yang penting aku mencoba dan terus mencoba, untuk teman-temanku yang berprofesi sebagai jurnalis teruslah berkarya lewat menulis, dan yang paling penting adalah JURNALIS itu ‘Jujur dalam Menulis’.











