Kemenangan Prancis ini mewakili kemenangan warga Afrika dan warga dunia pada umumnya.
Kemenangan tim ini menjadi tonggak penting dari maraknya sentimen anti-imigran selama dua dekade terakhir, khususnya kepada mereka yang berakar dari Afrika dan Karibia. Tahun 2005, pemukiman urban di Paris menjadi resah saat jasad dua remaja yang disetrum mati ditemukan di pelataran stasiun setelah sehari sebelumnya dikejar polisi. Hingga tak sampai sebulan lalu, kerusuhan pecah di kota Nantes, akibat remaja keturunan Guinea mati tertembak peluru setelah ditangkap polisi.
Pertikaian brutal dengan polisi, peradilan rasis dan kesempatan ekonomi bagi imigran telah mengundang debat di penjuru Eropa dan Amerika Serikat berhubungan dengan hak menjadi warga negara. Imigran dengan akar Afrika menyebar di seluruh hunian dan sistem sosial di Prancis. Terbanyak di kawasan kumuh dan pekerja pabrik. Banyak dari imigran ini masih terhubung dengan jejak kolonial Prancis.
Tim nasional sepakbola Prancis yang memenangkan Piala Dunia ini menampilkan tak kurang dari 15 pemain keturunan Afrika, termasuk didalamnya Pemain Muda Terbaik Piala Dunia, Kylian Mbappe (keturunan Aljazair dan Kamerun), yang masih berusia 19 tahun. Tim Pan-Afrika ini pula yang selalu berjuang membantu masyarakat dunia –termasuk fans Eropa yang memiliki kasus rasisme tertinggi terhadap pemain Afrika- memahami kembali tujuan dasar sepakbola untuk semua dan apa pentingnya kewarganegaraan bagi mereka.

Menurut Peniel Joseph, seperti dilansir CNN (16/07/2018), Prancis sekarang ini sedang berkembang debat serius kebijakan imigrasi terhadap imigran yang masuk dalam isu kontemporer dunia sejak Amerika Serikat melalui Presiden Trump mengkambinghitamkan imigran sebagai pencuri, pemerkosa dan pembunuh. Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa, yang tenar disebut “Brexit” membuat kembalinya kesadaran xenofobik yang dulu menghinggapi Inggris yang menginginkan kemurnian ras.
Kebanggaan Amerika yang didengungkan selama ini sebagai melting pot atau kuali pencampuran antar ras di dunia mengalami perubahan 180 derajat, kata Peniel, yang juga Direktur Center for the Study of Race and Democracy di LBJ School of Public Affairs Universitas Texas. Perubahan itu dimulai sejak Presiden Trump secara keras kepala menolak kehadiran imigran sebagai kampanyenya. Yang pada akhirnya sebuah kemenangan politik bagi Trump tapi kemunduran bagi wacana yang menganggap keberagaman ras, etnis dan agama perlu diperkuat bukan diseragamkan.
Bagi Peniel, kemenangan tim nasional Prancis beragam etnis ini menawarkan optimisme dan pembelajaran mengenai keimigrasian, globalisasi dan kewarganegaraan. Ketika seluruh tim ditasbihkan pahlawan seantero Prancis, mereka yang keturunan Afrika masih harus mengalami diskriminasi warna kulit. Banyak imigran Afrika, termasuk mereka yang lari dari zona perang, masih menghadapi kenyataan menakutkan ditolak di gerbang pintu Prancis untuk mereka dan keluarganya.
Seharusnya kemeriahan kemenangan Prancis ini juga menandai kemenangan diaspora pengungsi imigran Afrika dan Karibia yang menginginkan tempat bernaung akibat perang dan bencana alam.

Intinya, tim juara Piala Dunia ini mengingatkan bahwa, di era globalisasi kini, keberagaman ras dan etnis justru memperkuat jaringan sosial masyarakat. Membangun jembatan politik dan kultur antar negara, negara-bangsa dan negara tetangga.
Debat global tentang imigran adalah persoalan hak asasi manusia. Bagaimana kita memperlakukan pria, wanita, anak-anak dan keluarga yang bertaruh nyawa demi kesempatan hidup di dunia Barat? Sejarah panjang kolonial Barat membuat hal ini terjadi sejak banyak imigran asal Afrika dan belahan dunia ketiga lainnya mencari sebuah bangsa yang mengeksploitasi leluhur mereka selama masa perbudakan dan penjajahan.
