Pernahkan dalam masa liburan Anda ternyata selang semenit saja terbersit soal berkas-berkas yang menumpuk di kantor? Ada kegiatan yang belum terlaksana? Barangkali saatnya cek email? Ya, benar saja dari semenit jadi satu jam. Waktu berkualitas Anda pada liburan secara tak sengaja terpotong fokusnya hanya soal pekerjaan. Ini masalah mental.
Guy Winch, seorang psikolog yang juga penulis buku pernah mengalami masalah serupa. Siapa bilang psikolog tak punya masalah mental? Layaknya seorang psikolog, seharusnya ia memberi respon positif pada orang yang mengalami kejatuhan mental. Tapi ia tak lakukan.
“Saya menyesal tidak melakukan respon yang tepat,” kata Guy Winch, dalam acara TedTalks bekerjasama dengan Brightline Initiative, New York, AS, November lalu.
Pikiran pekerjaan itu terbawa hingga keesokan harinya. Hingga berganti bulan. Guy sudah gelisah.
Apakah saya tidak bahagia dengan pekerjaan ini? Apakah saya salah pilih karir? Apakah ini yang dinamakan “burn out” atau keletihan ekstrim sampai mengganggu mentalitas seseorang?
Di awal, Guy membeberkan bahwa dirinya jatuh cinta pada dunia psikologi sejak remaja. Segera setelah mendapatkan kelulusan sarjana, ia buka praktek konsultasi sampai sekarang. Sekitar setahun lalu, ia mulai merasa aneh. Ia selalu cemas berlebihan pada pekerjaan di waktu-waktu yang tidak tepat.
“Saya selalu tutup pintu kantor setiap jam 8 malam. Tapi kantor di kepala saya tidak pernah ditutup. Ini mengganggu juga tak bisa dilawan,” kenangnya.
Sangat penting misalnya, dalam waktu senggang untuk menyegarkan lagi semangat, mental dan pikiran. Melakukan hobi, meluangkan waktu dengan pasangan, keluarga, teman bahkan tetangga. Halangan terbesar adalah rumination atau momen perenungan pada suatu hal, konteks saat ini adalah pekerjaan. Rumination mencuri waktu kita. Terjadi paling hanya lima detik, namun memicu fokus kita sepanjang waktu pada pekerjaan, bukan liburan.
Melihat fungsi otak dan saraf, rumination juga berimplikasi menaikkan level stres dan tekanan darah. Pertanyaan kemudian, dapatkah kita menghindari rumination? Setelah selama delapan jam lebih, lima hari dalam seminggu alam pikiran berada di kantor.
“Bisa,” sahut pria penulis buku Emotional First Aid (2014).

Melakukan rumination berarti mencerna ulang apa yang sebelumnya ditelan. Lihat saja sapi gampangnya. Sapi akan mengunyah makanan untuk ditelan, hingga kemudian hasil kunyahan tidak lembut, maka akan dikeluarkan dari tenggorokan untuk dikunyah kembali.
Bekerja pada sapi tapi tidak pada manusia. Kita mencerna hal-hal yang bikin cemas, takut dan kontra-produktif. Terobsesi pada tugas yang belum kelar, perselisihan dengan rekan sejawat, adanya masukan baru pada presentasi dan lain-lain.
Ada studi bagaimana efek rumination pada tubuh. Semakin banyak kita memikirkan dan mencemaskan pekerjaan, semakin kita kekurangan jam tidur. Mendorong makanan-makanan cepat saji yang tak sehat. Suasana hati yang labil dan meningkatkan resiko penyakit pada jantung.
Hingga kemudian ada solusi bagaimana bekerja efektif dan simulasi penyelesaian masalah. Hal-hal demikian tidak mengurangi kecemasan mental kita, malah makin kita dikontrol oleh pikiran rumination tersebut.
Kita punya kehendak bebas manakala apakah mengecek email sekarang atau besok di kantor. Sayangnya rumination datang tiba-tiba. Tak bisa dikendalikan. Seperti iklan pop up pada situs berita.
Guy mencatat sekitar 14 jam rumination dalam seminggu. Pekerjaan yang saya cintai, akhirnya rusak karena rumination. Saya baca banyak buku dan studi tentang rumination. Sampai akhirnya saya berhasil mengalahkan rumination yang ada di kepala. Sesekali masih muncul, namun hanya dalam hitungan detik.
Pertama yang Guy lakukan adalah punya batasan ketat soal pekerjaan dan rumah. Setelah menetapkan batasan fisik soal kantor, buat pula batasan psikologis. Ekstrim ketat kalo perlu. Seperti pada pemakaian ponsel. Dengan tautan email, kita bisa cek pekerjaan saat sedang di rumah. Ini adalah kesalahan yang baru disadari. Matikan notifikasi email Anda. Pilih waktu yang khusus dan singkat. Misal setelah jam 11 malam selama 10 menit. “Ini saya lakukan,” ujarnya.
Kita harus mengakali pikiran kita sendiri pekerjaan dan non-pekerjaan, ruang dan waktu. Satu trik lain adalah membuat ruang kecil dalam rumah tempat bekerja. Buatlah itu nyaman tapi tidak lebar. Karena batasan pekerjaan dan non-pekerjaan ada di ruang itu. Begitu keluar sedikit saja, lupakan urusan pekerjaan. Begitu cara mengakalinya. Jangan membuat zona pekerjaan di ruang tamu atau tempat tidur. Karena tempat tersebut diasosiasikan sebagai hubungan dengan keluarga dan hal-hal non-pekerjaan lainnya.
Terakhir, jika Anda terpaksa bekerja di rumah. Pakailah pakaian saat bekerja. Tambahkan nuansa musik dan sebagainya. Jika selesai ganti baju dan ubah suasananya. Kita bisa saja ditertawai mengerjakan demikian. Tapi percayalah otak kita akan mengikuti perubahan tersebut. Karena sebenarnya kita (akal dan kehendak) ini sangat pandai, namun otak kita mudah ditipu.
Memerangi rumination itu sukar. Hanya saja jika kita ketat pada jadwal, pada ruang, secara konstan merubah suasana pekerjaan dan non-pekerjaan dalam rumah, maka peperangan ini bisa saja mudah. Menciptakan suasana kerja yang sehat dan menggairahkan tidak ada dalam realitas. Itu hanya bisa diciptakan dalam akal pikiran kita. Selama akal pikiran seimbang, maka akan seimbang pula pembagian fokus pekerjaan dan liburan. Tak perlu ubah waktu, pekerjaan dan tempat tinggal. Hanya seimbangkan pikiran.